Menyibak kerumitan di Pelabuhan Boom Baru Palembang

id menyibak kerumitan pelabuhan, pelabuhan boom baru, tempat kontainer, peti kemas, alur sungai, kek, pelindo ii, pelabuhan

Menyibak kerumitan di Pelabuhan Boom Baru Palembang

Dokumentasi - Aktivitas terminal konvensional nonpeti kemas di Pelabuhan Bom Baru Palembang (ANTARA Sumsel/13/Feny Selly)

....Proses bongkar muat harus dilakukan dengan cepat, karena jika menumpuk maka tidak ada tempat untuk menampung kontainernya....
Palembang (ANTARA) - Tak banyak pelabuhan sungai di Indonesia meskipun negeri ini memiliki lebih dari 300 daerah aliran sungai (DAS), bahkan sepuluh di antaranya masuk kategori panjang karena daerah alirannya mencapai 1.000-350 kilometer.

Saat ini pelabuhan sungai yang masih eksis sebagai urat nadi perekonomian kota hanya di dua tempat yakni di Pontinak dengan Pelabuhan Pontianak di tepi Sungai Kapuas, dan di Palembang dengan Pelabuhan Boom Baru di tepi Sungai Musi.

Layaknya pelabuhan sungai, tentunya akses dan infrastrukturnya sangat terbatas. Kondisi ini sejatinya menjadi mencolok di tengah gencarnya upaya pemerintah meningkatkan daya saing Indonesia di bidang logistik. Pertanyaannya, masih relevankah keberadaan pelabuhan sungai ini.

General Manager Pelindo II Cabang Palembang Agus Hendrianto di Palembang, Minggu, mengatakan, perusahaan sangat menyadari keinginan dari Presiden Joko Widodo untuk mengurangi waktu bongkar muat (dweeling time) hanya 2,5 hari. Akan tetapi, target itu belum bisa terwujud di Pelabuhan Boom Baru karena terdapat beberapa persoalan akut dan aktual.

Persoalan pertama, pelabuhan sungai ini hanya memiliki panjang dermaga sekitar 750 meter, artinya hanya bisa menampung tiga kapal dengan ukuran kurang-lebih 200 meter.

Tak hanya itu, luas areal pelabuhan juga tak bisa dikatakan luas karena saat ini sudah terpakai sekitar 50 persen, atau hampir mendekati ambang batas 60 persen.

"Ini yang menjadi persoalan, sehingga proses bongkar muat harus dilakukan dengan cepat. Karena jika menumpuk, maka tidak ada tempat untuk menampung kontainernya," kata dia.

Lantas jika sudah cepat bongkar muat, mengapa masih belum bisa menekan dweeling time? Ternyata ada persoalan lain. Letak Pelabuhan Boom Baru yang kini berada di tengah kota juga memunculkan masalah baru. Rupanya, kemampuan pelabuhan ini tidak seirama dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan.

Seperti diketahui, truk-truk pengangkut kontainer untuk menuju gudang yang ada di pinggir kota terpaksa melintasi jalan-jalan di dalam kota. Sementara itu, Pemerintah Kota Palembang menetapkan aturan sangat ketat terkait larangan truk melintas di dalam kota pada pukul 06.00-10.00 WIB dan 15.00-21.00 WIB.

Walhasil, meski proses bongkar muat cepat dilakukan di pelabuhan, bukan berarti kontrainer akan langsung lenyap begitu saja. Sehingga mau tidak mau dweeling time menjadi molor lagi.

Kondisi teraktual saat ini juga tidak kalah membuat pusing Pelindo II. Terjadinya kenaikan volume barang sejak tahun lalu karena meningkatkan kegiatan ekonomi di Palembang.

Kota Palembang yang dipercaya menjadi tuan rumah Asian Games XVIII tahun 2018 membangun sejumlah proyek strategis nasional, di antaranya Light Rail Transit, Jalan Tol Palindra, Jembatan Musi IV dan Jembatan Musi VI.

Agus mengungkapkan, khusus untuk kebutuhan LRT seperti tiang pancang dan rel kereta api telah menyerap hingga 25 persen dari total volume barang yang masuk ke Pelabuhan Boom Baru.

Oleh karena itu, ketika terjadi kerusakan alat bongkar muat jenis rail mounted gantry crane (RMGC) dan satu unit container crane (CC) pada Jumat (10/11) maka kondisi pelik pun tidak dapat terhindarkan. Belasan kapal pengangkut kontainer terpaksa antre sandar.

"Yang benar-benar rusak itu hanya RMGC, sedangkan CC bisa dikatakan hanya batuk-batuk saja. Perlu dikondisikan sebentar, karena jika terus dipakai bisa jebol. Maklum saja, terjadi peningkatan volume barang," kata Agus.

Khusus terkait masalah ini, ia mengharapkan para konsumen Pelabuhan Boom Baru untuk bersabar karena situasi sedang berusaha dikendalikan perusahaan. Perusahaan menggaransi bahwa semua persoalan ini akan tuntas pada akhir Desember 2017, mengingat di pelabuhan juga dilakukan sejumlah perbaikan infrastruktur terkait peningkatan daya saing.

Bahkan, Agus sebagai pimpinan tertinggi di Pelindo II akan melakukan langkah tak biasa jika situasi sudah sangat mendesak, yakni berencana memanfaatkan areal parkir untuk penumpukan kontiner bongkar muat.

"Jika sudah mendesak, kami terpaksa melakukan diskresi. Singkatnya begini, setiap meter persegi tanah di pelabuhan akan digunakan. Bisa jadi lapangan parkir akan kami manfaatkan," kata dia.

Saat ini, dermaga yang dikelola oleh PT Pelindo di Boom Baru adalah Dermaga I sepanjang 475 m, lebar 10,5 m dengan kapasitas 3 TEUS per meter persegi dalam 7 LWS. Lapangan penumpukan peti kemas (container field)-nya seluas 8.173 meter persegi.

Kemudian, Dermaga II sepanjang 265 m, lebar 19,5 meter dengan kapasitas 3,2 TEUS per meter persegi dalam 9,2 LWS. Ini didukung lapangan penumpukan peti kemas seluas 36.000 meter persegi.

Di samping kapal barang, Boom Baru juga melayani angkutan penumpang. Angkutan penumpang dengan tujuan Mentok dan Batam ini dilayani oleh operator kapal cepat swasta atau warga Palembang lebih mengenal dengan sebutan kapal feri.
   
Pelaku logistik menjerit
Terkait jalur logistik ini, pelaku jasa pengangkutan (logistik) di Palembang menjerit karena kesulitan melintasi jalan-jalan dalam kota sejak sebulan terakhir. Bukan hanya ketatnya aturan Pemerintah Kota terkait jam melintas, tapi sejatinya di luar jam tersebut juga terjadi kemacetan luar biasa di jalan-jalan utama terkait pembangunan infrastruktur.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia Provinsi Sumatera Selatan (Aptrindo) Eddy Resdianto di Palembang, Rabu, mengatakan, Perwali mengatur truk tidak boleh melintas pada pukul 06.00-10.00 WIB dan 15.00-21.00 WIB, namun faktanya di waktu di luar larangan tersebut pun diketahui truk juga tidak bisa melintas karena adanya penutupan jalan di sejumlah titik.

"Artinya sama saja, kami juga tidak dapat beroperasi maksimal, apalagi saat ini jalan-jalan di Palembang juga macet karena pembangunan infrastruktur. Biasanya truk bisa dua rit, kini satu rit pun sudah untung," kata dia.

Lantaran kesulitan tersebut membuat perusahaan jasa terpaksa menambah biaya produksi. Hal ini terkait aturan di Pelabuhan Boom Baru yang mengenakan biaya untuk satu mobil truk kontainer yang menginap dikenai biaya Rp60.000/hari.

Akibatnya, kini sejumlah perusahaan jasa angkutan truk mulai menolak permintaan konsumen.

"Saya saja sudah menolak permintaan distributor semen 3 roda karena jika tetap diambil tentunya kami akan merugi," kata dia.

Untuk itu, Aptrindo meminta pemerintah setempat memberikan solusi atas persoalan tersebut, mengingat bahan-bahan yang diangkut ini merupakan kebutuhan pokok seperti beras, tepung terigu hingga barang-barang bangunan untuk kebutuhan pembangunan Light Rail Transit. Jika dibiarkan tentunya akan berimbas pada kenaikan harga.

Sementara itu, Wakil Ketua Kadin Kota Palembang Bidang Pelabuhan Bujung Azainul Meida Noor Eden mengatakan pelaku usaha logistik menawarkan beberapa alternatif ke pemerintah terkait masalah ini. Hal ini juga untuk untuk merespon pertemuan dengan Dirlantas Polresta Palembang pada 29 September lalu.

Ia mengatakan asosiasi menawarkan solusi berupa  pemangkasan waktu larangan yakni dari semula pukul 06.00-10.00 WIB menjadi 06.00-08.00 WIB, dan dari 15.00-21.00 WIB menjadi 15.00-19.00 WIB, dan truk diperbolehkan memakai jalur kiri (lambat).

"Jangan khawatir jika truk memakai jalur kiri karena kami tidak memberangkatkan truk secara konvoi," kata dia.

Ia yang juga ketua DPW Asosiasi Perusahaan Bongkat Muat Indonesia Sumsel berharap semua pihak dapat duduk bersama dan menemukan solusi terbaik karena persoalan logistik ini terkait hajat hidup orang banyak.

"Kami selaku pengusaha sudah melakukan berbagai cara terkait persoalan ini, seperti memuat barang pada malam hari di Pelabuhan untuk diantar saat shubuh. Tapi tetap saja tidak efektif jika jalur-jalur yang dilalui ditutup. Jika tetap tidak ada solusi, mau tidak mau kami terpaksa menghentikan operasional jasa," kata dia.

Persoalan logistik di Palembang tidak terlepas dari letak Pelabuhan Boom Baru yang berada di tengah Kota Palembang, sementara kawasan pergudangan berada di pinggiran kota yakni kawasan Pusri, Kenten Laut, Gandus dan Soekarno Hatta.

Pelabuhan ini memiliki volume bongkar muat yang tinggi yakni 15 ribu kontiner/bulan karena merupakan pintu gerbang logistik provinsi Sumsel, Jambi, Bengkulu dan Lampung.

Sejak muncul persoalan ketidaklancaran pengiriman tersebut membuat truk-truk pengangkut bermalam di Palabuhan 5-6 hari dari sebelumnya hanya 2-3 hari.

Terkait ini, Senior Deputy Vice President Corporate Comumunication Departement PT Pelindo II Sofyan Gumelar S.Y di Palembang, mengatakan, persoalan kerumitan jalur logistik di Palembang telah menjadi bahan kajian perusahaan sejak lama.

Apalagi saat ini, Palembang sedang membangun Jembatan Musi IV dan Jembatan Musi VI, sehingga diperkirakan akan menyulitkan kapal-kapal besar melintasi jalur sungai.

"Perusahaan sudah mencari alternatif membangun pelabuhan baru karena diperkirakan Pelabuhan Boom Baru ini akan stagnasi di masa datang, atau tidak dapat diupgrade lagi," kata dia.

Salah satu yang menjadi pertimbangan Pelindo yakni membangun pelabuhan di kawasan Tanjung Api-Api. Namun, untuk mewujudkannya bukan perkara muda karena kawasan tersebut hingga kini belum selesai pembangunannya meski sudah dilakukan pembebasan lahan sejak 2015.

"Kami belum ada rencana menghentikan Pelabuhan Boom Baru, selagi belum ada gantinya. Semoga saja apa yang dicita-citakan rakyat Sumsel terwujud," kata dia.
 
Pelabuhan Tanjung Api-Api
Persoalan logistik ini sejatinya tidak perlu terjadi andai saja Sumsel telah memiliki pelabuhan laut Pelabuhan Tanjung Api-Api.

Kawasan Tanjung Api-Api di Kabupaten Banyuasin, sejak lama dibidik untuk dikembangkan sebagai suatu kawasan ekonomi karena sejatinya sangat memungkinkan untuk membangun pelabuhan laut di sana.

Sebenarnya, sejak lama, Pemprov Sumsel sudah merancang pelabuhan samudera ini yakni mulai dari gubernur pertama hingga gubernur ke-13, dan terakhir gubernur saat ini Alex Noerdin. Namun titik terang itu mulai terlihat pada 2015 seiring dengan aksi pembebasan lahan.

Staf Khusus Gubernur Sumatera Selatan I Gede Bagus Surya Negara mengatakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-Api ditargetkan beroperasi pada Juni 2018 sesuai dengan keputusan Dewan Nasional KEK.

Dewan Nasional KEK yang diketuai Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution meminta Sumsel memastikan bahwa 66,13 hektera lahan yang sudah dibebaskan di kawasan TAA segera dibangun fasilitas infrastruktur KEK.

"Presiden meminta KEK sudah jalan meski pembebasan lahan satu baru 66,13 hektera dari total 217 hektare sehingga target Juni 2018 sudah ada kegiatan di sana," kata dia.

Untuk itu, sejak September hingga Juni akan difokuskan pada kegiatan pematangan lahan yang akan diproyeksikan untuk kantor administrasi KEK dan sejumlah gedung pendukung lainnya.

Selain pematangan lahan, Sumsel juga bergerak untuk mencari mitra usaha BUMD PT Sriwijaya Mandiri Sumsel. Pihak swasta diharapkan tertarik untuk berbisnis di bidang pematangan lahan, pembangunan infrastruktur dan lainnya.

Dua lokasi reklamasi itu yakni di kawasan Tanjung Carat seluas 2.202 hektare dan kawasan Tanjung Api-Api seluas 2.030 hektare yang akan diproyeksikan menjadi pelabuhan dan kawasan industri.  

Kedua lokasi ini, yakni Tanjung Carat sebagai penunjang KEK TAA akan dihubungkan oleh kawasan hutan lindung pinjam pakai yang saat ini sedang diurus perizinannya.

Pembangunan KEK TAA ini dipastikan akan terus berjalan karena pemerintah telah mendapatkan jaminan investasi kalangan swasta bidang usaha petrokimia, refenery, dan lainnya.

Sebanyak enam investor telah membuat MoU dengan Pemprov Sumsel di antaranya, PT Indorama, PT Pelindo, PT Pusri, PT Bank Sumsel Babel, dan PT Sriwijaya Tanjung Carat.

"Untuk konetivitasnya sendiri pada awal tahun akan dibangun Jalan Tol Palembang-TAA oleh Hutama Karya. Tahun ini sudah diselesaikan visibility study-nya," kata dia.

Pelabuhan Boom Baru didirikan pada 1924, sebagai pengganti pelabuhan lain. Sebelumnya, pelabuhan yang berfungsi melayani pelayaran kapal-kapal besar berada di Sungai Rendang atau saat ini disebut kawasan 16 Ilir.

Kemudian, lantaran berkembangnya jalur perdagangan di Palembang membuat dibutuhkan pelabuhan lain yang memiliki kemampuan untuk menampung arus kapal beserta bongkar muatnya.

Pada 1821, setelah Belanda berhasil menguasai Palembang, pelabuhan dibangun di depan Benteng Kuto Besak sekarang Perbekalan dan Angkutan Komando Daerah Militer (Bek Ang Kodam) II Sriwijaya atau lebih dikenal sebagai Boom Jati.

Pemindahan yang kedua dilakukan pada tahun 1914, dengan letak lebih ke hilir sungai, yaitu kawasan Sungai Rendang, atau masyarakat Sumsel mengenalnya sebagai Gudang Garam.

Kemudian berikutnya pemindahan Pelabuhan ke Boom Baru yang terletak antara Sungai Lawang Kidul dan Sungai Belabak, yang kini disebut Pelabuhan Boom Baru.

Dari sejarah ini dapat diambil intisari bahwa keberadaan pelabuhan itu sebenarnya menyesuaikan dan mengikuti kebutuhan ekonomi suatu daerah. Jika Pelabuhan Boom Baru sudah tidak relevan lagi, maka menjadi mutlak keberadaan Pelabuhan Tanjung Api-Api.

(T.D019/Tunggul Susilo)