Koalisi Masyarakat Sipil tolak nuklir masuk RUU EBT
Jakarta (ANTARA) - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih menyatakan menolak nuklir dan energi baru berbasis energi fosil dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Dalam draf RUU EBT, sumber energi dibagi menjadi dua yaitu sumber energi baru dan sumber energi terbarukan. Nuklir diklasifikasi sebagai sumber energi baru, sementara energi matahari, angin, air, biomassa dan lainnya dikategorikan sebagai sumber energi terbarukan.
Peneliti Yayasan Indonesia Cerah Mahawira Singh Dillon, dalam penjelasannya dikutip Antara di Jakarta, Kamis, menyebutkan penggunaan nuklir sebagai sumber energi pembangkit akan sangat berisiko bagi Indonesia. Pertama, secara geografis, Indonesia terletak di kawasan Cincin Api (Ring of Fire) yang sangat aktif secara tektonik sehingga rawan bencana gempa bumi dan tsunami.
“Secara geografis, Indonesia tidak ramah nuklir karena berada di Ring of Fire. Kondisi ini sangat berisiko dan berpotensi mengganggu operasional PLTN. Kita semestinya bisa belajar dari kasus PLTN Fukushima di Jepang.” kata Wira.
Masih terkait kondisi geografis, penyimpanan limbah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) juga memerlukan lokasi yang stabil dan kedap air. Menurut Wira, akan sangat sulit dan berisiko untuk menentukan lokasi penyimpanan limbah nuklir di Indonesia. Perencanaan fasilitas penyimpanan limbah nuklir harus memperhatikan potensi terjadinya kebocoran karena aktivitas tektonik. Bila limbah nuklir sampai bocor ke dalam air tanah, dampaknya akan sangat berbahaya.
Selanjutnya, menurutnya, memasukkan nuklir ke dalam RUU EBT merupakan langkah yang kontraproduktif dengan asas keberlanjutan, ketahanan energi nasional, serta asas kedaulatan dan kemandirian yang dicantumkan sebagai prinsip dasar penyusunan RUU ini. Indonesia hanya memiliki pasokan uranium untuk mengoperasikan satu pembangkit dengan kapasitas 1.000 MW selama enam hingga tujuh tahun.
“Jika Indonesia masih bersikeras untuk menjadikan nuklir sebagai sumber energi baru, maka tidak akan lama sebelum kita malah menjadi bergantung pada impor uranium dari luar negeri,” tegasnya.
Sementara itu Energy Project Lead Yayasan WWF Indonesia Indra Sari Wardhani, mengatakan Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat melimpah dan tersebar di seluruh Indonesia, namun pemanfaatannya belum optimal.
“RUU EBT seyogyanya jadi payung hukum untuk dapat menggantikan peran energi fosil yang cadangannya semakin menipis serta berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat,” katanya.
Hasil analisis yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) memperlihatkan bahwa pengembangan energi terbarukan dapat ditingkatkan dengan mengendalikan pengembangan energi fosil.
Untuk itu, dibutuhkan peta jalan (roadmap) transisi energi nasional yang memiliki kekuatan sehingga mengikat bagi semua dokumen pemanfaatan dan alokasi semua jenis sumber energi. Di dalam Inter-Parliamentary Union (IPU) disebutkan, parlemen bersama pemerintah memiliki peran penting membangun peta jalan transisi ekonomi rendah karbon melalui akselerasi energi terbarukan serta mengawasi implementasinya.
Dalam draf RUU EBT, sumber energi dibagi menjadi dua yaitu sumber energi baru dan sumber energi terbarukan. Nuklir diklasifikasi sebagai sumber energi baru, sementara energi matahari, angin, air, biomassa dan lainnya dikategorikan sebagai sumber energi terbarukan.
Peneliti Yayasan Indonesia Cerah Mahawira Singh Dillon, dalam penjelasannya dikutip Antara di Jakarta, Kamis, menyebutkan penggunaan nuklir sebagai sumber energi pembangkit akan sangat berisiko bagi Indonesia. Pertama, secara geografis, Indonesia terletak di kawasan Cincin Api (Ring of Fire) yang sangat aktif secara tektonik sehingga rawan bencana gempa bumi dan tsunami.
“Secara geografis, Indonesia tidak ramah nuklir karena berada di Ring of Fire. Kondisi ini sangat berisiko dan berpotensi mengganggu operasional PLTN. Kita semestinya bisa belajar dari kasus PLTN Fukushima di Jepang.” kata Wira.
Masih terkait kondisi geografis, penyimpanan limbah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) juga memerlukan lokasi yang stabil dan kedap air. Menurut Wira, akan sangat sulit dan berisiko untuk menentukan lokasi penyimpanan limbah nuklir di Indonesia. Perencanaan fasilitas penyimpanan limbah nuklir harus memperhatikan potensi terjadinya kebocoran karena aktivitas tektonik. Bila limbah nuklir sampai bocor ke dalam air tanah, dampaknya akan sangat berbahaya.
Selanjutnya, menurutnya, memasukkan nuklir ke dalam RUU EBT merupakan langkah yang kontraproduktif dengan asas keberlanjutan, ketahanan energi nasional, serta asas kedaulatan dan kemandirian yang dicantumkan sebagai prinsip dasar penyusunan RUU ini. Indonesia hanya memiliki pasokan uranium untuk mengoperasikan satu pembangkit dengan kapasitas 1.000 MW selama enam hingga tujuh tahun.
“Jika Indonesia masih bersikeras untuk menjadikan nuklir sebagai sumber energi baru, maka tidak akan lama sebelum kita malah menjadi bergantung pada impor uranium dari luar negeri,” tegasnya.
Sementara itu Energy Project Lead Yayasan WWF Indonesia Indra Sari Wardhani, mengatakan Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat melimpah dan tersebar di seluruh Indonesia, namun pemanfaatannya belum optimal.
“RUU EBT seyogyanya jadi payung hukum untuk dapat menggantikan peran energi fosil yang cadangannya semakin menipis serta berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat,” katanya.
Hasil analisis yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) memperlihatkan bahwa pengembangan energi terbarukan dapat ditingkatkan dengan mengendalikan pengembangan energi fosil.
Untuk itu, dibutuhkan peta jalan (roadmap) transisi energi nasional yang memiliki kekuatan sehingga mengikat bagi semua dokumen pemanfaatan dan alokasi semua jenis sumber energi. Di dalam Inter-Parliamentary Union (IPU) disebutkan, parlemen bersama pemerintah memiliki peran penting membangun peta jalan transisi ekonomi rendah karbon melalui akselerasi energi terbarukan serta mengawasi implementasinya.