Hakim MK tidak bantah adanya kecurangan, kata Bambang Widjojanto
Jakarta (ANTARA) - Ketua tim kuasa hukum pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto - Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto, menyatakan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidak membantah adanya kecurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilihan presiden 2019.
"Mahkamah tidak pernah berani mengatakan bahwa kecurangan itu tidak faktual, cuma selalu dikatakan kecurangan itu terlibat langsung enggak dengan suara? Tapi kecurangan itu tidak pernah bisa dibantah," ujar Bambang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis.
Pernyataan Bambang tersebut mengacu kepada rekaman video hasil kiriman masyarakat yang yang dijadikan alat bukti persidangan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Menurut Bambang, rekaman-rekaman video tersebut telah menunjukkan adanya fakta kecurangan di lapangan.
Namun, tuntutan majelis hakim yang meminta rincian mengenai video, serta pertanyaan apakah video tersebut berkaitan dengan perolehan suara salah satu paslon, menjadi masalah tersendiri bagi pihak pemohon.
"Mahkamah meminta supaya di video itu diberi penjelasan lebih jelas narasinya itu ada di daerah mana, itu siapa, dan kayak kayak gitu. Tapi fakta kalau ada kecurangan di situ kan ini tidak bisa ditolak," ucap Bambang.
Menurut Bambang video yang direkam oleh masyarakat tersebut bersifat bidikan tiba-tiba (snapshot), sehingga masyarakat memiliki keterbatasan dalam menyusun narasi terkait informasi detail video tersebut.
"Kadang-kadang ketika ada kecurangan dia tidak menuliskan dengan cukup panjang, tapi ada snapshot langsung (rekam). Ini ada snapshot tapi kita dituntut untuk menjelaskan ini di mana, siapa ininya, berkaitan dengan surat suara, yang kayak begitu loh, padahal yang video di masyarakat itu fakta kecurangan itu yang ditembak secara snapshot," ucap Bambang
Bambang melanjutkan, video dugaan kecurangan yang dijadikan sebagai alat bukti pada persidangan itu telah melalui proses validasi dan verifikasi. Namun, terbatasnya informasi terkait video tersebut menjadi problem yang mempengaruhi pertimbangan hakim MK dalam mengambil keputusan.
"Validasi sudah dilakukan, tapi paradigmatiknya beda. Mahkamah inginnya itu detail dan itu berpengaruh terhadap jumlah suara dan itu yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh masyarakat," ujar mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
"Tapi setidaknya apa yang dilakukan masyarakat sebagai jurnalism activism sudah ditampung dalam permohonan," tambah dia.
"Mahkamah tidak pernah berani mengatakan bahwa kecurangan itu tidak faktual, cuma selalu dikatakan kecurangan itu terlibat langsung enggak dengan suara? Tapi kecurangan itu tidak pernah bisa dibantah," ujar Bambang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis.
Pernyataan Bambang tersebut mengacu kepada rekaman video hasil kiriman masyarakat yang yang dijadikan alat bukti persidangan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Menurut Bambang, rekaman-rekaman video tersebut telah menunjukkan adanya fakta kecurangan di lapangan.
Namun, tuntutan majelis hakim yang meminta rincian mengenai video, serta pertanyaan apakah video tersebut berkaitan dengan perolehan suara salah satu paslon, menjadi masalah tersendiri bagi pihak pemohon.
"Mahkamah meminta supaya di video itu diberi penjelasan lebih jelas narasinya itu ada di daerah mana, itu siapa, dan kayak kayak gitu. Tapi fakta kalau ada kecurangan di situ kan ini tidak bisa ditolak," ucap Bambang.
Menurut Bambang video yang direkam oleh masyarakat tersebut bersifat bidikan tiba-tiba (snapshot), sehingga masyarakat memiliki keterbatasan dalam menyusun narasi terkait informasi detail video tersebut.
"Kadang-kadang ketika ada kecurangan dia tidak menuliskan dengan cukup panjang, tapi ada snapshot langsung (rekam). Ini ada snapshot tapi kita dituntut untuk menjelaskan ini di mana, siapa ininya, berkaitan dengan surat suara, yang kayak begitu loh, padahal yang video di masyarakat itu fakta kecurangan itu yang ditembak secara snapshot," ucap Bambang
Bambang melanjutkan, video dugaan kecurangan yang dijadikan sebagai alat bukti pada persidangan itu telah melalui proses validasi dan verifikasi. Namun, terbatasnya informasi terkait video tersebut menjadi problem yang mempengaruhi pertimbangan hakim MK dalam mengambil keputusan.
"Validasi sudah dilakukan, tapi paradigmatiknya beda. Mahkamah inginnya itu detail dan itu berpengaruh terhadap jumlah suara dan itu yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh masyarakat," ujar mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
"Tapi setidaknya apa yang dilakukan masyarakat sebagai jurnalism activism sudah ditampung dalam permohonan," tambah dia.