Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Buruh-buruh di Bangladesh yang mengerjakan pembuatan kaus amal Spice Girls cuma dibayar 35 pence atau sekira Rp6.500 per jam, demikian laporan investigasi Guardian.
Kaus warna putih bertuliskan "#IWannaBeASpiceGirl" di depan dan "gender justice" di bagian belakang itu kebanyakan dibuat oleh buruh wanita yang dipaksa bekerja 16 jam sehari dan disebut "anak pelacur" oleh manajer mereka jika tak mencapai target.
Sehelai kaus dijual seharga 19,40 poundsterling (sekira Rp355.000) dan akan didonasikan ke Comic Relief untuk membantu "memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan".
Badan amal itu akan menerima 11,60 poundsterling (sekira Rp209.000) untuk masing-masing kaus, yang ditugaskan dan dirancang oleh "girl band" itu, tetapi Comic Relief mengatakan belum menerima uang tersebut.
Mengumumkan kemitraan, Spice Girls mengatakan gerakan ini penting bagi mereka karena "kesetaraan dan pergerakan kekuatan orang-orang selalu menjadi denyut jantung band".
Pabrik di mana para buruh mengerjakan kaus itu sebagian dimiliki oleh seorang menteri di pemerintah koalisi otoriter Bangladesh, yang memenangi 96 persen suara bulan lalu dalam pemilihan yang digambarkan sebagai "konyol" oleh para kritikus. Tidak ada saran dari para selebritas yang mengetahui kondisi di pabrik.
Seorang juru bicara Spice Girls mengatakan mereka "sangat terkejut" dan secara pribadi akan mendanai penyelidikan kondisi kerja pabrik. Comic Relief mengatakan bahwa badan amal itu "terkejut dan khawatir".
Kedua pihak mengatakan bahwa mereka telah memeriksa kredensial sumber etis dari Represent, pengecer daring yang ditugaskan oleh Spice Girls untuk membuat kaus, tetapi kemudian berganti produsen tanpa sepengetahuan mereka.
Represent mengatakan bahwa mereka mengambil "tanggung jawab penuh" dan akan mengembalikan uang pelanggan berdasarkan permintaan. Band tersebut mengatakan Represent harus menyumbangkan keuntungan untuk "kampanye dengan maksud mengakhiri ketidakadilan tersebut".
Perusahaan di belakang pabrik yang membuat kaus, Interstoff Apparels, mengatakan temuan itu akan diselidiki tetapi mengatakan itu "sama sekali tidak benar".
Namun, katalog bukti tentang kondisi yang dihadapi oleh karyawan itu ditemukan, termasuk tuduhan bahwa beberapa pekerja cuma mendapat 82 poundsterling (setara Rp1,5 juta) per bulan, menurut slip gaji baru-baru ini.
Itu berarti mereka mendapatkan setara dengan Rp6.500 per jam selama 54 jam per minggu. Jumlahnya jauh di bawah tuntutan serikat pekerja yakni 16.000 Taka (sekitar Rp2,7 juta).
Karyawan dipaksa bekerja lembur untuk mencapai target "mustahil" menjahit ribuan pakaian sehari, yang berarti mereka kadang-kadang bekerja dengan shif 16 jam yang selesai pada tengah malam.
Pekerja pabrik yang tidak membuat target dilecehkan secara verbal oleh manajemen. Beberapa telah dipaksa untuk bekerja meskipun saat sedang sakit.
Industri garmen menyumbang 80 persen dari ekspor Bangladesh, mempekerjakan lebih dari empat juta pekerja. Meski industri garmen membantu pertumbuhan ekonomi negara itu, sektor tersebut dilanda kontroversi upah rendah dan kondisi kerja yang tidak aman.
Pada 2013, 1.134 orang meninggal ketika gedung Rana Plaza runtuh karena kegagalan struktural, demikian dikutip dari laporan Guardian yang dirilis Minggu (20/1).