Jakarta (ANTARA) - Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik (Karokomyanlik) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi mengatakan memilih menjadi influencer dengan latar belakang lulusan Ilmu Kedokteran adalah pilihan.
Hal ini dikatakannya usai disinggung perihal mulai maraknya lulusan Kedokteran yang memilih untuk menjadi kreator konten dan influencer ketimbang praktik menjadi tenaga medis.
“Itu kan pilihannya kita tidak bisa memaksa orang, pilihan pekerjaan itu hak asasi manusia,” Kata Siti saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (1/3).
Siti mengatakan, justru dokter yang menjadi influencer memiliki dampak yang juga besar kepada masyarakat, utamanya untuk mengedukasi.
Menurutnya, lulusan kedokteran memiliki kompetensi untuk memberikan pengobatan, mengambil tindakan atas suatu kesimpulan pemeriksaan, sehingga akan menjadi influencer yang lebih berbobot, bila memilih profesi tersebut.
Namun Siti mengatakan, etika dalam menggunakan media sosial harus diperhatikan. Kebebasan berekspresi, menurutnya, juga memiliki batasan pada koridor-koridor tertentu. Hal ini perlu diterapkan agar tidak menyinggung apa lagi menyakiti pihak lain.
“Justru memiliki modal yang lebih baik karena dia memiliki pengetahuan dan kompetensi perihal kedokteran. Jadi kalau dia jadi influencer harusnya bisa lebih mengedukasi,” ujar Siti.
“Saya yakin berselancar di media sosial juga ada etikanya, jadi tolong diingat itu,” tambahnya.
Di sisi lain, Siti mengakui jumlah tenaga medis spesifiknya dokter yang sangat minim, dan hingga saat ini masih menjadi isu dunia kesehatan di Tanah Air.
Karokomyanlik Kemenkes ini menyebut hingga saat ini, rasio perbandingan antara dokter dengan jumlah penduduk Indonesia adalah 0,06 per seribu penduduk.
“Pilihan seorang dokter yang sudah menyelesaikan pendidikannya kemudian memilih profesi lain ya kita tidak bisa memaksakan, itu adalah pilihan, tapi harus kita akui jumlah dokter itu memang kurang,” Kata Siti.