Jakarta (ANTARA) - Pakar astronomi Prof Dr Thomas Djamaluddin mengatakan, jadwal shalat selama ini sudah sesuai dengan ketentuan syar'i dan astronomi karena itu masyarakat tidak perlu risau dengan adanya riset yang menyebut waktu Subuh di Indonesia terlalu dini dan waktu Isya telat.
Menurut Thomas Djamaluddin melalui telepon dari Jakarta, Minggu, ada beberapa faktor yang membuat data SQM (Sky Quality Meter), alat ukur cahaya langit, menunjukkan posisi matahari lebih tinggi dari -20 seperti yang digunakan ISRN (Islamic Science Research Network).
"Bisa karena beberapa sebab, misalnya jika SQM menunjukkan langit yang lebih terang, pengaruh polusi cahaya memperlambat pembelokan kurva cahaya," kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) itu.
Selain itu, lanjut dia, jika SQM menunjukkan kurva menurun kemudian naik lagi, itu menunjukkan ada cahaya bulan sabit tua, lalu bulan tertutup awan.
Berikutnya, jika ada awan di ufuk Timur maka akan berdampak pada pelambatan titik belok, kata Thomas yang juga anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama itu.
Namun demikian, menurut dia, waktu subuh maupun isya sesungguhnya termasuk fajar astronomi, saat cahaya bintang-bintang mulai meredup karena munculnya hamburan cahaya di ufuk Timur. "Per definisi, fajar astronomi terjadi saat matahari berada pada posisi rata-rata -18 derajat," kata dia.
Di wilayah ekuator, ujarnya, atmosfernya lebih tinggi dari daerah lain, sehingga wajar bila fajar yang terjadi di Indonesia ketika posisi matahari -20 derajat.
Menurut dia, penelitian waktu subuh atau isya yang objektif memang harus menggunakan alat ukur cahaya langit. Metode yang biasa digunakan adalah dengan teknik fotometri (pengukuran kuat cahaya) dan bisa dengan analisis fotometri citra ufuk timur atau dengan alat ukur cahaya langit, misalnya SQM.
Namun persyaratan teknik fotometri ini, ujarnya, langit harus benar-benar bersih dari awan, polusi udara, dan polusi cahaya karena saat cahaya mulai muncul, intensitas cahaya langit mulai meningkat.
"Waktu isya didasarkan pada akhir fajar astronomi, saat posisi matahari rata-rata 18 derajat di bawah ufuk. Sedangkan waktu subuh didasarkan pada awal fajar astronomi di Indonesia, saat posisi matahari 20 derajat di bawah ufuk," katanya.
Ia mengatakan, ISRN Uhamka hanya menganalisis secara matematis, tidak memperhatikan fisisnya.
"Ibadah itu didasarkan pada keyakinan. Cukup satu data untuk memberikan keyakinan dengan data SQM dan Digital Single Lens Reflex (DSLR) bahwa pada -20 sudah muncul cahaya fajar," katanya.