Pembelajaran maya, antara kemudahan dan ketergantungan teknologi
Kemudahan dan ketergantungan
Ulama yang juga ahli tafsir Al Quran K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dalam sebuah pengajian mengatakan bahwa hidup itu mencari sebanyak mungkin agar tidak tergantung pada banyak hal.
Menurut Gus Baha, orang yang banyak kebutuhan itu sebetulnya banyak kebodohannya karena menggantungkan kebahagiaannya dengan banyak hal. Mengapa demikian? Karena nafsu itu tidak ada batasnya, jika ingin memenuhi semuanya maka tidak akan selesai.
Lalu, apakah pembelajaran maya ini menjadikan belajar lebih mudah atau membuat orang tergantung.
Dalam masalah ini ada sudut pandang yang penting diperhatikan. Kemudahan dan ketergantungan itu menyangkut kepada penyediaan bagaimana sarana pembelajaran maya itu dilakukan.
Apakah sarana itu disediakan secara internal oleh kemampuan sendiri atau secara eksternal dengan menggantungkan kepada fasilitas atau layanan eksternal?
Secara nalar ada hubungan lurus antara kemudahan dan ketergantungan. Artinya, makin mudah sesuatu berarti kian bergantung, makin sulit berarti kian tidak tergantung.
Pembelajaran maya bisa dilaksanakan jika ada listrik, ada komputer atau laptop, ada aplikasinya, ada internetnya, ada pulsanya, ada sinyalnya, dan persyaratan teknis lainnya.
Di sisi lain, pembelajaran tatap muka tidak memerlukan kebutuhan sebanyak itu alias lebih sedikit. Di sisi lain, jangkauan dan kemudahan mengikuti pembelajaran lebih leluasa, tidak dibatasi tempat, jumlah, atau waktu. Tingkat ketergantungan pembelajaran maya lebih tinggi daripada pembelajaran tatap muka.
Ketergantungan bisa dikurangi dengan keaslian sarana belajar yang autentik produk setempat.
Piramida Belajar Dale menunjukkan bahwa pembelajaran yang autentik lebih bisa diterima daripada imitasi. Belajar langsung tentang pengolahan pascapanen atau mengolah hasil palawija menjadi dodol jelas lebih bermakna daripada belajar dari video.
Pertanyaan selanjutnya, apakah sarana pembelajaran maya ini bisa sesedikit mungkin dan menggunakan sarana internal? Inilah matriks kemudahan dan ketergantungan yang penting untuk dipikirkan dan dirancang agar bisa menjadi pemainan (fail) dan bukan hanya sebatas penonton atau objek teknologi untuk menghasilkan pembelajaran maya yang efektif, efisien, dan menarik dengan mempertimbangkan tujuan dan kondisi pembelajaran.
Tatkala kondisi darurat terjadi, yakni tidak berjalannya pembelajaran maya karena gangguan sarana dan prasarana, esensi pembelajaran maya harus tetap terlaksana. Artinya kegiatan pembelajaran maya itu bukan hanya masalah material, yang lebih penting adalah nilai filosofis pembelajaran maya, yaitu kesetaraan dan kesempatan belajar tanpa batas waktu, tempat, umur, dan batas-batas bersifat fisik lainnya.
Belajar adalah kebutuhan semua manusia, belajar adalah sepanjang hayat, belajar sumber kemajuan dan peradaban.
Etika, moral, dan agama (EMA)
Perbincangan kedua terkait pembelajaran maya adalah masalah EMA. Ada dua bahan diskusi tentang EMA ini, yaitu bagaimana proses pembelajaran maya tetap patuh pada rambu-rambu EMA dan bagaimana mengukur hasil belajar EMA tatkala menggunakan pembelajaran maya.
Perbincangan ini menyangkut bagaimana teknologi ini membawa kebaikan, setidaknya impak kebaikannya lebih banyak dari dampak keburukannya, khususnya kepada pebelajar (orang yang melakukan kegiatan belajar). Kehadiran teknologi informasi ini diyakini membawa perubahan dalam aspek EMA.
Para pemikir, filsuf, dan agamawan menjelaskan bahwa teknologi adalah netral. Teknologi adalah alat bergantung dari tujuan penggunaannya. Selain urusan tujuan yang baik, penggunaan teknologi tetap memungkinkan peluang penyalahgunaan atau praktik yang mengabaikan EMA. Bisa jadi praktik buruk itu terjadi sebelum, selama proses, atau setelah selesainya sebuah kegiatan.
Pada dasarnya etika pembelajaran tatap muka langsung dengan pembelajaran maya adalah sama. Pembeda utamanya adalah sarana dan lokasi.
Pada pembelajaran tatap muka etika umumnya murid berpakaian rapi, memperhatikan dan konsentrasi, berbicara bergantian tidak gaduh, tepat waktu, izin jika berhalangan, mencatat, dan sebagainya. Pada pembelajaran maya pun seperti itu tinggal menyesuaikan sarana dan lokasi saja.
Salah satu rujukan dalam ber-EMA, khususnya norma agama Islam, telah ada tuntunan pada kitab Adabul-‘Alim wal Muta’allim (etika orang berilmu dan pencari ilmu) karya K.H. Hasyim Asy’ari yang terdapat dalam kumpulan kitab berjudul Irsyadus Syari.
Bab kedua membahas tentang 10 (sepuluh) etika seorang murid terhadap dirinya sendiri. Bab ketiga menguraikan perihal 12 (dua belas) etika seorang murid terhadap gurunya. Bab keempat perihal 13 (tiga belas) etika yang harus dipedomani seorang murid berkaitan dengan mata pelajaran yang sedang dipelajari.
Kitab tersebut disusun dengan landasan filosofis mengenai kemuliaan ilmu. Ilmu itu adalah cahaya, ilmu itu menerangi, ilmu itu memperbaiki, maka jadikan pena dan buku sebagai pedangmu dalam belajar. Ilmu itu ada di dada, bukan di tulisan.
Orang yang tidak punya itu akan menjalani hidup dalam kesusahan, kegelapan, tersesat, salah, melanggar, merusak, dan predikat negatif lainnya.
Manusia tak akan mampu membedakan mana kebaikan, mana keburukan, mana benar mana salah, mana mengikuti aturan mana melanggar aturan, bagaimana cara melakukan sesuatu, bagaimana menghindari sesuai, kecuali dengan ilmu.
*) Sugiarso adalah Koordinator Papuan Bridge Program PT Freeport Indonesia; Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Mimika, Mahasiswa Program Doktor Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya