Hak pekerja domestik masih bergantung pada majikan

id Pekerja Rumah Tangga,prt,pegawai biasa,tugas pegawai,gaji prt,gaji pegawai rendah,Michiko Miyamoto, Adelina-Adelina,Zaini-Zaini,majikan,gaji rendah.,g

Hak pekerja domestik masih bergantung pada majikan

Arsip- Unjuk rasa PRT di Jakarta. (FOTO ANTARA/Eric Ireng)

....Seringkali kita tidak memperhatikan keberadaan mereka sebagai pekerja, karena bagi kita, kontribusi dan nilai-nilai pekerjaan mereka memang tidak terlihat jelas....
Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Pekerja Rumah Tangga merupakan jenis pekerjaan tertua di dunia. Di banyak tempat dalam peradaban modern, Pekerja Rumah Tangga atau PRT masih seringkali mengalami kekerasan dan diskriminasi dalam menjalankan tugasnya.

Padahal, tak dapat dipungkiri, kontribusi Pekerja Rumah Tangga acap kali meringankan beban masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Hal ini terbukti tak hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara lain, yang dapat dilihat dari tingginya angka pengiriman pekerja migran Indonesia ke beberapa negara seperti Malaysia dan Saudi Arabia.

Namun, menurut Irham Ali Saifuddin, selaku Pelaksana Program dari Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO), kepada Antara, Minggu, bahwa PRT bekerja di ranah privat dan ruang-ruang domestik yang minim pengawasan dan akses bantuan ketika menghadapi persoalan.

Pada bulan Agustus 2017, Direktur ILO di Jakarta Michiko Miyamoto menyatakan bahwa hal ini juga menjadikan para pekerja domestik tidak terlihat atau 'invisible' dari pandangan khalayak, sehingga hak dan kewajiban mereka tidak tertulis secara jelas, hitam diatas putih. Bukan hanya hak sebagai pekerja, bahkan tak jarang hak dasar mereka sebagai manusia juga dilanggar.
 
 

Ingatan rakyat Indonesia masih segar akan kasus TKW asal Indonesia Adelina Sau (21) yang meninggal dunia, satu hari setelah dirinya ditemukan dan diselamatkan dari rumah majikannya di Penang, Malaysia. Kematian Pekerja Rumah Tangga asal Kupang, NTT tersebut disebabkan oleh indikasi kelelahan, anemia, kekurangan asupan makanan serta penyiksaan oleh majikannya sendiri.

Hal ini kemudian kembali mendorong pemerintah untuk lebih memerhatikan lebih dalam lagi, semua hal yang bersangkutan dengan perekrutan dan penempatan para pekerja migran Indonesia. Karena pada akhirnya, para pekerja domestik tersebut memang tidak bekerja di ranah publik, di mana akan ada banyak spektator yang dapat memerhatikan kelayakan kerja mereka atau segera menyediakan akses untuk bantuan, apabila mereka menghadapi permasalahan.

"Kondisi ini diperparah dengan sebagian besar negara-negara dunia yang masih belum memasukkan perihal perlindungan PRT dari perundang-undangan ketenagakerjaan mereka," jelas Irham, dengan menambahkan bahwa pihak ILO sendiri terus mendorong semua negara di dunia untuk segera menjadikan Konvensi ILO nomor 189, mengenai kerja layak bagi PRT, sebagai rujukan untuk memberikan standar perlindungan minimum kepada PRT.

Kasus diskriminasi dan kekerasan yang dialami PRT dapat terjadi dalam berbagai bentuk, baik bagi PRT yang bekerja di tanah Indonesia, maupun TKI yang bekerja sebagai PRT dan mencari nafkah di negeri orang.

Menurut Irham, selama ini baik atau buruknya perlakuan terhadap PRT lebih tergantung dari 'kebaikan' pemberi kerja atau majikan, padahal hal tersebut semestinya menjadi hak yg harus didapatkan oleh PRT.

"Menyerahkan 'kebaikan' kepada 'mekanisme pasar' seperti ini sangat merugikan perlindungan PRT. Apalagi mereka tidak dalam posisi untuk memiliki posisi tawar yang sepadan terhadap sang pemberi kerja," lanjutnya.

Meski dengan alur kasus yang berbeda, kurang lebih satu bulan kemudian Indonesia kembali digemparkan dengan kabar TKI asal Indonesia yang dieksekusi mati di Arab Saudi.

Zaini Masrin (53) merupakan pria asal Bangkalan, Madura, Jawa Timur, yang bekerja sebagai sopir pribadi di Arab Saudi. Ia ditangkap oleh polisi Arab Saudi pada 13 Juli 2004 karena dituduh membunuh majikannya yang bernama Abdullah bin Umar Muhammad Al Sindy.

Vonis hukuman mati pun dijatuhkan kepada Zaini pada 17 November 2008. Pada tahun 2006, Konsulat Jenderal RI Jeddah menjumpai Zaini untuk pertama kalinya di penjara, di mana Ia mengatakan bahwa dirinya dipaksa mengakui perbuatan pembunuhan terhadap majikannya dan mendapat tekanan dari aparat Arab Saudi.

Eksekusi hukuman mati terhadap Zaini pun berlangsung pada Minggu (18/3), dan menurut Kementerian Luar Negeri, otoritas kerajaan Arab Saudi sama sekali tidak menyampaikan pemberitahuan mengenai pelaksanaan eksekusi tersebut.

Atas kasus eksekusi mati Zaini, Menteri Ketenagakerjaan RI Hanif Dhakiri menyatakan bahwa seluruh upaya pemerintah, baik dalam bentuk pendampingan hukum serta langkah diplomatik dan nondiplomatik terkendala sistem hukum di Arab Saudi, yang dalam kasus ini tergantung dari keputusan ahli waris dan kebijakannya untuk memaafkan terpidana atau tidak.

"Memang seperti itu aturan hukum di sana. Raja Saudi tidak bisa mengampuni karena ahli waris tidak memberikan maaf kepada Zaini," jelas Hanif.

Hal ini lagi-lagi mengonfirmasi bahwa nasib dari pekerja migran Indonesia lagi-lagi bergantung pada kebijakan dan 'kebaikan' dari pihak majikan mereka.

Hanif pun mengatakan bahwa salah satu pekerjaan rumah pemerintah saat ini adalah untuk memperkuat negosiasi bilateral dengan negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia guna mewujudkan sistem tata kelola dan perlindungan yang lebih baik.

"Hal tersebut dilakukan sehingga ke depan risiko migrasi dapat terus ditekan dengan penanganan masalah yang ada lebih efektif," katanya.

Banyaknya jumlah kasus berbau hukum yang menimpa tenaga kerja Indonesia, terutama di luar negeri, semakin mendesak seluruh pihak terkait untuk segera menciptakan sistem yang dapat menjamin terpenuhinya hak-hak para pekerja dalam skema kerja layak.

Pekerjaan Pekerja Rumah Tangga serta buruh migran yang bekerja pada sektor domestik seringkali berada di zona abu-abu, karena hak dan kewajiban mereka tidak pernah tertulis secara jelas.

"Seringkali kita tidak memperhatikan keberadaan mereka sebagai pekerja, karena bagi kita, kontribusi dan nilai-nilai pekerjaan mereka memang tidak terlihat jelas," kata Michiko Miyamoto.

Kedua kasus yang menimpa pekerja Indonesia di luar negeri beberapa waktu belakangan, seharusnya cukup menjadi peringatan bagi pemerintah serta pihak-pihak terkait untuk segera memperbaharui peraturan dan perjanjian-perjanjian yang berhubungan dengan kejelasan hak dan kewajiban dari para pekerja itu sendiri.

Edukasi terhadap masyarakat global akan hal-hal tersebut juga perlu dimulai, sehingga pada masa yang akan datang, tidak ada lagi Adelina-Adelina atau Zaini-Zaini lain yang bernasib serupa.
(T.KR-ARC/T. Susilo)