Jakarta (ANTARA) - Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi memaparkan makna dari benci produk impor yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah produk impor yang dijual di Indonesia, namun tidak memenuhi tata niaga yang tertib.
Mendag memaparkan sebuah artikel dari World Economic Forum (WEF) tentang seorang pedagang hijab di Tanah Abang yang sebelumnya ia hanya menjadi penjual, kemudian mulai berekspansi dengan menjadi sebuah industri yang memproduksi hijab atau konveksi yang mempekerjakan 3.000 orang.
"Dengan jumlah karyawan 3.000 orang, pedagang itu harus membayar gaji sebesar 650 ribu dolar AS atau Rp10 miliar per tahun. Kemudian hijab yang ia produksi, terbaca oleh Artificial Intelligent (AI) milik sebuah perusahaan di luar negeri. Jadi, mereka bisa tahu bentuknya, warnanya kayak apa, harganya berapa," ujar Mendag Lutfi saat menghadiri Rapat Kerja Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang disiarkan virtual di Jakarta, Jumat.
Kemudian perusahaan asing tersebut memproduksinya dalam jumlah banyak dan produknya dijual di Indonesia dengan potongan harga yang jauh lebih murah atau sekitar Rp1.900 per buah. Dapat dibayangkan bahwa produk hijab yang dihasilkan oleh anak bangsa akan kalah bersaing dari sisi harga.
Padahal, lanjut Mendag, bea masuk yang dihasilkan oleh produk impor tersebut hanya 44.000 ribu dolar AS per tahun. Angka tersebut jelas lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya pedagang hijab itu untuk membayar karyawannya yang mencapai 65.000 dolar AS.
Menurut Mendag, mekanisme perdagangan tersebut tidak boleh terjadi oleh aturan perdagangan internasional, karena tidak memenuhi dua azas perdagangan yang tertib.
"Ini adalah salah satu mekanisme perdagangan yang dilarang oleh international trade. Ini namanya predatory pricing. Ini yang dibenci oleh Pak Jokowi. Kita berdagang itu musti punya dua azas. Pertama adalah adil dan kedua bermanfaat," ujar Mendag Lutfi.
Mendag Lutfi menegaskan pernyataan Presiden Jokowi tersebut bukanlah indikasi bahwa Indonesia menganut proteksionisme dalam perdagangan internasional. Pasalnya, RI tidak pernah punya sejarah proteksionisme.
Sejak zaman sebelum kemerdekaan, Indonesia mempunyai mekanisme perdagangan keluar negeri dan membuka diri.
"Kita ini bangsa pedagang, dari zaman sebelum merdeka, zaman sejak penyebaran Islam itu datang dari international trade. Kita ini selalu punya sejarah berdagang. Selain itu, proteksionisme ini dibuktikan tidak akan menguntungkan suatu negara," ungkap Mendag Lutfi.
Tetapi pada saat bersamaan, Mendag Lutfi menyebut ndonesia juga tidak mengindahkan aksi-aksi perdagangan yang tidak tertib terjadi di Indonesia.
"Yang bisa kita lakukan adalah kalau dia mau berdagang di Indonesia, harus perdagangan yang adil dan level equal playing field," tegas Mendag Lutfi.