Jakarta (ANTARA) - Pemerintah resmi meniadakan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) untuk jenjang SMP/MTS dan SMA/MTS dengan pertimbangan keselamatan dan keamanan siswa pada saat merebaknya pandemi virus COVID-19.
Keputusan itu disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim di Jakarta, Selasa (24/3). Nadiem mengatakan peniadaan UN tersebut dikarenakan banyak pertimbangan seperti keamanan dan keselamatan siswa dan keluarganya.
Sejak dua pekan terakhir, sejumlah pemerintah daerah meliburkan kegiatan di sekolah, untuk mengantisipasi penyebaran virus corona baru penyebab COVID-19 itu.
Nadiem menegaskan peniadaan tersebut tidak memiliki pengaruh apa-apa, karena UN hanya untuk pemetaan kondisi pendidikan di Tanah Air. Untuk kelulusan ditentukan sekolah, sementara penerimaan peserta didik berdasarkan sistem zonasi.
Setiap tahun, hasil UN tersebut dikemas dalam bentuk rekomendasi yang kemudian diserahkan kepada dinas pendidikan di daerah.
UN untuk jenjang SMK sudah diselenggarakan pada 16 Maret hingga 19 Maret 2020. Pelaksanaan UN SMK tidak dilakukan secara serentak, karena sejumlah daerah melakukan penundaan UN SMK.
UNBK untuk SMA/MA, rencananya akan diselenggarakan 30 Maret hingga 2 April 2020. Untuk jenjang SMP/MTs, UN rencananya akan diselenggarakan pada 20 April hingga 23 April 2020
"UN bertujuan untuk melakukan pemetaan dari sisi pendidikan, namun karena situasi darurat dan mempertimbangkan keselamatan dan keamanan peserta didik pada saat pandemi COVID-19, maka UN SMP dan SMA ditiadakan. Meskipun untuk siswa SMK sudah mengikuti UN yang diselenggarakan dua minggu lalu," kata Nadiem.
Mengacu pada PISA
Dampaknya, pemerintah tidak bisa melakukan pemetaan secara komprehensif. Nadiem mengapresiasi siswa SMK yang sudah mengikuti UN dan menghargai usaha yang mereka lakukan.
Sebagai pengganti tolak ukur, pemerintah bisa menggunakan data dari Programme for International Student Assessment (PISA) yang baru diterima pada Desember 2019.
Data yang didapat dari PISA, kata dia, lebih akurat karena sudah berstandar internasional. Itu pula sebabnya pada 2021, UN diganti formatnya dengan lebih mendekati standar nasional yakni Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Meski baru dikenalkan oleh Nadiem Makarim dengan kebijakan Merdeka Belajar. Akan tetapi wacana Asesemen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter itu sudah lebih dulu dilontarkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, Hamid Muhammad, pada Maret 2019.
Asesmen tersebut tidak mengukur siswa, namun sekolahnya. Jika dari asesmen itu hasilnya banyak siswa yang tidak tercapai kompetensi minimumnya, maka sekolah itu perlu ditolong agar menghasilkan proses pembelajaran yang lebih baik lagi. Untuk asesmen tetap menggunakan komputer.
Melalui asesmen yang dilakukan oleh siswa, mencerminkan kualitas pembelajaran di sekolah itu. Dalam asesmen tersebut, yang diuji adalah kemampuan literasi dan numerasi siswa.
Asesmen itu diselenggarakan pada pertengahan jenjang seperti kelas 4 untuk SD, kelas VIII untuk SMP dan kelas XI untuk SMA.
Sebagian anggaran UN yang kemudian ditiadakan di tengah jalan tersebut, digeser untuk penanganan pandemi COVID-19 di Tanah Air yakni program Relawan Mahasiswa. Sebagian lagi, akan digunakan untuk persiapan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Untuk penanganan COVID-19 di Tanah Air, Kemendikbud melakukan realokasi anggaran untuk penanganan COVID-19, dengan menggeser dana untuk rapat, perjalanan dinas, yang kemudian dialokasikan untuk rumah sakit pendidikan.
Diperkirakan setidaknya bisa terkumpul minimal Rp300 miliar hingga Rp400 miliar untuk penanganan wabah virus corona jenis baru itu.
Sejarah UN
UN untuk pertama kali diselenggarakan pada 2005 dan dijadikan sebagai penentu kelulusan. Saat itu, posisi Mendikbud dipegang oleh Bambang Sudibyo. Sejak itu pula, UN menjadi momok menakutkan bagi siswa.
Sejak itu pula, UN menjadi rutinitas tahunan yang mendebarkan bagi siswa. Selain menentukan kelulusan, pendistribusian maupun penjagaan soal-soal UN melibatkan aparat keamanan.
Pandangan tersebut berubah pada 2015, pada masa kepemimpinan Mendikbud Anies Baswedan, UN memang tidak lagi digunakan sebagai penentu kelulusan. Beberapa pertimbangan saat itu yakni tidak menjadi hakim bagi lulus atau tidaknya siswa dan UN hanya dijadikan alat pembelajaran. Kebijakan itu baru diterapkan pada 2016.
Pada masa kepemimpinan Anies pula, UN tidak hanya diselenggarakan berbasis kertas, tapi juga berbasis komputer.
Di tahun yang sama, tepatnya saat tampuk kepemimpinan berubah dan dijabat Muhadjir Effendy, dilontarkan wacana moratorium UN.
Ada beberapa alasan dilakukan moratorium UN tersebut yakni UN kurang memiliki makna karena tidak menjadi penentu kelulusan serta tidak berdampak pada penerimaan mahasiswa baru.
UN, kata Muhadjir saat itu, hendaknya dijadikan cermin pendidikan Indonesia. Akan tetapi yang terjadi saat itu, UN dilakukan setiap tahun tanpa mengambil tindakan apapun terhadap cerminan pendidikan tersebut.
Namun, kemudian wacana tersebut dipatahkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tidak setuju UN dimoratorium.
Alasannya jika ujian dihilangkan maka semangat kompetisi bisa hilang jika tidak ada standar pendidikan yang diperjuangkan. Persaingan dinilai baik karena membuat mental generasi muda mampu berdaya saing.
UN kemudian batal dimoratorium, karena Presiden Joko Widodo meminta agar dilakukan pengkajian ulang. UN terus dilanjutkan hingga kemudian Mendikbud Nadiem Makarim pada Desember 2019 dengan kebijakan Merdeka Belajar-nya, melakukan perubahan format ujian menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Tahun ini, sedianya menjadi tahun perpisahan pelaksanaan UN, namun terpaksa terhenti paksa karena adanya pandemi COVID-19.
Tak hanya UN, semua bentuk asesmen terjeda sementara. Mungkin juga, ini saatnya melakukan penilaian pada diri sendiri tanpa adanya perangkat asesmen.*