Penganekaragaman pangan kurangi ketergantungan pada beras

id Diversifikasi pangan,konsumsi beras,penganekaragaman pangan,produktivitas pertanian,tanaman pangan

Penganekaragaman pangan kurangi ketergantungan pada beras

Makanan tradisional khas Gunung Kidul Tiwul bisa menjadi pilihan pengganti beras karena sama-sama menghasilkan karbohidrat yang dibutuhkan tubuh. ANTARA/Sutarmi

Jakarta (ANTARA) - Penganekaragaman pangan menjadi salah satu solusi paling efektif untuk mengurangi ketergantungan bangsa ini pada beras.

Kementerian Pertanian menargetkan konsumsi beras turun ke posisi 85 kg per kapita per tahun dari sekitar 92 kg per kapita pada 2020.

Oleh karena itu, Indonesia perlu menggalakkan kembali program diversifikasi pangan melalui pengembangan hulu-hilir pangan lokal.

Penting pula dilakukan riset sebagai langkah utama dalam percepatan program diversifikasi dan pengembangan pangan lokal.

Sebab, di Indonesia sampai sejauh ini, salah satu persoalan serius yang tetap harus digarap dengan penuh kehormatan dan tanggung jawab adalah mengerem laju konsumsi masyarakat terhadap nasi.

Ini penting diprioritaskan karena dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang menghuni Indonesia ini, otomatis konsumsi masyarakat terhadap nasi juga akan bertambah.

Selain itu, semua juga maklum bahwa upaya menggenjot produksi beras di dalam negeri, kini menghadapi berbagai persoalan yang tidak mudah diselesaikan.

Petani dalam negeri menghadapi berbagai kendala dalam memproduksi beras. Sebut saja, gejala berlangsungnya levelling off produksi padi di berbagai daerah karena lahan sawah yang semakin menurun kesuburannya.

Yang juga susah ditangani adalah terjadinya iklim ekstrem yang potensial dapat menurunkan hasil produksi beras, baik karena terjadinya kemarau panjang atau karena musim basah dengan curah hujan yang sangat tinggi.

Belum lagi adanya serangan hama dan penyakit tanaman yang sewaktu-waktu dapat menyergap usaha tani padi.

Selain hal-hal yang bersifat teknik budi daya, bangsa ini pun dihadapkan pada masalah alih fungsi lahan yang tidak terelakkan dan semakin marak di berbagai daerah yang semula tergolong sebagai sentra produksi padi karena semakin bertambahnya jumlah pendidik.

Pemerintah memang terus berupaya all out dalam melakukan perlindungan terhadap lahan pertanian pangan produktif.

Namun, "ruang pertanian" semakin menyusut karena adanya tekanan penduduk yang membutuhkan perumahan dan pemukiman. Lebih gawat lagi, tuntutan pembangunan yang menggerus lahan pertanian guna keperluan infrastruktur dasar pembangunan, menjadi tidak dapat dihindarkan.

Sebut saja pembangunan bandara dan pelabuhan yang berskala internasional, pembangunan kawasan industri, pembangunan jalan tol, pembangunan rel kereta api cepat, dan lain sebagainya, membuat alih fungsi lahan pertanian produktif ke non pertanian menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan begitu saja.

Di sisi lain memang dilakukan program pencetakan sawah baru sebagai pengganti luas lahan sawah yang tergerus namun sampai saat ini belum sepenuhnya sebanding dengan lahan yang teralihkan fungsinya.

Meskipun begitu, upaya untuk mencetak sawah-sawah baru memang harus terus dilakukan, termasuk rencana pengembangan kawasan pertanian di luar Jawa yang masih relatif luas.

Pengembangan lumbung pangan atau food estate, baik untuk komoditas padi, singkong, dan hortikultura harus terus dikaji agar berhasil dalam penerapannya. Semua pihak pun diharapkan kontribusinya untuk
menentukan arah pembangunan pertanian ke depan sehingga tidak ada istilah skenario meminggirkan pertanian dari pentas pembangunan.