Tanjungpinang (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) menyatakan modus politik uang dari tahun ke tahun berkembang sehingga seluruh jajaran pengawas pilkada harus mewaspadainya.
Komisioner Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo saat meresmikan Sentra Gakkumdu dan Balai Pengawasan di Kantor Bawaslu Tanjungpinang, Rabu, mengatakan, tren pelanggaran dari tahun ke tahun, bukan mengalami penurunan, melainkan bertambah.
Politik uang dari temuan pelanggaran pemilu tidak berbentuk uang, melainkan barang, hadiah umrah, dan asuransi.
Dalam pilkada serentak 2020, potensial berkembang model politik uang terbaru. Bawaslu provinsi, kabupaten dan kota beserta jajarannya harus mewaspadainya. Bawaslu harus memperkuat pengawasan untuk mencegah politik uang.
"Varian politik uang berkembang, dan pelaku lebih kreatif. Yang cukup mengkhawatirkan, sebagian masyarakat cukup terbuka menerima politik uang," katanya.
Ratna yang juga Koordinator Penindakan Bawaslu RI mengemukakan, di berbagai daerah saat pemilu, sebagian masyarakat menerima politik uang. Bahkan di gerbang masuk kampung, ada spanduk bertuliskan "kami menerima politik uang".
"Politik uang merusak nilai-nilai keadilan dalam demokrasi kepemiluan sehingga harus ditolak, dilawan untuk melahirkan pemimpin daerah dari proses yang benar," ucapnya.
Dalam berbagai kasus, terungkap uang yang diberikan kandidat pilkada maupun pemilu rata-rata Rp100.000 untuk satu pemilih. Kalau dibagi selama lima tahun, pemilih yang menerima uang tersebut hanya Rp5,5.
"Ini tidak ada nilainya," ucapnnya.