Empu Ageng untuk maestro foto jurnalistik Indonesia

id Oscar motuloh,Empu ageng,foto jurnalistik,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara hari ini

Empu Ageng  untuk maestro foto jurnalistik Indonesia

Penanggung jawab sekaligus kurator Galeri Foto Jurnalistik ANTARA (GFJA) Oscar Motuloh berfoto bersama promotor Prof Soeprapto Sodjono (kanan) dan Ko-Promotor Edial Rusli (kiri) seusai Sidang Senat Penganugerahan Empu Ageng untuknya di Concert Hall, ISI Yogyakarta, Rabu. (FOTO ANTARA/Andreas Fitri Atmoko)

GFJA merupakan satu-satunya galeri foto jurnalistik pertama yang didirikan pada tahun 1992 di Asia Tenggara
Yogyakarta (ANTARA) - Suara tabuhan bonang, gambang, kendang hingga gong mengalun sayup-sayup dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Rabu (18/9) pagi.

Sumber suara lantunan gamelan itu berasal dari Gedung Concert Hall kampus pencetak para seniman Indonesia tersebut. Di dalamnya, sejumlah sinden dan pengrawit atau penabuh karawitan sedang sibuk mengiringi Tari Saraswati yang dimainkan para mahasiswi ISI Yogyakarta.

Kampus yang teduh di Jalan Parangtritis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta itu tidak sedang menggelar pertunjukan tari, konser karawitan apalagi perayaan wisuda mahasiswa.

Persembahan Tari Saraswati yang gemulai dan menawan itu menjadi ritual penanda dimulainya Sidang Senat Terbuka Penganugerahan "Empu Ageng" bidang fotografi jurnalistik untuk fotografer senior LKBN Antara Oscar Motuloh.

Pria bernama lengkap Oscar Imanuel Motuloh yang khas dengan rambut gondrongnya itu resmi menyandang gelar "Empu Ageng" setelah Rektor ISI Yogyakarta Prof Agus Burhan mengalungkan kalung kehormatan serta Surat Keputusan (SK) Rektor.
Penanggung jawab sekaligus kurator Galeri Foto Jurnalistik ANTARA (GFJA) Oscar Motuloh berfoto bersama jajaran Guru Besar ISI Yogyakarta seusai Sidang Senat Penganugerahan Empu Ageng untuknya di Concert Hall, ISI Yogyakarta, Rabu. (FOTO ANTARA/Andreas Fitri Atmoko)

Hajatan besar pagi itu menjadi sejarah untuk kali pertama gelar kehormatan yang prestisius kalau tidak dibilang sakral tersebut ditujukan untuk penjejak jagad fotografi jurnalistik di Indonesia.


Empu Ageng

Gelar yang setara dengan Doktor Honoris Causa (HC) itu merupakan gelar pencapaian maestro pada kompetensi bidang seni yang tertinggi dan prestisius dalam tradisi dunia pendidikan tinggi di ISI Yogyakarta.

Oscar Motuloh merupakan tokoh kelima penerima gelar Empu Ageng bagi ISI Yogyakarta dan yang pertama untuk bidang fotografi, khususnya fotografi jurnalistik.

ISI Yogyakarta menjadi pelopor pertama penganugerahan Empu Ageng di perguruan tinggi seni di Indonesia. Sebelum Oscar, gelar kehormatan Empu Ageng diberikan kepada Cokrowarsito untuk bidang Seni Pertunjukan/Seni Karawitan pada 21 Juli 2004. Selanjutnya, kepada Edhi Sunarso pada bidang Seni Rupa/Seni Patung pada 14 Januari 2011, Ki Cermo Manggolo (Timbul Hadi Prayitno) pada bidang Seni Pertunjukan/Seni Pedalangan pada 28 Mei 2011, serta Abas Alibasyah pada bidang Seni Rupa/Seni Lukis pada 28 Mei 2012.


Kembangkan dunia fotografi jurnalistik Indonesia

Pria bernama lengkap Oscar Imanuel Motuloh itu merupakan penanggung jawan sekaligus kurator Galeri Foto Jurnalistik ANTARA (GFJA). Sejak 2014 hingga saat ini, Oscar juga masih dipercaya sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina 1 Masyarakat Fotografi Indonesia (MFI).

Rektor ISI Agus Burhan memandang pria kelahiran Surabaya 17 Agustus 1956 itu layak menerima gelar kehormatan tertinggi karena telah banyak berjasa mengembangkan ilmu dan dunia jurnalistik Indonesia.

Daya hidup dan vitalitas karya-karya foto jurnalistik jepretan Oscar dinilai mampu memancarkan nilai-nilai perjuangan kemanusiaan sebagai ungkapan yang cenderung otonom dan tidak tersubordinasi oleh medan teks media.

Dengan demikian, dalam karya-karyanya berpotensi membuka kesadaran manusia lewat realitas yang tersublimasi menjadi simbol yang penuh makna.

Selain itu, pencapaian estetika yang fenomenal dalam setiap gaya fotografi jurnalistik Oscar juga dianggap menghadirkan angin segar fotografi jurnalistik di Tanah Air, bahkan bisa memberikan pengaruh di Asia.

Agus menilai dalam kesehariannya bertugas di LKBN ANTARA, Oscar mampu melahirkan gaya sintesis fotografi jurnalistik gaya Inggris Raya yang bersifat langsung (straight photo) yang dibawa oleh Reuters dengan foto jurnalistik pictorial Eropa daratan yang bergaya features yang dipelopori Perancis (AFP).

"Dari sintesis dua karakter gaya itulah, muncul gaya Oscar Motuloh dalam karya-karya fotografi jurnalistik yang estetis dengan menggunakan simbol-simbol dan pesan yang kuat," kata Agus.

Perpaduan gaya itu misalnya dapat dilihat dari karya-karya Oscar di antaranya "Soulscape Road" yang dipamerkan di Galeri Salihara tahun 2009 dan di Troepen Museum Belanda tahun 2011 yang menurut Agus sebenarnya merupakan gabungan gaya yang berasal dari gaya "straight" dan "pictorial".


Pelopor pendirian GFJA

Promotor penganugerahan Empu Ageng, Prof Soeprapto Soedjono mengemukakan penunjukkan Oscar sebagai penerima gelar kehormatan itu bukan sekadar kebetulan.

Oscar dipandang sebagai seorang foto jurnalis yang telah mengabadikan waktu dan tenaga bagi pendirian dan pengembangan Galeri Foto Jurnalistik (GFJA) di Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Galeri itu merupakan bagian penting dari LKBN ANTARA yang notabene merupakan kantor berita pemerintah yang telah memiliki reputasi nasional maupun internasional.

Sebagai suatu galeri, GFJA merupakan satu-satunya galeri foto jurnalistik pertama yang didirikan pada tahun 1992 di Asia Tenggara.


Penghormatan bagi dunia fotografi jurnalistik

Menerima gelar kehormatan itu, tak lantas membuat Oscar jemawa. Pria yang pernah masuk 30 fotografer paling berpengaruh di Asia versi Invisible Photographer Asia (IPA) itu menganggap bahwa gelar itu sejatinya adalah sebentuk penghormatan khusus bagi fotografi jurnalistik dan fotografi Indonesia secara umum.

"Anugerah ini menjadi metafora konstruktif di belantara jurnalisme yang belakangan ini meredup pamor dan eksistensinya," kata Oscar saat menyapaikan pidato ilmiahnya dengan judul "Sirkus Jurnalistik: Dari Penyusup Berita Sampai Hanya Satu Kata: Lawa!".