Mengatasi premanisme berkedok ormas dengan ekonomi inklusif

id premainsme,oknum ormas,premanisme ormas,ekonomi inklusif,pengangguran,pemberdayaan masyarakat,ormas,satgas premanisme

Mengatasi premanisme berkedok ormas dengan ekonomi inklusif

Ilustrasi - Para pembicara dalam acara diskusi publik yang digelar Divisi Humas Polri dengan tema "Semangat Kebangkitan Menuju Ekonomi Nasional yang Inklusif dan Berkelanjutan Melalui Penguatan Kamtibmas yang Kondusif". (ANTARA/Nadia Putri Rahmani)

persoalan pengangguran sebagai akar dari munculnya fenomena premanisme berkedok Ormas yang mengganggu investasi dan usaha.

Jakarta (ANTARA) - Indonesia telah menempuh upaya reformasi regulasi dan kebijakan signifikan selama lima tahun terakhir untuk menarik investasi dan menyederhanakan perizinan berusaha, terutama melalui pengenalan Undang-Undang Cipta Kerja (UU 6/2023).

Investasi sangat penting bagi pembangunan nasional, karena menyediakan modal penting dan menciptakan lapangan kerja. Oleh karena itu, memastikan implementasi investasi dan usaha yang aman dan tanpa gangguan di Indonesia sama pentingnya dengan investasi itu sendiri.

Pemerintahan Prabowo telah menetapkan target penanaman modal asing (PMA) sebesar 118 miliar dolar AS (Rp1.900 triliun) untuk tahun 2025. Kementerian Investasi dan Hilirisasi melaporkan realisasi investasi sebesar 29 miliar dolar AS (Rp465 triliun) untuk kuartal pertama 2025 dengan proporsi signifikan dari PMA dan penanaman modal dalam negeri dari sektor industri dan pertambangan.

Selain itu, pembentukan sovereign wealth fund Danantara serta sejumlah diskusi dan pertemuan strategis dengan lembaga pengelola investasi negara lain, perusahaan multinasional, dan miliarder, menandakan pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan dan komitmen negara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Terlepas dari berbagai capaian luar biasa tersebut, investasi di Indonesia belum sepenuhnya luput dari tantangan dan hambatan akibat maraknya tindak pidana dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan preman dan oknum organisasi kemasyarakatan (Ormas). Hal ini telah menjadi perhatian dunia internasional, khususnya setelah terjadinya insiden di sejumlah fasilitas produksi kendaraan listrik milik China dan Vietnam di Subang, Jawa Barat.


Akar permasalahan

Berdasarkan laporan dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), tercatat sebanyak 4.207 tindak pidana yang dilakukan oleh preman dan oknum Ormas. Tindak pidana ini berkisar dari tindak pidana ringan di jalanan hingga tindak pidana oleh kelompok terorganisasi, seperti pemerasan, pengancaman, penyerangan, dan perusakan properti.

Sejumlah kasus tertentu meliputi permintaan uang keamanan dan uang lingkungan secara ilegal, permintaan uang tunjangan hari raya keagamaan (THR) di luar hubungan kerja, dan pemerasan terkait dengan pemberian jatah proyek atau kontrak tanpa tender atau lelang.

Dari berbagai modus tersebut, pengangguran muncul sebagai salah satu akar penyebabnya. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengakui pengangguran sebagai akar tindak pidana dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh preman dan oknum Ormas. Mereka melakukan tindak pidana dan perbuatan melawan hukum sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah pengangguran dan sulitnya mencari pekerjaan formal, hal yang juga ditegaskan oleh asosiasi industri, ekonom, dan data statistik.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran mencapai 7,2 juta jiwa, dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2025 sebesar 4,76 persen.

Tingkat pengangguran dalam suatu negara merupakan salah satu indikator dari perwujudan ekonomi inklusif. Mengutip World Bank dan McKinsey & Co., ekonomi inklusif adalah sistem yang memberi peluang bagi masyarakat miskin dan yang kurang terlayani (underserved) untuk memenuhi kebutuhan dasar, mendorong individu untuk produktif, dan mengembangkan arah hidupnya.

Pewarta :
Uploader: Aang Sabarudin
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.