Jakarta (ANTARA Sumsel) - Proses penyidikan kasus pembelian helikopter AW-101 oleh TNI AU dinilai cacat hukum karena belum ada pernyataan resmi BPK sebagai lembaga audit terkait adanya kerugian negara.
"Dasar hukumnya jelas yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 yang mengatakan bahwa lembaga yang diberikan kewenangan untuk menyatakan kerugian negara adalah BPK," ujar Santrawan T. Paparang selaku kuasa hukum Marsekal Pertama TNI Fachry Adami dalam keterangan kepada Antara di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, karena kasus ini unsur dan elemen tindak pidana korupsinya tidak ada, sudah selayaknya penyidikan perkara ini oleh KPK dan POM TNI wajib demi hukum segera dihentikan.
Kenapa Surat Edaran MA ini menjadi acuan, supaya seragam untuk menentukan kerugian negara. Jangan lupa, karena perkara korupsi adalah "extra ordinary crime" maka yang dikedepankan adalah aspek kerugian negaranya.
"Sekarang, ketika belum ada audit dari BPK, lantas bagaimana kita menentukan bahwa ada tindak korupsi di sana? Dan lagi, dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi kerugian negara wajib sudah ada terlebih dahulu. Ini makanya kami sebutkan laporan Panglima TNI ke KPK cacat adalah hukum," ucapnya.
Marsekal Pertama Fachry Adami adalah salah satu tersangka yang ditetapkan dalam penyidikan kasus ini.
Ia menambahkan, cacat hukumnya laporan tersebut merembet pada hal-hal yang lain yaitu penentuan tersangka dan berita acara pemeriksaan saksi serta berita acara penyidikkan sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum.
"Sehingga patut diduga bahwa pelaporan ini adalah sesuatu yang tergesa-gesa, terkesan sudah dikondisikan dan terlalu dipaksakan. Pertanyaan selanjutnya adalah ada apa dengan pelaporan Panglima TNI ini? Ini menjadi pertanyaan serius kami," tuturnya.
Dengan kondisi seperti ini, Paparang menilai apa yang dilakukan Panglima TNI dan KPK adalah pelanggaran HAM terhadap nama-nama yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
"Suatu proses hukum yang ternyata cacat hukum pantas kita sebut sebagai pelanggaran HAM. Kenapa? Karena asas kepastian hukum di sini tidak ada. Kalau demikian, apakah bisa kita menilai ini adalah tindakan sewenang-wenang KPK dan Panglima TNI? Makanya kita akan menguji ini dengan melapor ke Komnas HAM RI," kata Paparang.
Unsur pelanggaran HAM, jelas dia setidaknya terlihat dari pelaporan kasus ini ke KPK tanpa didukung fakta hukum yang sah dan mengikat berupa audit investigatif dari BPK yang menerangkan adanya kerugian negara.
"Karena itu pula, penting permintaan keterangan kepada Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang pertama kali mendeklarasikan ke publik adanya tindak pidana korupsi dalam pembelian helikopter tersebut berupa adanya kerugian negara," kata dia.
Sebelumnya pada Jumat (26/5), Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo saat berkunjung ke Gedung KPK mengatakan indikasi kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp220 Miliar.