Jakarta (ANTARA) - Akhirnya setelah lebih dari setahun vonis pertama kebiri kimia yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Mojokerto pada Agustus 2019, peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan kebiri kimia diundangkan.
Terpidana kebiri kimia Muhammad Aris yang melakukan kekerasan seksual kepada sembilan anak memang masih menjalani hukuman badan, belum menjalani hukuman kebiri.
Eksekusi kebiri kimia belum dilakukan lantaran belum terdapat payung hukum untuk penuntut umum sebagai eksekutor.
Lantas bagaimana pelaksanaan kebiri kimia terhadap predator anak dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 70/2020 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 7 Desember 2020?
PP tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak itu adalah aturan turunan dari UU Nomor 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak.
Tindakan kebiri kimia menurut PP tersebut adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan pada anak.
Kebiri kimia yang disertai dengan rehabilitasi dimaksudkan untuk menekan hasrat seksual berlebih. Hukuman ini tidak dapat dikenakan kepada pelaku yang masih anak-anak.
Kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dilakukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan untuk jangka waktu paling lama dua tahun.
Untuk waktu pelaksanaan, terpidana akan mendapatkan pemberitahuan pelaksanaan kebiri paling lambat sembilan bulan sebelum pidana pokok selesai dijalani.
Untuk kasus Muhammad Aris yang pernah mengaku lebih memilih hukuman mati daripada kebiri, ia akan mendapat pemberitahuan itu paling lambat sembilan bulan sebelum selesai menjalani pidana penjara selama 12 tahun.
Kemudian dalam waktu tujuh hari kerja setelah pemberitahuan itu, penuntut umum melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk dilakukan penilaian klinis.
Tahapan penilaian klinis dilakukan dengan wawancara klinis dan psikiatri, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang oleh tim yang terdiri atas petugas medis dan psikiater.
Melalui penilaian klinis itu, nasib pelaku kekerasan seksual terhadap anak ditentukan apakah layak atau tidak dikenakan tindakan kebiri kimia.
Apabila pelaku dinyatakan layak untuk dikebiri, maksimal tujuh hari sejak pernyataan itu, dokter di rumah sakit milik pemerintah atau rumah sakit daerah yang ditunjuk atas perintah jaksa akan melaksanakan kebiri kepada predator anak.
Sementara untuk terpidana yang dinyatakan tidak layak untuk dikebiri, bukan berarti dapat langsung merasa lega. Tindakan kebiri ditunda paling lama enam bulan dan selama penundaan dilakukan lagi penilaian klinis.
Apabila dalam penilaian klinis ulang tetap dinyatakan tidak layak untuk dikebiri, baru jaksa akan menyampaikan hal tersebut kepada pengadilan yang memutus perkara.
Pelaksana dan anggaran
Secara jelas PP tersebut mengatur dokter yang akan mengeksekusi hukuman kebiri kepada pelaku kekerasan seksual.
Namun, terhadap kasus Muhammad Aris itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kala itu menolak menjadi eksekutor karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip dan kode etik kedokteran.
IDI, berdasar fatwa Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia serta kode etik kedokteran Indonesia, sebelumnya menyampaikan agar pelaksanaan hukuman kebiri kimia tidak melibatkan dokter sebagai eksekutor.
Selain itu, penolakan IDI juga atas alasan dasar keilmuan dan bukti ilmiah kebiri kimia tidak menjamin hilang atau berkurangnya hasrat seksual dan potensi perilaku kekerasan seksual pelaku.
Nampaknya masih perlu dicari jalan tengah antara peraturan hukum dan kode etik dalam eksekusi kebiri kimia, misalnya, dengan melatih petugas untuk melakukan kebiri kimia.
Selain itu, sumber daya untuk melakukan hukuman tersebut dinilai mahal karena selain untuk kebiri kimia, diperlukan anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis untuk terpidana kebiri kimia.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut dalam praktik hukuman kebiri di negara lain terbukti persiapan dan pembangunan sistem perawatan kebiri kimia yang tepat membutuhkan banyak sumber daya dan mahal.
Sementara PP tersebut tidak merinci dan hanya menyebut anggaran untuk pelaksanaan kebiri kimia dari APBN, APBD dan sumber lain.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitulu mengatakan pemerintah melalui kementerian-kementerian terkait tidak pernah memberikan penjelasan mengenai gambaran pendanaan yang harus disediakan untuk menerapkan sistem yang mahal itu.
Menurut dia, adanya PP 70/2020 seolah negara menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru yang digunakan untuk penghukuman pelaku.
Sementara di sisi lain, korban disebutnya masih menjerit harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri. Anggaran dari pemulihan dan perlindungan korban seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus dipangkas.
Senada, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pun menilai apabila terlalu berfokus pada pelaku, akhirnya pemulihan korban justru akan terlupakan. Padahal pemulihan korban merupakan hal yang lebih penting.
Advokat dan Spesialis Kebijakan Publik PKBI Riska Carolina berpendapat alih-alih membalas kekerasan dengan kekerasan, akan lebih baik apabila negara menunjukkan keseriusannya dalam mengatasi kekerasan seksual dengan lebih komprehensif, seperti RUU penghapusan kekerasan seksual.
Walaupun ia mengakui pembahasan hingga pengesahan RUU tersebut masih masih harus melalui jalan yang panjang.
Terlepas dari perdebatan yang masih menyelubungi pelaksanaan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak itu, masih ada waktu sekitar 10 tahun lagi untuk mengetahui bagaimana akhir cerita dari seorang pesakitan di Mojokerto.