Sekerumunan kaum ibu di warung Mang Lalai terlibat perbincangan cukup serius. Mereka terlihat seperti berbisik, namun suaranya bergema di telinga siapa pun yang ada disekitarnya.
Perbincangan kaum ibu rumah tangga itu diawali dengan keresahan sang calon bunda muda bagi bayi dalam kandungannya, Melia. Pangan kesayangan keluarga yakni tahu dan tempe hari itu ternyata tidak lagi terpajang di warung Mang Lalai.
Warung sederhana dekat rumah itu bukan pusat perbelanjaan sederhana yang pertama didatangi Melia di hari yang sama.
Sebelumnya, dia juga telah mencoba mencari makanan khas itu ke sejumlah warung lainnya yang juga berjarak tidak jauh dari kediamannya bersama suami dan mertua tercinta.
Namun, kekesalan itu baru tertuangkan di warung milik Mang Lalai, di mana kebanyakan para pelanggannya juga merupakan warga sekitar yang dia kenal dengan baik.
Buah kekesalan itu, berujung pada perbincangan serius tentang "si tahu" dan "si tempe" yang konon kabarnya, sudah mulai langka di pasaran.
"Hari ini, suamiku tidak bisa makan tahu tempe kesukaannya," kata Melia yang telah tiba di kediamannya di Jalan Bukit Barisan, Pekanbaru, Rabu (25/7) sore, seusai menceritakan kisah perjuangannya mencari dua pangan berbahan dasar kedelai itu.
Ibu muda ini menyerah dan mengakui ketidaksanggupan dalam perburuan mencari pangan istimewa keluarganya itu.
"Capek ke warung sana sini nggak juga ada yang namanya tempe, apalagi tahu," katanya kepada sang suami yang lama menanti di rumah usai bekerja seharian.
Tidak hanya Melia, kalangan ibu rumah tangga dari kebanyakan warga di Ibukota Riau, Pekanbaru, mengalami hal yang sama.
Mereka merasa kehilangan produk pangan sederhana yang merupakan makanan khas bagi kebanyakan rakyat di negeri ini.
Di Pekanbaru, masih beruntung, meski langka setelah lonjakan "menggila" untuk harga bahan dasar utamanya yakni kedelai, tahu dan tempe tetap masih bisa ditemui. Bahkan dengan harga yang relatif normal.
Banyak pedagang pengecer produk pangan kedelai itu mengakui, masih normalnya harga tahu dan tempe disebabkan masih tersisanya stok kedelai yang dibeli dengan harga standar beberapa waktu lalu sebelum terjadi kenaikan harga.
"Saya masih memiliki stok lama kedelai sehingga memang masih bisa dijual dengan harga normal," kata Buriah, seorang perajin sekaligus pedagang pengecer tahu dan tempe di Pasar Kodim, Pekanbaru.
Ia menjelaskan, per batang tempe berukuran kecil masih dijualnya dengan harga Rp1.500, dan untuk yang berukuran sedang Rp2.500. Sementara tempe berukuran "jumbo" dijual Rp3.500 hingga Rp4.000 per batang.
Untuk produk kedelai jenis tahu, katanya, masih diecer seharga Rp3.000 hingga Rp4.000 per delapan potong, dengan ukuran yang biasa.
Namun sejumlah pedagang tersebut mengaku tidak tahu sampai kapan akan bertahan menjual tahu dan tempe dengan harga yang segitu-gitu saja. Sementara itu, harga bahan dasarnya yakni kedelai terus saja melambung di kisaran yang di atas batas kewajaran.
Mahalnya Kedelai
Mahalnya harga kedelai di pasaran dalam negeri, yakni dari semula hanya Rp6.000 menjadi Rp8.000 per kilogram disebabkan berbagai indikasi yang mencuat.
Salah satunya menurut para pelaku industri produk kedelai itu, yakni pasokan yang minim, baik dari dalam maupun luar negeri alias impor.
Bahkan di beberapa wilayah, khususnya Pulau Jawa, akibat sulit mendapatkan kedelai, dan kalau tersedia pun harganya sangat tinggi, produksi tahu dan tempe oleh para perajin dan industri rumahan menghendikan kegiatan pengelolaannya.
Pasokan yang minim itu, konon kabarnya diakibatkan kondisi kekeringan yang terjadi di negara penghasil dan pengimpor kedelai terbesar, yakni Amerika Serikat.
Kekeringan membuat pasokan kedelai ke Indonesia terhambat karena selama ini AS merupakan pemasok kedelai terbesar bagi Indonesia.
Bahkan produksi tahu dan tempe terganggu dan setelah mengalami kenaikan harga dalam beberapa hari terakhir, sentra-sentra pembuatan tahu dan tempe akhirnya menghentikan produksi mereka, khususnya para komunitas sesama perajin di Jawa.
Sebagian pedagang tahu dan tempe di Jakarta bahkan menyatakan bahwa jika dipaksakan tetap diproduksi, maka para pedagang juga akan sulit menentukan harga bagi para konsumen karena akan diprotes organisasi sesama perajin.
Kemudian di sekitar Provinsi Jawa Tengah, juga dikabarkan sebanyak 500 pedagang dan pengusaha industri kecil tahu dan tempe memilih untuk menggelar aksi demonstrasi. Kebanyakan mereka menuntut pemerintah segera menurunkan harga kedelai dengan cara apa pun, termasuk membebaskan bea masuk atau pajak atas kedelai impor.
Ketua Asosiasi Koperasi Pengrajin Tahu dan Tempe Seluruh Indonesia, Sutaryo juga sempat mengutarakan desakan agar pemerintah dapat dengan cepat membantu membenahi sistem tata niaga produksi tahu dan tempe di tanah air karena kedua komoditas tersebut sangat digemari masyarakat.
"Karena ini hajat orang banyak, begitu kehilangan tempe dan tahu itu merupakan hal yang luar biasa. Maka ini harus diatur tata niaganya," katanya.
Menjawab desakan itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, menegaskan, pemerintah tidak tinggal diam sejak harga kedelai mengalami gejolak sekitar dua minggu lalu.
Sebagai respons terjadinya gejolak harga kedelai tersebut, kata Hatta, pemerintah akan menghapus bea masuk kedelai dan mendukung petani kedelai dalam negeri untuk terus meningkatkan produksi.
Intinya menurut Hatta adalah, pemerintah sangat bersedia memfasilitasi dan memberikan keleluasaan kepada koperasi peajin tahu dan tempe untuk melakukan impor langsung yang akan difasilitasi kementerian perdagangan dan kementerian koperasi dan perindustrian.
Selain itu, kata Hatta, pihaknya bersama juga Kementerian Perdagangan telah melakukan pembicaraan dengan para pengimpor kedelai untuk tidak terlalu mengambil keuntungan yang tinggi dalam situasi kedelai dunia yang sedang mengalami persoalan akibat kekeringan.
Utamanya menurut Hatta, pemerintah akan terus mendorong petani-petani kedelai agar dapat meningkatkan produksi dan memanfaatkan situasi pasar dunia yang memang sedang kekurangan ini.
Dijelaskannya juga, kebutuhan kedelai nasional mencapai sekitar 3 juta ton per tahun. Sementara kemampuan produksi sebesar 800 ribu ton per tahun sehingga kekurangannya mengandalkan impor.
Impor kedelai terbesar bagi Indonesia berasal dari Amerika Serikat, disusul Brazil dan China.
Tahu dan tempe merupakan makanan khas yang menjadi kebanggaan bagi negeri ini. Bahkan produk pangan tradisional ini juga telah merambah pasar-pasar luar negeri seperti Jepang dan beberapa negara di Asia lainnya.
Sungguh ironi, ketika mengetahui bahwa sebagian bahan dasar pangan tradisional itu, yakni kedelai, ternyata masih mengandalkan produk hasil pertanian asing.
(ANT/KR-FZR/H-KWR)