Jakarta (Antarasumsel.com) - Seorang pakar komunikasi Dr. Lintang Ratri Rahmiaji, S.Sos, M.Si. mengatakan susah untuk menemukan pers yang bebas dari kepentingan politik dan ekonomi.
"Pers hari ini adalah pers sensasi, pers instan, pers pesanan, pers manipulatif, pers provokatif, bahkan pers 'abal-abal'. Pers dengan etika jurnalisme, ada, namun langka," kata Lintang kepada Antara di Jakarta, Kamis ketika diwawancarai mengenai perkembangan pers di Indonesia dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari Ambon, Maluku.
Hal ini disampaikan Lintang karena ia merasa resah terhadap monopoli kepemilikan media. Saat ini, beberapa pengusaha terkenal memiliki banyak media di antaranya televisi, radio, dan surat kabar, namun juga tergabung dalam suatu partai politik tertentu.
Wanita yang berprofesi sebagai dosen ilmu komunikasi di Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial (Fisip) Universitas Diponegoro ini juga mengatakan harus ada gerakan yang masif untuk menghadapi berita bohong (hoax) yang marak tersebar di berbagai media.
"Tentu kita butuh literasi media yang ekstrem untuk menghadapi hal ini. Harus ada gerakan yang masif untuk menghadapi informasi hoax baik dari sisi teknologi maupun pengetahuan dan kesadaran," pungkasnya.
Lintang menjelaskan gerakan masif untuk menghadapi berita-berita hoax harus dimulai dari akademisi, pemerintah, masyarakat termasuk di dalamnya keluarga.
"Semua bekerja sama untuk literasi media, serentak dan sinergi. Itu kan ada gerakan anti hoax dari NU, sedangkan dari pemerintahan melalui Kapolri," ujarnya.
Lintang juga berharap jika pers harus memperbaiki citranya sehingga pembaca kembali nyaman dan dapat menumbuhkan rasa kepercayaan kembali kepada pers.
"Kembalikan idealisme jurnalistik pada tempatnya, kembalikan fungsi pers serta tindak tegas penyalahgunaan kepemilikan media, sehingga pembaca kembali nyaman," tutupnya.