Penambang khawatirkan larangan dampak ekspor bijih nikel

id nikel, pertambangan

Penambang khawatirkan larangan dampak  ekspor bijih nikel

Kendaraan truk melakukan aktivitas pengangkutan ore nikel ke kapal tongkang di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Rabu (6/11/2019). Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM telah memutuskan melarang ekspor nikel mulai Januari 2020 dengan pertimbangan cadangannya mulai menipis serta mendukung program pemerintah terkait kendaraan listrik yang membutuhkan bahan baku nikel untuk industri baterai. ANTARA FOTO/Jojon/ama.

Jakarta (ANTARA) - Penambang mengkhawatirkan kebijakan pemerintah melarang ekspor bijih nikel pada 2020 akan membuat jenis berkadar rendah bakal ditumpuk oleh industri smelter di Indonesia.

"Kami khawatir bijih (ore) kadar rendah 1,4% - 1,5% akan ditumpuk karena industri smelter di Indonesia hanya dapat mengolah ore berkadar 1,8% ke atas, sedangkan kadar 1,7% terkadang diterima kadang ditolak," kata penambang asal Sulawesi, Zaldy Layata dalam diskusi mengenai nikel di Jakarta, Sabtu.

Lebih lanjut Zaldy mengaku bahwa pihaknya tengah menjajaki kerjasama dengan smelter-smelter domestik untuk persiapan Januari 2020. Untuk itu, Zaldy sudah mulai memproduksi kadar tinggi (high grid) agar dapat diserap smelter domestik.

"Biasanya kami 'kawinkan' ore nikel berkadar 1,5% dengan ore nikel berkadar 1,9% hingga dapat menghasilkan kadar 1,7%, atau 'kawinkan' ore nikel berkadar 1,6% dengan ore nikel berkadar 1,9% hingga dapat menghasilkan kadar 1,8%", kata Zaldy.



Secara terpisah, Wahyudi Agus selaku Penanggung Jawab Teknik dan Lingkungan smelter asal Sulawesi Tenggara, PT Virtue Dragon Nickel, menjelaskan bahwa ore kadar rendah bisa saja diolah, namun diperlukan proses tambahan untuk mengolahnya.

Menurut dia, barang yang masuk dari penambang belum tentu sesuai yang diharapkan (kadarnya) sehingga pihaknya perlu melakukan blending untuk pendekatan (kadar nikel) seperti yang diinginkan dari sisi metalurgi.

"Kendalanya di situ untuk proses produksi, karena harus dipertimbangkan juga outputnya. Jadi bukan tidak bisa (diolah), tapi costnya lebih tinggi. kalau Ore dengan kandungan nikel sebesar 1,8% masih masuklah. Kandungan nikel di bawah itu nanti akan kami blending. Kalau kandungannya di bawah 1,75% ya tetap diblending. Kadar nikel yang biasanya dihasilkan setelah diolah sekitar 10-13%”, ujar Wahyudi.

Sementara itu, Deputy Director PT Trinitan Metals and Minerals, Tbk, Andika Vidiarsa mengatakan teknologi untuk mengolah ore nikel kadar rendah bahkan bahkan sampai kadar 1% sekalipun sudah tersedia tinggal dimanfaatkan saja.

Andika menjelaskan terdapat keterkaitan antara teknologi yang dimiliki smelter dengan biaya produksinya.

Menurut dia jika smelter memiliki teknologi yang mumpuni, maka biaya produksi akan semakin efisien.



Dia mengatakan teknologi smelter di Indonesia sudah mampu mengolah ore nikel kadar rendah secara efisien dan ramah lingkungan.

"Kalau teknologinya belum ada ya memang perlu dilakukan proses blending sehingga biaya produksi cenderung tinggi. Selain itu, klasifikasi ore kadar rendah juga ada macam-macam jenisnya. Di sini sudah tersedia teknologi yang mampu mengolah ore kadar rendah hingga jenis yellow lemonite, yaitu ore dengan kadar 1% - 1,5%. Maka kami tidak perlu melakukan proses blending untuk mengolah ore kadar rendah", papar Andika.