Pada 2050, Indonesia alami kerugian Rp132 triliun akibat perubahan iklim
Jakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki kerentanan yang cukup tinggi akan dampak perubahan iklim dan estimasi kerugian ekonominya akan mencapai Rp132 triliun di 2050.
Kerentanan tersebut tercermin melalui kenaikan peringkat Global Climate Risk Index (CRI) Indonesia selama dua dekade terakhir yang sebelumnya di urutan 69 menjadi 50. Dan estimasi yang dilakukan USAID di 2016 nilai kerugian ekonomi yang akan ditanggung di 2050 akibat bencana ekologis mencapai Rp132 triliun atau setara 1,4 persen dari PDB Indonesia saat itu.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu di Jakarta, Selasa, mengatakan Indonesia diproyeksikan pada tahun 2050 kerugian ekonomi yang terjadi akibat dampak perubahan iklim mencapai 1,4 persen dari nilai PDB saat ini.
Ia mengatakan menyadari risiko perubahan iklim yang semakin meningkat dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, maka Pemerintah Indonesia melakukan usaha pengendalian perubahan iklim termasuk di antaranya berkontribusi aktif pada perundingan dan pencapaian kesepakatan di tingkat global.
Indonesia termasuk salah satu negara yang melakukan ratifikasi Protokol Kyoto tahun 2004 serta Kesepakatan Paris atau Paris Agreement di 2016.
Komitmen Indonesia di dalam kedua kesepakatan tersebut melahirkan upaya mitigasi perubahan iklim berskala nasional, yakni Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) tahun 2011 dan Nationally Determined Contribution (NDC) di 2016.
Indonesia berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) dari tingkat business as usual (BAU) sebesar 26 persen pada 2020 dan 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri, atau 41 persen jika mendapat bantuan internasional. Selain upaya penurunan emisi, Indonesia juga komitmen meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Adi Budiarso mengatakan di tengah pandemi COVID-19, tentunya perlu melihat bagaimana ilmuwan menyampaikan pokok pikirannya mengenai perubahan iklim.
“Di Indonesia, peningkatan konsentrasi GRK itu menimbulkan kenaikan suhu Bumi. Bahkan diprediksi kalau kita tidak melakukan sesuatu, pemanasan itu akan melebihi 1,5 derajat Celsius. Ternyata beberapa virus yang ada di hewan di dalam hutan ini keluar, dan ini jadi fenomena yang perlu kita cermati,” ujar dia.
Dan ancaman perubahan iklim itu juga serius secara global yang perlu mendapat perhatian bersama. Ada 3,678 bencana hidrometeorologi di Indonesia selama 2019, ada puting beliung, 137 banjir, hanya 37 kejadian yang tidak terkait dengan iklim atau satu hanya persen saja.*
Kerentanan tersebut tercermin melalui kenaikan peringkat Global Climate Risk Index (CRI) Indonesia selama dua dekade terakhir yang sebelumnya di urutan 69 menjadi 50. Dan estimasi yang dilakukan USAID di 2016 nilai kerugian ekonomi yang akan ditanggung di 2050 akibat bencana ekologis mencapai Rp132 triliun atau setara 1,4 persen dari PDB Indonesia saat itu.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu di Jakarta, Selasa, mengatakan Indonesia diproyeksikan pada tahun 2050 kerugian ekonomi yang terjadi akibat dampak perubahan iklim mencapai 1,4 persen dari nilai PDB saat ini.
Ia mengatakan menyadari risiko perubahan iklim yang semakin meningkat dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, maka Pemerintah Indonesia melakukan usaha pengendalian perubahan iklim termasuk di antaranya berkontribusi aktif pada perundingan dan pencapaian kesepakatan di tingkat global.
Indonesia termasuk salah satu negara yang melakukan ratifikasi Protokol Kyoto tahun 2004 serta Kesepakatan Paris atau Paris Agreement di 2016.
Komitmen Indonesia di dalam kedua kesepakatan tersebut melahirkan upaya mitigasi perubahan iklim berskala nasional, yakni Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) tahun 2011 dan Nationally Determined Contribution (NDC) di 2016.
Indonesia berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) dari tingkat business as usual (BAU) sebesar 26 persen pada 2020 dan 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri, atau 41 persen jika mendapat bantuan internasional. Selain upaya penurunan emisi, Indonesia juga komitmen meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Adi Budiarso mengatakan di tengah pandemi COVID-19, tentunya perlu melihat bagaimana ilmuwan menyampaikan pokok pikirannya mengenai perubahan iklim.
“Di Indonesia, peningkatan konsentrasi GRK itu menimbulkan kenaikan suhu Bumi. Bahkan diprediksi kalau kita tidak melakukan sesuatu, pemanasan itu akan melebihi 1,5 derajat Celsius. Ternyata beberapa virus yang ada di hewan di dalam hutan ini keluar, dan ini jadi fenomena yang perlu kita cermati,” ujar dia.
Dan ancaman perubahan iklim itu juga serius secara global yang perlu mendapat perhatian bersama. Ada 3,678 bencana hidrometeorologi di Indonesia selama 2019, ada puting beliung, 137 banjir, hanya 37 kejadian yang tidak terkait dengan iklim atau satu hanya persen saja.*