Jakarta (ANTARA News Sumsel) - "Katakan tidak pada korupsi" pernah populer menjadi jargon kampanye antikorupsi dari sebuah partai politik menjelang Pemilu 2009 meskipun di belakang hari sejumlah petinggi partai itu justru terjerat hukum dan diganjar hukuman penjara karena korupsi.
Paradoks seperti itu tentu saja tetap tak menyurutkan publik bersama lembaga antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk melawan perilaku tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi, berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, merupakan tindakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
Menjelang pemungutan suara pilkada serentak 2018 di 171 daerah yang dijadwalkan berlangsung pada 27 Juni 2018 terdapat sejumlah calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka atau bahkan ada pula yang tertangkap tangan dalam operasi yang dilakukan oleh KPK.
Terbaru, KPK pada Jumat (16/3) menetapkan calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus yang juga Bupati Kepulauan Sula 2005-2010 bersama Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Sula 2009-2014 Zainal Mus sebagai tersangka tindak pidana korupsi kasus pengadaan pembebasan lahan Bandara Bobong pada APBD Kabupaten Kepulauan Sula Tahun Anggaran 2009 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp3,4 miliar. Keduanya merupakan kakak beradik. Ahmad Hidayat merupakan calon gubernur yang diusung oleh Partai Golkar dan PPP.
Tak hanya kakak beradik yang menjadi tersangka, bapak dan anak pun terciduk oleh KPK, sebagaimana yang dialami oleh Asrun dan putranya, Adriatma Dwi Putra. Asrun adalah Wali Kota Kendari dua periode (2007-2012 dan 2012-2017) yang kini menjadi calon Gubernur Sulawesi Tenggara untuk Pilkada 2018 dan diusung oleh PDI Perjuangan, PAN, Partai Gerindra, Partai Hanura, dan PKS. Sedangkan Adriatma merupakan Wali Kota Kendari, pengganti Asrun.
Mereka bersama lima orang lainnya, ditangkap oleh KPK pada Rabu (28/2) dinihari atas dugaan terlibat suap.
Sebelumnya, KPK juga menangkap Bupati Lampung Tengah Mustafa yang juga calon Gubernur Lampung pada Jumat (16/2) yang diusung oleh PKS, Nasdem, dan Hanura. Mustafa ditangkap bersama Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah Taufik Rahman. Mereka memberi suap ke Wakil Ketua DPRD Lampung Tengah J Natalis Sinaga dan anggota DPRD Lampung Tengah Rusliyanto, yang juga ikut ditangkap.
Suap-menyuap itu untuk memuluskan persetujuan dari DPRD setempat atas rencana Pemkab Lampung Tengah meminjam dana sebesar Rp300 miliar dari salah satu perusahaan BUMN.
Sejumlah kasus penangkapan oleh KPK terhadap kepala daerah, dalam waktu relatif berdekatan, juga dialami sebelumnya oleh Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Bupati Ngada Marianus Sae, dan Bupati Subang Imas Aryumningsih.
Nyono yang sebelumnya Ketua DPD Partai Golkar Jatim dan mencalonkan kembali menjadi Bupati Jombang untuk periode kedua dalam pilkada serentak 2018, kini berstatus tersangka setelah tertangkap tangan oleh KPK di Stasiun Balapan, Solo, Jateng, saat akan menuju Jombang, Jatim, pada 3 Februari lalu atas dugaan menerima suap terkait perizinan dan pengurusan penempatan jabatan di pemerintahan Kabupaten Jombang.
Suap yang diterima Nyono antara lain untuk mendanai iklan kampanye. Nyono yang kini ditahan di Rumah Tahanan Pomdam Jaya telah memohon maaf kepada rakyat Jombang atas kasus hukum yang menimpanya. Nyono yang berpasangan dengan Subaidi Mukhtar, diusung oleh koalisi Partai Golkar, PKB, PKS, PAN, dan Partai Nasdem sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Jombang periode 2018-2023.
Marianus, yang telah dua periode menjabat Bupati Ngada dan kini menjadi calon Gubernur NTT, ditangkap di sebuah hotel di Surabaya, Jatim, oleh KPK pada 11 Februari lalu. Dia ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi menerima suap proyek pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Ngada, NTT. Dia ditahan di Rumah Tahanan Klas 1 Jakarta Timur Cabang KPK. Marianus yang berpasangan dengan Emilia Nomleni, diusung oleh PDI Perjuangan dan PKB.
Imas yang mencalonkan kembali untuk periode kedua sebagai Bupati Subang, ditangkap oleh KPK di rumah dinasnya di Subang pada 13 Februari lalu. Dia menjadi tersangka tindak pidana korupsi dalam pengurusan perizinan Tahun 2017 dan 2018. Imas ditahan di Rumah Tahanan Klas 1 Jakarta Timur Cabang KPK. Imas yang juga Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Subang, Jabar, berpasangan dengan Sutarno, diusung Partai Golkar dan PKB.
Ironisnya, Imas seolah meneruskan dua bupati Subang sebelumnya yang juga terjerat hukum. Bupati Subang dua periode (2003-2008 dan 2008-2013) Eep Hidayat oleh Mahkamah Agung pada 2012 diganjar hukuman penjara dalam kasus korupsi dan harus berhenti dari jabatannya. Dia digantikan oleh Wakil Bupati Ojang Suhandi dan terpilih kembali dalam pilkada 2013 untuk periode 2013-2018 tetapi ditangkap oleh KPK pada 2016 karena suap. Ojang dijebloskan ke penjara dan digantikan oleh Imas yang sebelumnya Wakil Bupati. Kini Imas pun terciduk.
Status tersangka terhadap mereka tak menggugurkan kepesertaan mereka dalam kontestasi pemilihan kepala daerah yang pemungutan suaranya dijadwalkan berlangsung pada 27 Juni 2018.
Mencederai
Meskipun proses penegakan hukum di Indonesia menganut asas praduga tak bersalah, memilih calon pemimpin atau kepala daerah yang berstatus tersangka bisa mencederai hak politik rakyat untuk mendapatkan figur yang bersih dan jujur.
Kasus hukum yang menimpa calon kepala daerah menjadi noda demokrasi dalam semangat mencari pemimpin bersih dari kasus korupsi.
Apalagi KPK menjelang pelaksanaan pilkada ini giat melakukan berbagai kegiatan di berbagai daerah untuk memantau berbagai tindakan para penyelenggara negara dan calon kepala daerah apakah terindikasi melakukan korupsi atau tidak.
Terkait kasus tersebut dan penyelenggaraan pilkada, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu tampaknya perlu menginformasikan calon kepala daerah yang berstatus tersangka. Sebagaimana disampaikan oleh mantan komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah, walaupun mereka tetap menjadi calon kepala daerah, publik juga harus diberikan informasi bahwa yang bersangkutan itu tersangka.
Pemberitahuan mengenai adanya calon kepala daerah yang terlibat kasus hukum menjadi hak masyarakat. Penyebaran informasi oleh KPU itu juga membuat proses pemilu menjadi lebih terbuka dan berintegritas.
KPU dalam beberapa tahun terakhir ini telah menyosialisasikan slogan "Pemilih Cerdas Pemilu Berkualitas".
Slogan itu tentu saja amat relevan untuk dihadapkan kepada pemilih dalam memilih para pemimpinya di daerah, terkait dengan penyelenggaraan pilkada serentak tahun ini di 17 provinsi untuk memilih gubernur-wakil gubernur, 115 kabupaten untuk memilih bupati-wakil bupati, dan 35 kota untuk memilih wali kota-wakil wali kota.
Di sinilah rakyat pemilih mesti cerdas dalam mempertimbangkan dan menentukan pilihannya agar jangan sampai memberikan suara kepada pemimpin yang diragukan integritas dan kualitasnya.
Setiap pemilih tentu saja berharap bahwa calon pemimpin yang dipilihnya merupakan yang terbaik dan mampu membawa perbaikan kesejahteraan rakyat dengan memberikan pelayanan umum secara maksimal serta dekat dengan rakyatnya dan tidak memiliki cacat hukum.
Dalam kamus politik memang dikenal beberapa kategori pemilih dalam menentukan calonnya, seperti berdasarkan kesamaan ideologi dengan kandidat, kesamaan afiliasi terhadap partai politik pendukungnya, kesamaan latar belakang kedaerahan atau profesi, berdasarkan pragmatisme, dan berdasarkan rasional.
Pemilih yang memilih calon kepala daerah secara rasional memenuhi kriteria sebagai pemilih yang cerdas berdasarkan akal sehat dan penilaian objektif dengan mempertimbangkan kualitas moral, integritas, dan rekam jejak, serta perilaku sehari-hari dari calon kepala daerah.
Sejumlah kasus hukum yang dihadapi oleh para calon kepala daerah tersebut, dapat menjadi cermin bagi rakyat untuk benar-benar cerdas dalam memilih pemimpinnya.
Jangan sampai rakyat merasa menyesal setelah memilih pemimpin yang ternyata di belakang hari tidak bisa menjadi pemimpin yang amanah.
Dengan perkembangan demokrasi yang diharapkan semakin baik dan kedewasaan politik yang matang dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sudah saatnya untuk benar-benar mencermati integritas calon pemimpinnya.
(B009/a011)