Mataram (ANTARA) - Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Barat mengajak kaum perempuan untuk menghindari pernikahan siri sehingga posisinya tidak lemah secara hukum.
"Jangan mau hanya dinikah secara siri, harus punya akte nikah sehingga secara hukum punya legalitas," kata Kepala Dinas DP3AP2KB NTB, Putu Selly Andayani, saat memberikan pencerahan kepada warga Desa Pandanwangi, Kabupaten Lombok Timur, Sabtu.
Menurut isteri anggota DPR RI H Rachmat Hidayat itu, posisi perempuan sangat lemah jika tidak mempunyai legalitas pernikahan. Terlebih jika terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga yang berujung pada perceraian tanpa melalui pengadilan.
Oleh sebab itu, pihaknya terus melakukan berbagai upaya edukasi kepada kaum perempuan NTB agar mereka memilik pemahaman yang cukup tentang dampak nikah siri.
Baca juga: Nikah siri sulit mengurus administrasi kependudukan
Baca juga: Perempuan kawin siri banyak kerugiannya
Selly menyebutkan salah satu model edukasi terhadap kaum perempuan yang sudah berjalan adalah sekolah perempuan yang diinisiasi oleh KAPAL Perempuan sejak 2000. Lokasinya di Desa Montong Betok, Kabupaten Lombok Timur.
Sekolah Perempuan tersebut dibentuk sebagai salah satu model pemberdayaan perempuan yang bertujuan mengembangkan jiwa kepemimpinan perempuan agar memiliki kesadaran kritis, kepedulian, solidaritas dan komitmen menjadi pelaku perubahan sosial agar terbebas dari kemiskinan.
Baca juga: KPAI: Nikah siri pintu masuk perdagangan manusia
"Alhamdulillah sekolah perempuan kini telah mampu melakukan perubahan di ranah keluarga, komunitas dan publik dengan hasil yang baik," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Selly juga memotivasi warga Desa Pandanwangi, khususnya kaum perempuan untuk tetap optimistis dalam mewujudkan ketahanan keluarga di masa pandemi COVID-19 dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Sementara itu, perwakilan dari Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) NTB, Dini Hariyati, menekankan pentingnya menerapkan lima poin ketahanan keluarga. Pertama, landasan legalitas perkawinan, kelahiran dan kemitraan suami istri.
Kedua, ketahanan fisik yang mencakup kecukupan pangan, gizi, kesehatan dan tempat tidur. Ketiga, ketahanan ekonomi mencakup pendapatan, pembiayaan, pendidikan dan tempat tinggal. Keempat ketahanan sosiopsikologi mencakup sikap anti kekerasan, ketaatan, hukum.
"Terakhir adalah aspek ketahanan sosial budaya mencakup partisipasi keikutsertaan dalam keagamaan, bermasyarakat, dan pemahaman penggunaan media sosial," kata Dini.