IDAI: Ancaman anak jadi korban konten negatif lebih besar saat Pembelajaran Jarak Jauh

id kekerasan seksual,pelecehan anak,pelecehan seksual pada anak,IDAI,satgas,Eva Devita Harmoniati,Pembelajaran Jarak Jauh

IDAI: Ancaman anak jadi korban konten negatif lebih besar saat Pembelajaran Jarak Jauh

Tangkapan layar Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak IDAI dr Eva Devita Harmoniati, Sp.A (K) dalam Seminar Awam Cegah Kekerasan Seksual Pada Anak yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu (13/7/2022). (FOTO ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)

Jakarta (ANTARA) - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan ancaman pada anak-anak menjadi korban dari konten negatif seperti foto atau video seksual lebih besar saat mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

“Di masa pandemi anak banyak mengakses media online ataupun media sosial karena mereka memang pembelajarannya melalui jarak jauh (online). Jadi kesempatan mereka untuk terpapar dengan konten negatif ataupun menjadi korban dari kejahatan seksual online, menjadi semakin besar,” kata Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak IDAI dr Eva Devita Harmoniati, Sp.A (K) dalam Seminar Awam Cegah Kekerasan Seksual Pada Anak yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Psikolog ungkap kondisi terkini istri Kadiv Propam usai insiden pelecehan seksual

Ia mengatakan pandemi COVID-19 memberikan dampak yang sangat signifikan pada dunia pendidikan. Semua kegiatan pembelajaran harus dilakukan secara daring (online) dari jarak yang cukup jauh.

Anak-anak kemudian dipaksa untuk memahami dan menggunakan teknologi, termasuk media sosial tanpa memiliki batas yang jelas dalam mencari atau mendapatkan sumber pembelajaran. Sehingga kesempatan mereka untuk terpapar dengan konten konten negatif ataupun menjadi korban dari kejahatan seksual online menjadi semakin besar.

Baca juga: Pemerintah batalkan cabut izin Ponpes Shiddiqiyyah

Berdasarkan data survei dari ECPAT Indonesia, kata dia, tiga dari 10 anak mendapatkan pesan tidak senonoh baik berupa gambar, video porno langsung atau tautan gambar atau video yang tak nyaman dan berbau sensual di masa pandemi COVID-19.

Eva memprediksi jumlah tersebut sebetulnya lebih besar dari apa yang telah terlaporkan. Sebab, kebanyakan anak yang menjadi korban dari perilaku atau kejahatan seksual memilih untuk diam atau menarik diri dari lingkungannya.

“Ini dapat menjadi sebuah fenomena puncak gunung es. Artinya, di mana angka sebenarnya lebih tinggi dari laporan-laporan atau pengaduan yang datang seperti ke ECPAT, Kementerian PPPA atau KPAI,” katanya.

Sedangkan beberapa kekerasan seksual yang mengenai anak-anak selain foto atau video sensual adalah adanya kegiatan pembuatan konten pornografi, saling membagikan foto anak tanpa busana atau nyaris telanjang, menjalin hubungan dengan pelaku melalui media sosial untuk melakukan kontak sosial hingga pemerasan untuk mengirimkan konten pornografi.

Ia menambahkan kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan, apalagi masih banyak sekali orang tua yang belum memahami bentuk-bentuk dari kejahatan seksual yang terjadi pada anak.

Dengan demikian, IDAI meminta pada setiap orang tua untuk mulai meningkatkan pengetahuan anak terkait dengan kesehatan reproduksi, seperti mengenalkan anak pada tiap-tiap anggota tubuhnya dan bagaimana cara mengambil sikap bila ada orang yang memaksa untuk menyentuh organ vital tersebut sebagai bentuk pencegahan yang preventif.

Selain itu, pendampingan saat mengakses internet juga diperlukan. Orang tua pun harus lebih cermat mengenali gejala dari dampak perilaku seksual seperti perubahan sifat anak, nafsu makan yang menurun dan terdapat titik-titik pada tubuh bagian bawah anak yang dirasa kesakitan.

“Kekerasan pada anak ini sangat mengkhawatirkan. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami berbagai macam peristiwa traumatik termasuk di antaranya kekerasan apakah itu fisik, kekerasan emosional atau kekerasan seksual, maka dampaknya tidak hanya berhenti pada saat itu tapi dampaknya bersifat jangka panjang,” demikian Eva Devita Harmoniati.