Pelestarian budaya "Lampu Colok" di Bengkalis

id Bengkalis, Riau,budaya Lampu Colok,Cerita pemuda Bengkalis,lestarikan budaya Lampu Colok

Pelestarian budaya "Lampu Colok" di Bengkalis

Belasan pemuda Desa Selatbaru, Bengkalis, Riau gotong royong mendirikan menara lampu colok bergambar masjid. (Anggi Romadhoni)

Pekanbaru (ANTARA) - "Lampu colok" merupakan salah satu tradisi unik di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Tidak ada literatur rinci yang menjelaskan tradisi lampu colok tersebut.

Namun bagi warga Bengkalis, mereka mengenal lampu colok sebagai bentuk tradisi di penghujung Ramadhan. Tradisi meriah yang harus dijaga sampai kapanpun.

Tradisi dengan memanfaatkan susunan lampu semprong minyak tanah yang beragam bentuk. Mulai dari Asma Allah hingga bentuk masjid yang indah.

Lampu colok sendiri merupakan susunan ratusan hingga ribuan lampu semprong atau lampu minyak yang terbuat dari kaleng bekas.

Lampu itu disusun pada menara yang terbuat dari kayu. Tinggi dan lebarnya mencapai puluhan meter. Lampu colok biasanya mulai ditampilkan pada malam 27 Ramadhan hingga malam takbiran Idul Fitri.

Pemuda Desa Selatbaru, Kecamatan Bantan salah satu yang selalu menyambut lampu colok tersebut. Mereka secara sukarela bergotong royong mendirikan menara selama Bulan Ramadhan. Setiap malam usai Shalat Tarawih, mereka bekerja keras mendirikan menara, membuat ribuan lampu semprong dan membentuk pola.

Tengku Fitra Agunandi, pemuda Desa Selatbaru yang memimpin rekan-rekannya mendirikan lampu colok itu kepada Antara mengatakan dirinya dan belasan pemuda bahkan telah bekerja sebelum Ramadhan tiba.

"Sejak sebelum Ramadhan kita semua bergotong royong mendirikan menara untuk lampu colok ini," kata Fitra, Sabtu.

Tahun ini, katanya, mereka mendirikan menara setinggi 10 meter dengan lebar 15 meter. Selain itu, lebih dari 3.000 lampu semprong turut dibuat untuk mengisi menara tersebut dengan pola yang telah ditentukan.

"Ini gambar masjid. Bentuk bangunan masjid lengkap," ujarnya.

Membuat menara lampu colok dengan pola seperti masjid yang tengah dilakukan mereka bukan sebuah pekerjaan mudah. Selain itu, dana yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Dia mengaku, untuk mendirikan menara serta operasional lampu colok selama tiga hari menghabiskan anggaran hingga Rp15 juta.

Hingga pertengahan Ramadhan ini, belum ada bantuan dari pemerintah yang mengalir ke pemuda kreatif tersebut. Alhasil, mereka mengandalkan iuran dari masyarakat. Selain itu mereka juga berusaha mencari donatur dari pengusaha secara mandiri.

"Kalau ditotal anggaran itu sekitar Rp15 juta. Itu termasuk biaya minyak tanah yang menghabiskan lebih dari tiga drum untuk menyalakan lampu," jelasnya.

Fitra mengaku tidak ada paksaan dalam mendirikan lampu colok tersebut. Menurut dia, membuat lampu colok merupakan bentuk dari semangat pemuda setempat dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Selain itu, dia dan rekan-rekannya sepakat harus ada yang rela berkorban baik waktu dan materi untuk menjaga tradisi.

"Kalau bukan kita siapa lagi yang akan menjaga tradisi ini. Ini tradisi yang harus dijaga sampai kapanpun," kata dia.

Selain itu, dia mengatakan membuat lampu colok juga untuk menghibur para perantau yang pulang untuk merayakan hari idul Fitri di kampung halaman. "Kita juga ingin kampung ini dikenal yang akan menjadi kebanggaan kami semua," ujarnya.

Bagi orang yang pertama kali ke Pulau Bengkalis, mereka pasti tidak dapat menyembunyikan takjubnya terhadap menara lampu membentuk gambar masjid. Dibentuk dengan ribuan lampu dari kaleng bekas di atas kanvas berupa menara kayu yang berdiri tegak, kokoh.

Itulah salah satu tradisi di Kabupaten Bengkalis. Masyarakat setempat biasa menyebut lampu colok. Dahulu lampu colok banyak ditemukan diberbagai sudut kampung.

Namun belakangan tradisi ini seolah semakin meredup. Besarnya anggaran yang dibutuhkan menjadi salah satu alasan meredupnya tradisi unik tersebut. Pemerintah seharusnya dapat lebih berperan dalam menjaga tradisi unik ini sehingga tidak tenggelam ditelan zaman.

Pewarta Anggi Romadhoni