Jakarta (ANTARA Sumsel) - Presiden China, Xi Jinping, membuka Kongres ke-19 Partai Komunis China (PKC) pada Rabu (18/10) dan berjanji membangun China sebagai "negara sosialis modern" dalam sebuah "era baru" berkarakteristik China yang membanggakan.
Di hadapan sekitar 2.000 anggota delegasi, Xi memaparkan visi mengenai China yang lebih sejahtera dan posisi negara tersebut di masyarakat internasional. Dia juga menekankan pentingnya memberantas korupsi dan membatasi kelebihan kapasitas industri, persamaan penghasilan dan polusi.
Presiden Xi juga memetakan masa depan jangka panjang bagi kebangkitan China di panggung global. Ia memperkirakan pada 2050, China akan berdiri dengan bangga di antara bangsa-bangsa di dunia serta menjadi kekuatan global terkemuka.
Di bawah kepemimpinannya, modernisasi dan reformasi China berkembang pesat. Begitu pula dengan pengaruh mereka di dunia internasional.
Ambisi China menjadi kekuatan global antara lain ditunjukkan dengan peningkatan anggaran pertahanan negara pada 2017 hingga tujuh persen menjadi 1.044 triliun yuan atau setara 141,43 miliar dolar AS.
Dengan peningkatan hingga tujuh persen itu, anggaran pertahanan China mencapai seperempat dari biaya militer AS pada 2017.
Sebagai kekuatan kedua ekonomi global, Badan Pusat Statistik China mencatat pertumbuhan ekonomi China mencapai 6,9 persen pada kuartal II 2017 atau sama dengan realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal sebelumnya yang melampaui proyeksi.
China pun berjanji menggelontorkan investasi hingga satu triliun dolar AS atau lebih dari Rp13.000 triliun, untuk membangun infrastruktur yang luas di 60 negara di dunia.
Dari jumlah itu, sebanyak 124 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.649 triliun dihabiskan untuk membangun "jalur sutra", yang menghubungkan China dengan negara di berbagai belahan dunia.
Tak hanya itu, mata uang China secara resmi bergabung dengan dolar Amerika, euro, yen dan pound sterling sebagai mata uang cadangan global, Dana Moneter Internasional (IMF) dalam kelompok mata uang cadangan yang digunakan IMF untuk membantu menangani masalah-masalah ekonomi.
Para analis mengatakan, China berusaha masuk dalam kelompok "Special Drawing Rights (SDR)" sebagai pengakuan mengenai perannya yang besar dan berkembang dalam ekonomi global.
Dalam pidatonya sekitar 3,5 jam, Presiden Xi berjanji meningkatkan akses pasar bagi perusahaan asing dan menaikkan peran pasar dalam sistem keuangan dan nilai tukar.
Kongres yang dilaksanakan dua kali dalam satu dasawarsa, berlangsung selama sepekan dan dilaksanakan rapat secara tertutup. Puncaknya pemilihan Komite Politbiro yang akan memerintah 1,4 miliar warga China untuk lima tahun mendatang.
Xi diperkirakan akan mengonsolidasikan kontrol dan berpotensi tetap memegang kekuasaan hingga 2022.
Pemimpin utama
Partai Komunis China berencana mengubah anggaran dasar dan rumah tangga mereka untuk mengakomodasi "laporan kerja" dan pemikiran politik Xi.Rencana itu disebut akan meningkatkan status Xi sebagai pemimpin utama atau "lingdao hexin" setara dengan pemimpin besar PKC seperti Mao Zedong dan Deng Xiaoping.
Sebagai "lingdao hexin", Xi memiliki semua kekuatan yang dibutuhkannya untuk membangun masa depan China tanpa disandera sistem pemerintahan kolektif rezim sebelumnya. Hal itu menjadikannya sebagai pemegang tunggal hak veto di Komite Politbiro, kata mantan Duta Besar RI untuk China dan Mongolia, Imron Cotan.
Namun, lanjut Imron Cotan, harus dilihat apakah Xi akan mengikuti jejak Mao Zedong dan Deng Xiaoping yang memerintah China baik formal maupun informal secara terus-menerus.
Konstelasi politik di China tersebut harus diperhitungkan oleh negara-negara lainnya, utamanya di kawasan, termasuk Indonesia, mengingat China kini merupakan pemain atau aktor global.
"China dengan segala modal yang dimiliki, termasuk hak veto di Dewan Keamanan PBB akan semakin mewarnai keputusan-keputusan global, baik politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan," tutur diplomat senior Indonesia tersebut.
Terlebih, kini Amerika Serikat (AS) dibawah kepemimpinan Donald Trump sedang berfokus dalam urusan domestik. Praktis China menjadi "kekuatan tunggal' di Asia. Tak ada kekuatan penyeimbang di kawasan.
ASEAN termasuk Indonesia, tidak lagi dapat mengandalkan AS sebagai kekuatan penyeimbang di kawasan.
Bagaimanapun dengan mandat lebih kuat, kekuatan politik yang luas, dikombinasikan kekuatan militer yang mumpuni, Presiden Xi akan segera memiliki semuanya untuk memperluas pengaruh China di kawasan.
Dengan demikian, China diharapkan lebih tegas dalam mengejar kepentingan nasional utamanya, terutama yang berkaitan dengan Taiwan, Laut China Selatan, Laut China Timur dan Semenanjung Korea.
Posisi Indonesia
Sebagai negara terbesar di kawasan dan pemimpin alamiah di Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara yang paling merasakan dampak konstelasi politik yang tengah terjadi di AS dan China.
Terkait itu, Indonesia harus mampu memainkan peran lebih besar agar "dominasi" China di kawasan mampu dikelola dengan baik, demi menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan.
"Bagaimanapun belum ada negara Asia yang mampu menandingi China, sebagai kekuatan penyeimbang di kawasan. India mungkin bisa, namun India juga memiliki persoalan tersendiri dengan China. Dan keterikatan antara India dan China, lebih besar dibandingkan keterikatan India dan ASEAN. Di sini lah peran Indonesia dituntut lebih besar," tutur Imron.
Terlebih sebagai mitra strategis komprehensif, Indonesia dapat memanfaatkan posisinya lebih setara dengan China dalam merealisasikan setiap kerja sama yang telah disepakati kedua negara, termasuk dalam mengelola stabilitas keamanan dan perdamaian kawasan.
Semisal, ASEAN harus mengatasi tantangan cukup sulit dan rumit antara lain karena kontradiksi internal akibat ketidakselarasan kebijakan pembangunan antaranggota dan ketimpangan kapasitas ekonomi antara anggota di bagian utara dan selatan.
Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam sangat membutuhkan bantuan perbaikan infrastruktur agar dapat menarik investasi asing, sehingga dapat mengejar ketertinggalan dari kolega ASEAN lain.
Terkait itu, Indonesia sebagai pemimpin di Asia Tenggara hendaknya mampu mengupayakan penguatan koordinasi intra-ASEAN demi mengakselerasi gerak ekonomi kolektif, mengingat China adalah mitra dagang terbesar pertama bagi ASEAN, sedangkan ASEAN adalah mitra dagang terbesar ketiga bagi China.
Dalam mengelola masalah keamanan kawasan, misalnya, Indonesia diharapkan lebih tampil dalam penyelesaian sengketa maritim di kawasan serta menghangatnya situasi di Semenanjung Korea.
"Apalagi Indonesia dan Korea Utara secara historis memiliki hubungan baik. Indonesia dan China juga memiiki hubungan yang baik sebagai mitra strategis komprehensif," kata Imron.
Indonesia memiliki banyak potensi strategis yang dapat dimainkan untuk menjadi "penyeimbang" mengelola stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan.