Metode efektif untuk mencegah pengaruh negatif "flexing"

id flexing,influencer,marketing influencer,dampak negatif flexing,fomo,yolo,milenial

Metode efektif untuk  mencegah pengaruh negatif "flexing"

Ilustrasi - Flexing, pamer kekayaan. Sumber: www.idxchannel.com

Jakarta (ANTARA) - Masih hangat dibicarakan dan menjadi kata yang sering diucapkan dalam media daring khususnya untuk kalangan milenial dan gen Z perihal istilah Flexing. Dalam bahasa gaul atau slang words, kata flexing merupakan kata yang memiliki arti orang yang suka menyombongkan diri, biasanya pamer kekayaan.

Sementara menurut Cambridge Dictionary, flexing menunjukkan sesuatu yang seseorang miliki atau raih tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan.

Contoh flexing adalah seorang influencer yang pamer sepatu sneaker merek tertentu atau hal-hal terkait pamer kemewahan lainnya di media sosial.

Orang yang flexing dianggap suka berbohong karena seseorang yang berperilaku pamer berharap agar ia dianggap memiliki banyak kekayaan dan pundi-pundi uang, padahal realitanya tidak demikian. Bahkan flexing bisa jadi hanyalah sebuah strategi marketing influencer bila tujuan sebenarnya adalah untuk menarik perhatian follower.

Biasanya hal-hal yang diduga mengandung unsur negatif, cenderung ada udang di balik batu. Pun dengan konten-konten flexing yang marak belakangan ini di media sosial.

Dalam konteks konten bagi pemirsanya, maka flexing dapat mempengaruhi alam bawah sadar manusia, dimana biasanya seseorang akan mengikuti orang lain yang dianggap punya power lebih besar dibanding dirinya.

Sehingga ketika kita melihat orang lain lebih sukses dari kita, hal itu jadi socialproof / penegas bagi otak bahwa orang yang sedang flexing ini bisa dijadikan mentor, leader, dan lain sebagainya. Akibatnya si pelaku flexing bisa dengan mudah menanamkan sesuatu di otak seseorang.

Inilah yang kemudian menyebabkan seseorang yang terkena pengaruh negatif flexing menjadi ketakutan kehilangan momentum bila tidak dapat mengikuti tren yang sengaja digembar-gemborkan oleh influencer karena simbol yang dipamerkan tersebut ternyata telah diikuti pula oleh kawan-kawannya.

Kondisi ini biasa disebut dengan FOMO (Fear of Missing Out). Akibatnya, orang yang merasa FOMO bisa merasa sedih, iri, bahkan bisa minder ketika bertemu teman-temannya, namun ia belum bisa memakai tren terbaru yang diwujudkan dalam simbol yang sedang tren dikenakan oleh teman-temannya tersebut.

Perilaku flexing ternyata juga dapat meningkatkan keinginan tubuh dalam memuaskan ego seseorang, khususnya pada pemahaman bahwa kita ini hidup cuma sekali. Dan karena hidup hanya sekali, maka nikmatilah sekarang selagi bisa.

Lalu bagaimana dengan hari-hari selanjutnya? Emang gue pikirin? Begitulah kira-kira narasi YOLO (You Only Live Once) yang kini populer pada mayoritas kalangan milenial dan gen Z.

Veblen di dalam buku yang ditulis Deliarnov berjudul Perkembangan Pemikiran Ekonomi yang terbit di tahun 2015 menyebutkan bahwa saat terjadi penyebaran informasi yang semakin masif dan pasar yang sering menawarkan berbagai macam produk menggiurkan, sehingga hal itu dapat menggugah selera dan cita rasa konsumen. Maka yang kemudian terjadi adalah pemanfaatan waktu senggang banyak digunakan oleh aktivitas pleasure (bersenang-senang, hedonis) yang kemudian identik disebut dengan perilaku senang berbelanja.

Oleh karenanya, menurut Veblen, perilaku ini akan mendorong seseorang untuk berlomba-lomba membeli barang-barang mewah yang digunakan untuk pamer, tidak peduli apakah barang tersebut berguna atau tidak dalam kehidupan sehari-hari.

Sehingga dapat kita ambil kesimpulan bahwa flexing yang dilakukan influencer memang memiliki pengaruh negatif kepada para pengikutnya sebab dapat terdampak penyakit perilaku bernama YOLO dan FOMO.


Antisipasi

Karena itu perlu metode yang efektif agar dapat meminimalisir pengaruh negatif flexing, khususnya terhadap kalangan milenial dan gen Z. Lalu dimulai dari mana?

Pertama, tentukan besaran pengeluaran mana saja yang termasuk kategori kewajiban dan kebutuhan. Yakni keluarkanlah untuk kebutuhan yang tergolong prime cost (kewajiban) lebih dahulu. Prime cost adalah biaya yang apabila tak terbayarkan akan menjadi masalah besar dalam kehidupan seseorang, yaitu antara lain tagihan listrik, tagihan air PDAM, tagihan BPJS Kesehatan, beras, gas elpiji, keperluan harian sekolah anak dan sewa rumah/kamar kos.

Masih melanjutkan langkah pertama tadi yakni menyiapkan pengeluaran anggaran untuk membelanjakan kebutuhan dengan kelas skala prioritas di bawah prime cost. Pos kebutuhan ini juga masih penting, hanya saja risiko gangguannya tidak segawat sebelumnya bila tidak dibelanjakan.

Yang dibutuhkan milenial dan gen Z biasanya adalah anggaran untuk membeli makanan jadi, kebutuhan dapur, angsuran KPR/KPM/utang produktif lainnya diusahakan maksimal 30 persen dari penghasilan, pos dana darurat diharapkan minimal 5 persen, paket telepon internet, pos sedekah serta berinvestasi untuk kebutuhan keluarga di masa depan.

Kedua, tentukanlah berapa besar angka kecukupan penghasilan yang diinginkan. Yakni dengan menetapkan berapa besar nominal rencana prioritas selain anggaran kebutuhan dasar dan yang bersifat mendesak. Besaran nominal rencana prioritas yang ditetapkan penting disertakan dalam menentukan angka kecukupan penghasilan, sebab hal ini akan mempengaruhi berapa besar penghasilan ideal yang hendak dicapai.

CEO Berkshire Hathaway Warren Buffet memiliki kebiasaan yang direkomendasikan untuk semua karyawannya. Yaitu bahwa mereka semua dituntut untuk menguraikan 25 tujuan teratas dalam hidup dan kemudian memilih 5 tujuan teratas yang paling diinginkan untuk dicapai.

Menurutnya, pilihan tersebut akan menjadi fokus terbesar dalam hidup para karyawan dan akan menjadi kekuatan prioritas yang sangat kokoh agar tak mudah digoyang oleh sindrom berupa objek yang terlihat menarik namun sesungguhnya hanya kesenangan semu belaka.

Jika langkah pertama dilakukan untuk dapat menentukan berapa kebutuhan minimal yang harus dipenuhi, maka langkah kedua adalah untuk menegaskan apa saja sebetulnya visi hidup yang hendak dicapai secara terukur.

Langkah ketiga sebagai langkah pamungkas adalah memilih untuk masuk ke golongan pertengahan. Langkah ini menjadi paling penting untuk dijalankan dengan sepenuh hati karena segala hal yang tergolong pertengahan termasuk cara menyikapi suatu godaan seperti flexing, dapat lebih menyelamatkan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 450.000 responden di tahun 2010 oleh Angus Deaton, seorang pakar ekonomi yang mendapat Nobel bidang ekonomi di tahun 2015 dan Daniel Kahneman, pakar psikologi yang mendapat Nobel bidang ekonomi di tahun 2001, dari penelitian tersebut didapatkan temuan bahwa kebahagiaan (berkurangnya tingkat stres) seseorang akan bertambah seiring naiknya penghasilan seseorang.

Namun ternyata berkurangnya tingkat stres seseorang akan mencapai titik puncaknya ketika penghasilannya mencapai nominal 75.000 dolar AS per tahun atau sekira Rp 1 miliar per tahun atau Rp 90 jutaan per bulan untuk kurs 1 dolar AS = Rp 14.000. Sebab ketika penghasilan seseorang berhasil melampaui nominal Rp90 jutaan per bulan, tingkat pertumbuhan kebahagiaannya justru mulai stagnan.

*) Baratadewa Sakti Perdana, ST, CPMM, AWP adalah Praktisi Keuangan Keluarga & Pendamping Bisnis UMKM Shafa Consulting