Hippo: Dunia usaha sayangkan rencana mogok nasional serikat pekerja
Jakarta (ANTARA) - Dunia usaha menyayangkan rencana mogok nasional yang akan digelar serikat pekerja selama tiga hari mendatang sebagai bentuk penolakan RUU Cipta Kerja yang akan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 6-8 Oktober 2020.
"Dalam kondisi kita sedang fokus melawan COVID-19 ini seharusnya serikat pekerja atau buruh tampil membantu pemerintah dan dunia usaha bagaimana agar kita dapat segera mengatasi dan mengendalikan pandemi COVID-19 yang telah menghentikan berbagai aktivitas perekonomian kita," kata Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Sarman menuturkan mogok kerja memang hak dasar pekerja dan buruh yang diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun, menurut dia, mogok kerja dinyatakan sah jika perundingan gagal antara serikat pekerja atau buruh dengan perusahaan atas masalah hubungan industrial yang terjadi.
Serikat pekerja juga wajib memberitahukan tujuh hari kerja sebelum mogok secara tertulis kepada pengusaha dan dinas tenaga kerja setempat.
Di luar ketentuan tersebut, jika pekerja atau buruh ikut ajakan mogok kerja tersebut, maka pengusaha dapat memberikan sanksi.
"Dalam situasi seperti ini kita harus menjaga psikologi pengusaha agar jangan sampai melakukan PHK akibat dari isu mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai aturan ketenagakerjaan," kata Sarman, yang juga Anggota Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional.
Serikat pekerja atau buruh, imbuh Sarman, seharusnya harus mengutamakan kepentingan yang lebih luas dan strategis demi masa depan ekonomi Indonesia dan nasib pekerja dan jutaan pengangguran.
Mantan anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta itu juga meminta serikat pekerja atau buruh seharusnya berani keluar pola pikir konvensional, membawa pekerja yang berdaya saing dengan keterampilan dan kompetensi yang mampu menyesuaikan dengan teknologi terkini.
Dengan demikian, Indonesia tidak lagi terjebak dengan isu upah akan tetapi upah akan disesuaikan dengan kompetensi atau kemampuan pekerja.
Sarman mengatakan jika dalam RUU Cipta Kerja ini masih ada hal yang dianggap belum sesuai dengan keinginan serikat pekerja atau buruh, tentu masih dapat dimasukkan dalam aturan turunan seperti peraturan pemerintah atau peraturan menteri.
"Jika serikat pekerja atau buruh akan tetap memaksakan mogok kerja dengan unjuk rasa kami memprediksi bahwa tidak akan efektif di mana pekerja atau buruh tidak berani ikut mogok dan unjuk rasa karena tidak sah takut mendapatkan sanksi," katanya.
Sarman juga khawatir mogok kerja akan menunjukkan kepada calon investor bahwa tenaga kerja Indonesia kurang produktif dan kompetitif.
Ia juga mengkhawatirkan adanya klaster baru penyebaran virus COVID-19 yang akan memperpanjang PSBB yang membatasi berbagai aktivitas perekonomian.
"Harapan kami agar serikat pekerja atau buruh dapat bersama sama membangun perekonomian, meningkatkan kompetensi pekerja dan memikirkan nasib jutaan pengangguran yang terkena PHK dan dirumahkan," pungkas Sarman.
"Dalam kondisi kita sedang fokus melawan COVID-19 ini seharusnya serikat pekerja atau buruh tampil membantu pemerintah dan dunia usaha bagaimana agar kita dapat segera mengatasi dan mengendalikan pandemi COVID-19 yang telah menghentikan berbagai aktivitas perekonomian kita," kata Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Sarman menuturkan mogok kerja memang hak dasar pekerja dan buruh yang diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun, menurut dia, mogok kerja dinyatakan sah jika perundingan gagal antara serikat pekerja atau buruh dengan perusahaan atas masalah hubungan industrial yang terjadi.
Serikat pekerja juga wajib memberitahukan tujuh hari kerja sebelum mogok secara tertulis kepada pengusaha dan dinas tenaga kerja setempat.
Di luar ketentuan tersebut, jika pekerja atau buruh ikut ajakan mogok kerja tersebut, maka pengusaha dapat memberikan sanksi.
"Dalam situasi seperti ini kita harus menjaga psikologi pengusaha agar jangan sampai melakukan PHK akibat dari isu mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai aturan ketenagakerjaan," kata Sarman, yang juga Anggota Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional.
Serikat pekerja atau buruh, imbuh Sarman, seharusnya harus mengutamakan kepentingan yang lebih luas dan strategis demi masa depan ekonomi Indonesia dan nasib pekerja dan jutaan pengangguran.
Mantan anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta itu juga meminta serikat pekerja atau buruh seharusnya berani keluar pola pikir konvensional, membawa pekerja yang berdaya saing dengan keterampilan dan kompetensi yang mampu menyesuaikan dengan teknologi terkini.
Dengan demikian, Indonesia tidak lagi terjebak dengan isu upah akan tetapi upah akan disesuaikan dengan kompetensi atau kemampuan pekerja.
Sarman mengatakan jika dalam RUU Cipta Kerja ini masih ada hal yang dianggap belum sesuai dengan keinginan serikat pekerja atau buruh, tentu masih dapat dimasukkan dalam aturan turunan seperti peraturan pemerintah atau peraturan menteri.
"Jika serikat pekerja atau buruh akan tetap memaksakan mogok kerja dengan unjuk rasa kami memprediksi bahwa tidak akan efektif di mana pekerja atau buruh tidak berani ikut mogok dan unjuk rasa karena tidak sah takut mendapatkan sanksi," katanya.
Sarman juga khawatir mogok kerja akan menunjukkan kepada calon investor bahwa tenaga kerja Indonesia kurang produktif dan kompetitif.
Ia juga mengkhawatirkan adanya klaster baru penyebaran virus COVID-19 yang akan memperpanjang PSBB yang membatasi berbagai aktivitas perekonomian.
"Harapan kami agar serikat pekerja atau buruh dapat bersama sama membangun perekonomian, meningkatkan kompetensi pekerja dan memikirkan nasib jutaan pengangguran yang terkena PHK dan dirumahkan," pungkas Sarman.