Sudah dua tahun lahan gambut di Desa Tanjung Putri, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Kalteng), dan desa-desa lain di sekitarnya terbengkalai.
Hal ini terjadi setelah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan dilaksanakan di seluruh Indonesia.
Petani tidak ada lagi yang berani menanam padi atau berladang karena tidak tahu cara bertani selain dengan membakar. Tidak heran produksi beras di desa-desa Kotawaringin Barat, bahkan Kalimantan Tengah menurun drastis.
Penyuluh pertanian Dinas Pertanian Kotawaringin Barat di Desa Tanjung Putri Purwadi menceritakan bahwa sejak 2010 dirinya bertugas disana produksi beras terus meningkat, bahkan selalu surplus. Terutama setelah campur tangan Dinas Pertanian Kotawaringin Barat di 2012 yang membantu optimasi lahan rawa dengan cetak sawah.
"Bahkan Pak Ruslan (Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki Desa Tanjung Putri, Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Ruslan Surbakti) bisa beli rumah dari hasil jual gabah," kata Purwadi sambil melihat ke arah pria di dekatnya yang baru disebutkan namanya.
Kebijakan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) juga berdampak pada anggota Kelompok Tani Sejati Muhammad Thamrin (63) dari Desa Terantang, Kelurahan Mendawai. Dirinya terpaksa beralih menjadi nelayan tangkap pascakebijakan tersebut berjalan.
Pendapatannya pun sangat minim, terkadang hanya kisaran Rp20.000 per hari atau bahkan tidak ada sama sekali saat musim menangkap ikan sedang tidak bersahabat. Thamrin mengatakan tentu saja pendapatan itu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, sementara pendapatan dari bertani benar-benar terhenti.
Sudah pasti bukan hanya Thamrin yang mengalami nasib seperti ini, karena banyak pentani lain yang berada di lahan gambut di Kalteng, Kalimantan Barat (Kalbar), Sumatera Selatan (Sumsel), Jambi hingga Riau menghadapi situasi sama.
Kondisi ini yang menjadi tantangan sekaligus peluang untuk bisa menyelesaikan persoalan lingkungan berupa bencana kabut asap dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sudah puluhan tahun terjadi, sehingga Indonesia bisa terlepas dari status sebagai salah satu negara penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia.
Namun dalam waktu bersamaan perlu pula dicari cara bagaimana peluang penciptaan sumber ekonomi baru untuk memastikan dapur-dapur tetap mengebul di rumah-rumah panggung atau apung dari mereka yang hidup di lahan gambut terbuka lebar.
Jumat (6/4), Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki Desa Tanjung Putri, Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Ruslan Surbakti (36) menunjukkan petak sawah dari sekian ha lahan yang dikelolanya.
Tampak lahan gambut berkedalaman sekitar satu meter dengan luasan tidak lebih dari 15x15 meter yang siap untuk ditanami.
Namun, menurut pria kelahiran 1982 ini, lahan belum siap ditanami mengingat baru 15 hari disemprot dengan dekomposer dari isolat 13 mikroba bernama BeKa. Setidaknya butuh lima atau enam hari lagi lahan gambut tersebut siap ditanami padi.
Butuh waktu lebih lama, 20 sampai dengan 21 hari untuk menyiapkan lahan dengan menggunakan dekomposer mikroba di lahan gambut. Namun, ia mengatakan jika dengan cara membakar biasanya masa hanya tanam satu kali tapi dengan menggunakan dekomposer mikroba masa tanam bisa dua kali dalam setahun.
Pada panen perdana, Ruslan mengatakan hasilnya mencapai tiga ton gabah kering per ha, atau menghasilkan sekitar 1,2 ton beras per ha. Sebenarnya, jumlah tersebut juga sama ketika dirinya masih menggunakan teknik membakar untuk menyiapkan lahan.
"Cara ini memang lebih lama dan lebih mahal, tapi kita tidak perlu sesak napas. Udara sekarang segar, tidak ada asap lagi," ujar Ruslan.
Saat ditanya berapa dana yang dikeluarkan untuk bisa menanam padi dengan cara tidak membakar ini, Ruslan menyebut angka Rp7,5 juta per ha. Namun angka tersebut untuk penyiapan lahan gambut pertama kali, karena setelah panen tidak ada simpukan yang terlalu besar atau tebal yang perlu diurai dengan dekomposer BeKa, sehingga dana bisa ditekan hingga Rp3,5 juta per ha.
Menurut Ruslan, biaya tersebut sudah tidak bisa dikurangi lagi, alias harga paling murah untuk menanam padi di lahan gambut dengan cara PLTB dengan dekomposer dari mikroba.
Sejauh ini, ia mengatakan tidak ada kendala besar dalam menjalankan praktik PLTB ini, hanya butuh pengaturan air yang lebih baik pada saluran cacing kanal sekunder mengingat lahan yang digunakan adalah lahan gambut pasang surut yang jika musim kemarau intrusi air laut semakin kuat dan bisa memicu munculnya hama.
Saat berada di lokasi, Ruslan menunjukkan saluran cacing yang menghubungkan petak sawahnya dengan saluran tersier milik Dinas Pekerjaan Umum. Tidak terlihat intervensi berarti di sana, hanya beberapa kayu dan bambu yang dipasang berjajar seperti sekat.
Sebelumnya penyuluh pertanian Desa Tanjung Putri Purwadi memang mengatakan pembukaan lahan untuk pertama kali di area gambut memang lebih sulit dan membutuhkan lebih banyak tenaga, waktu dan biaya. Setidaknya setelah tutupan di atas lahan yang akan ditanami ditebas butuh disemprot dengan herbisida lebih banyak, bisa sampai 15 liter per ha, baru disemprot dengan BeKa dengan perbandingan 10 cc dekomposer per satu liter air.
Namun ia mengatakan perbandingan ini sangat dipengaruhi dengan banyaknya simpukan -bekas tebasan yang terkumpul untuk dikeringkan, yang perlu diurai oleh mikroba. Tebalnya simpukan memakan waktu dan tenaga untuk diurai, terutama jika hasil tebasan berupa kayu atau ranting berukuran besar.
Percepat replikasi PLTB
Solusi untuk larangan membakar saat bertani atau berladang sebenarnya sudah muncul secara sporadis di beberapa daerah. Karena penggunaan dekomposer BeKa ini sebenarnya juga sudah digunakan di Desa Pantik dan Desa Sebangau Jaya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng.
Panen gabah di dua desa yang juga berada di lahan gambut dengan kedalaman kategori budidaya tersebut bisa mencapai tiga hingga 4,5 ton per ha.
Namun sejauh ini memang masih lebih banyak hanya sebatas proyek percontohan atau pilot project dengan skala luasan kecil. Belum pernah terdengar program nasional baik dari Kementerian Pertanian maupun Dinas Pertanian setempat di Indonesia yang secara bersama-sama memasyarakatkan pelaksanaan PLTB, padahal kebijakan larangan bertani atau berkebun dengan cara membakar lahan sudah ada sejak 2016.
Padahal, menurut Direktur Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin) Eddy Santoso, yang melakukan bimbingan pelaksanaan program Konservasi Ekosistem Nipah dan Hutan Penyangga Bagian Timur Suaka Margasatwa Sungai Lamandau sebagai Kawasan Pencadangan Hutan Kemasyarakatan yang salah satunya berupa pelaksanaan PLTB di Desa Tanjung Putri, sejumlah petani di desa tersebut mencoba menggunakan BeKa justru atas petunjuk dari Dinas Pertanian setempat.
Asisten Bidang Perekomian dan Pembangunan Kabupaten Kotawaringin Barat Encep Hidayat mengatakan program konservasi yang dilakukan Yayorin dan didanai Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) tersebut sudah berjalan dua tahun di Desa Tanjung Putri dan Desa Tanjung Terantang.
Menurut dia, persoalan yang dihadapi para petani di Kotawaringin Barat memang bagaimana menjalankan PLTB dan menghasilkan, mengingat banyak petani di sana yang sudah kehilangan mata pencarian setelah larangan membakar di lahan-lahan di seluruh Indonesia paskakebakaran besar hutan dan lahan 2015. Karena itu, pihaknya akan ikut mengkaji keberhasilan pelaksanaan program yang dijalankan Yayorin tersebut.
Ia memang tidak berani mengatakan bahwa replikasi PLTB di Desa Tanjung Putri akan segera dilakukan di desa-desa lain di kabupaten tersebut. Namun dirinya mencoba menyakinkan wartawan bahwa jika benar hasilnya baikmaka Bupati Kotawaringin Barat juga pasti akan mendukung teknik PLTB tersebut berjalan di sana.
Bukan tidak ada alasan ICCTF mendanai program mitigasi berbasis lahan dengan Konservasi Ekosistem Nipah dan Hutan Penyangga Bagian Timur Suaka Margasatwa Sungai Lamandau sebagai Kawasan Pencadangan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Kotawaringin Barat, yang salah satunya juga menyangkut soal replikasi PLTB.
Urusan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang ditargetkan secara sukarela 26 persen di 2020, dan 29 persen dan atau 41 persen dengan bantuan pihak lain di 2030 sesuatu Kesepakatan Paris (Paris Agreement) tidak hanya sebatas domain sektor lingkungan hidup, kehutanan atau energi. Tapi sektor pertanian juga perlu dipikirkan, terlebih penyumbang emisi terbesar di Indonesia sejauh ini bersumber dari kebakaran hutan dan lahan.
Jika memang cerita-cerita sukses PLTB sudah bermunculan, lantas kapan replikasi besar-besaran akan dilakukan untuk ¿menghidupkan¿ ratusan ribu atau bahkan jutaan ha lahan yang terbengkalai pascakeluarnya kebijakan larangan membakar di area gambut?.
(T.V002/a011)