Natal ala WNI dan pemicu kontroversi di China

id natal, kristen,cina,china,komunis,berita palembang,barat

Natal ala WNI dan pemicu kontroversi di China

Umat Nasrani mengikuti misa pada peringatan Natal . (ANTARANEWS Sumsel/Feny Selly/Ang/17)

....larangan Natal bagi warga perkotaan dan pelajar perguruan tinggi di China....

Beijing (Antaranews Sumsel) - Atmosfer Natal masih terasa di berbagai daerah dan ibu kota, meskipun tanggal 25 Desember di China bukan hari libur nasional.

Sekolah-sekolah, mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi, tetap menjalankan rutinitas sehari-hari pada hari Senin itu.

Demikian pula kantor-kantor pemerintahan dan pelayanan umum masih beroperasi penuh seperti hari-hari biasa.

Kecuali Kedutaan Besar RI di Beijing, Konsulat Jenderal RI di Shanghai, Guangzhou, dan Hong Kong yang tutup hingga Selasa (26/12) sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri di Indonesia.

Jika sekolah-sekolah di Indonesia sudah libur panjang akhir semester sejak beberapa hari yang lalu, maka tidak demikian halnya dengan di daratan Tiongkok.

Para pelajar di perguruan tinggi dan sekolah menengah di China sedang sibuk-sibuknya menghadapi ujian akhir semester yang mulai digelar pada akhir Desember 2017 hingga Januari 2018.

Oleh sebab itulah, para pelajar asal Indonesia yang menimba ilmu di negara berpenduduk terbanyak di dunia itu telah merayakan Natal jauh-jauh hari sebelumnya.

Bahkan, perayaan Natal di KBRI Beijing digelar Sabtu (18/12) lalu yang diikuti sekitar 200 orang, baik staf kedutaan maupun pelajar asal Indonesia yang berdomisili di Ibu Kota China itu.

Rangkaian perayaan Natal bersama di aula KBRI Beijing yang dipimpin Romo Albert Suryadi dan khotbah disampaikan oleh Pendeta Eddy Susanto itu ditutup dengan makan malam bersama.


Pekerja merapihkan pohon Natal yang dijual . (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

Pada malam yang beberapa gereja yang jemaatnya dari kalangan warga negara Indonesia di Shanghai juga menggelar perayaan Natal.

Antara mencatat enam gereja di Shanghai yang menggelar Natal lebih awal itu antara lain, Evangelical Reformed Church (ERC), Gereja Reformed Injili Indonesia di Shanghai (GRII), Shanghai Indonesian Fellowship (SIF), Blessing in The Spirit (BEST), Indonesian Full Gospel Fellowship (IFGF), dan Indonesian Catholic Youth Community (ICYC).

"Selain WNI, Natal di tempat kami juga diikuti warga negara Filipina," kata Nathan Christian dari ERC.

Umat Kristiani Indonesia yang didominasi para pelajar menjadikan Natal di Shanghai makin khidmat dengan kegiatan amal dan bhakti sosial.

Melalui Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Tiongkok (Permit), mereka membagikan nasi sebanyak 100 kotak kepada petugas kebersihan dan kaum gelandangan di stasiun kereta api dan taman kota setempat.

Selain itu, mereka juga menyumbangkan pakaian layak kepada warga yang tinggal di wilayah pedesaan China melalui "Heart to Heart Shanghai", lembaga amal yang berkantor pusat di kota terbesar di daratan Tiongkok itu.

Nasi kotak yang dibagikan tersebut merupakan hasil kerja sama Permit dengan "Rasa Kita", warung makanan khas Nusantara yang didirikan oleh para pelajar Indonesia di Shanghai.

Sementara pakaian layak berasal dari penggalangan yang dilakukan para pelajar Indonesia tersebut ditampung di delapan unit perguruan tinggi di Shanghai sebelum dibagikan kepada warga tidak mampu.

Ada juga anggota dan pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia di Tiongkok (PPIT) yang beragama Kristen dan Katolik merayakan Natal dengan menonton film bersama.

Dengan menggandeng Persekutuan Indonesian Fire Group, PPIT memutar film religi berjudul "Risen" di Kota Chongqing yang diakhiri dengan acara saling bertukar kado Natal.

"Memang tidaklah mudah merayakan Natal di negeri orang yang jauh dari keluarga. Namun semuanya terbayar dengan hanya berkumpul dan menikmati hangatnya kesederhanaan Perayaan Natal bersama tanpa menghilangkan makna dari Natal itu sendiri," kata seorang peserta.

Boikot Natal
Hampir seluruh pusat perbelanjaan di China berhiaskan pohon cemara dan sejumlah atribut Natal lainnya.

Beberapa pelayan sejumlah rumah makan di Beijing juga berpakaian ala Sinterklas. Lagu-lagu bertemakan Natal juga terdengar di tempat-tempat yang menjadi titik konsentrasi massa.

Sampai di situ tidak ada yang janggal dengan perayaan Natal karena dianggap sebagai fenomena biasa di setiap akhir tahun.

Namun tiba-tiba muncul berita mengenai larangan Natal bagi warga perkotaan dan pelajar perguruan tinggi di China. Media asing menganggap larangan Natal di China atas pertimbangan politis untuk menghindari pengaruh Barat.


Warga asyik berfoto di pohon Natal . (Reuters)

Sejumlah anggota Partai Komunis China, terutama di Beijing dan Shanghai, mengaku tidak mendapatkan informasi mengenai adannya larangan tersebut sebagaimana laporan Global Times, Senin (25/12).

Larangan yang dikeluarkan oleh beberapa institusi di daerah tersebut untuk menjaga stabilitas keamanan dan bukan bertujuan untuk memboikot Natal, demikian media yang dikelola partai berkuasa di China itu

Bagi umat Kristiani, Natal adalah hari raya keagamaan yang sakral, tapi bagi sebagian besar kawula muda China adalah perayaan belanja atau "shopping festival".

Tidak heran, jika Taobao, TMall, dan sejumlah platform belanja berbasis internet lainnya juga menggelar gebyar diskon besar-besaran saat Natal.

Meskipun perdebatan panjang mengenai boleh atau tidaknya merayakan Natal tidak bisa dihindari, kenyataannya bulan Desember telah menjadi momentum yang tidak kalah komersialnya dibandingkan perayaan lain.

Kaum remaja di China memahami sedikit tentang makna dan signifikansi Natal yang dianggapnya sebagai budaya asing sehingga mereka tidak berkewajiban mengikuti ritual yang terkandung di dalamnya.

Dalam era globalisasi komunikasi yang memicu terjadinya penyebaran lintasbudaya itu sudah tidak bisa dihindari lagi kalau perayaan Natal jauh lebih populer daripada perayaan tradisional China, seperti Fetival Musim Gugur.

Budaya Barat sudah menjalar di China lebih dari seabad, sedangkan tradisi budaya masyarakat setempat masih terus dilestarikan hingga kini.

Oleh sebab itu, sejumlah pihak berwenang dan elemen masyarakat di China memohon dimaklumi bahwa mereka sedang berupaya menjaga jarak dengan budaya-budaya asing yang dianggapnya dapat menggerus eksistensi budaya lokal.