Langkah awal perjalanan panjang restorasi gambut Indonesia

id lahan gambut, Nazir Foead, merestorasi hutan, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Ogan Komering Ilir dan Banyuasin, Sumatera Selatan, Kepulauan Meranti,

Langkah awal perjalanan panjang restorasi gambut Indonesia

lahan gambut (ANTARA FOTO)

Jakarta (Antarasumsel.com) - Pada hari kerja terakhir di 2016, Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead bersama Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) Myrna A Safitri masih menemui rekan pers dari berbagai media massa untuk menyampaikan pencapaian kinerja 2016 dan rencana kerjanya di 2017.

Secara transparan Nazir dan Myrna menyampaikan apa saja yang telah dilakukan oleh badan khusus yang dibentuk Presiden Joko Widodo, yang belum genap berusia satu tahun ini untuk merestorasi hutan dan lahan gambut seluas 2.492.527 hektare (ha) yang rusak karena terbakar hebat di 2015.

Dalam kesempatan itu, Nazir beberapa kali mengatakan apa yang dikerjakan di 2016 ini benar-benar masih awal. Ada perlakuan fisik yang memang sudah dikerjakan khusus di empat kabupaten yakni Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), Ogan Komering Ilir dan Banyuasin (Sumatera Selatan), dan Kepulauan Meranti (Riau).

Namun dalam masa tahun pertama badan ini berdiri lebih banyak hal lain yang juga penting dilakukan yakni melakukan perencanaan, sosialisasi, uji coba hingga memperkuat kelembagaan.

BRG memperkuat kelembagaan dengan membentuk Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) yang diketuai langsung oleh gubernur di enam provinsi, yakni Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Riau, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Tim yang di dalamnya secara lengkap melibatkan unsur pemerintah daerah (pemda), akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal, pihak swasta, masyarakat hingga wartawan ini menjadi perkuatan kinerja restorasi gambut di daerah karena lebih paham kondisi nyata di sana.

Perencanaan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi geospasial guna menghasilkan Peta Restorasi Gambut di tujuh provinsi yang menjadi wilayah kerja BRG.

"Peta skala 1:250.000 seluas 2.492.527 ha sudah kita keluarkan September lalu. Peta restorasi ini menjadi dasar kerja kita dalam lima tahun," ujar Nazir.

Peta lebih ditel dengan skala lebih tinggi 1:50.000 dan 1:5.000 juga sedang dikerjakan di areal seluas 606.000 ha dengan teknologi LiDAR yang diperkiran dapat selesai bertahap di Januari, Maret dan April 2017.

"Kita petakan lima KHG di empat Kabupaten prioritas," lanjutnya.

Ia juga mengatakan perencanaan spesifik restorasi gambut yang akan dilakukan di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dengan luas 470.424 ha juga sudah diselesaikan. Finalisasi telah dilakukan pada November dan disahkan oleh Bupati Pulang Pisau pada Desember 2016.

Pada langkah sosialisasi, Nazir mengatakan pelatihan membuat sumur bor dan pencegahan kebakaran untuk masyarakat dilakukan di empat kabupaten dari mulai Riau hingga Kalimantan Tengah pada bulan Agustus hingga November 2016.

"Masyarakat yang dilatih, karena kita ingin mereka yang membangun sendiri sumur bor bukan kontraktor yang pengerjaanya harus melalui 'bidding'".

Ada 433 sumur bor yang, menurut dia, dibangun oleh masyarakat sendiri di Riau, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

"Lega itu bisa dilakukan, karena sumur bor itu juga yang sebenarnya diminta sendiri oleh masyarakat. Pelatihan pencegahan kebakaran dengan memanfaatkan air dari sumur bor sudah dilakukan, terbukti mampu mencegah kebakaran di 2016".

"Ada juga perusahaan yang membuat sumur bor. Jumlahnya ada 1600 dan baru di Kalimantan Tengah saja, mereka yang buat BRG yang beri panduan teknisnya," lanjut Nazir.

Sumur bor, menurut dia, seperti "first aid" untuk mengatasi kebakaran di lahan gambut, sebelum datangnya bantuan besar seperti "water bombing". "Paling tidak masyarakat peduli api secara swadaya bisa mengontrol api dengan memanfaatkan air dari sumur bor".

Intervensi melalui tahap sosialisasi, menurut dia, telah dilakukan di bawah Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG di empat kabupaten prioritas. Tim sosialisasi turun ke 104 desa yang mencakup luas ekosistem gambut lebih dari 800.000 ha.

Sosialisasi merupakan hal penting bagi suksesnya upaya restorasi ini.

"Karena jangan sampai kita datang lakukan intervensi membuat sekat kanal dan lain-lain tapi masyarakat tidak setuju dan tidak paham maksudnya. Harus ada proses konsultasi masyarakat sehingga mereka sepakat dan tahu sekat kanal dibangun di mana dan sumur bor dibuat di mana".

Penetapan zonasi fungsi lindung dan budidaya pun sudah dilakukan. Menurut Nazir, dari total 2.492.527 ha yang harus direstorasi sudah dipetakan area perusahaan pemegang konsesi mencapai sekitar lebih dari 1,4 juta ha sedangkan untuk kawasan lindung dan konservasi mencapai sekitar 400.000 ha, sisanya sekitar 600.000 ha merupakan lahan masyarakat.


Berbagai uji coba
Untuk memastikan tidak terjadi lagi kebakaran besar lahan gambut BRG melakukan berbagai percobaan yang tujuan akhirnya membuat masyarakat dan perusahaan meninggalkan teknik bakar untuk "land clearing".

Sekat kanal yang dibuat untuk menjaga air tidak lari dari lahan gambut saat musim kemarau atau satu bulan tidak turun hujan pun masih bisa kering, rawan terbakar, karenanya percuma jika masih ada pihak yang membakar.

Karena itu,petani harus diberi alternatif untuk membuka lahan tanpa bakar.

"Nah yang kami sudah uji coba itu dengan menggunakan mikroba untuk menghilangkan sersah, menaikkan PH tanah. Cara lainnya dengan membakar tapi di lakukan di dalam drum untuk menghasilkan abu yang akan dikembangkan ke tanah untuk meningkatkan PH," ujar Nazir.

Teknologi baru dengan mikroba tersebut cukup berhasil membuat PH tanah naik lebih dari empat, bahkan pupuk kompos bisa dikurangi karena sudah pakai mikroba ini. Hasilnya, menurut dia, di Kalimantan Barat produksi padi bisa lima ton dari yang sebelumnya hanya tiga ton.

"Petani memang cenderung konservatif, kalau ada teknologi baru mungkin hanya satu atau dua orang yang punya rasa 'adventurer' yang mau coba cara baru itu. Tapi jika keberhasilan menggunakan mikroba ini banyak didokumentasikan dan dibaca mereka, lambat laun mereka mau menggunakan ini," ujar Nazir.

Peningkatan PH tanah untuk bisa ditanami di lahan gambut dengan menggunakan mikroba ini, menurut dia, membutuhkan dua hingga minggu untuk sawah, sedangkan untuk menanam jagung dan lainnya membutuhkan waktu paling tidak tiga minggu. Ketersediaan mikroba yang diproduksi dalam bentuk pupuk ini cukup mudah ditemui, karena sudah ada perusahaan di Jawa yang memproduksinya hingga 200.000 ton per tahun.

Uji coba berbagai program "livelihoods" juga dijalankan karena BRG sadar memang ada lahan gambut yang bisa untuk budidaya. Karena, is mengatakan program kerja budidaya tanaman pangan atau industri dapat dikembangkan bersama masyarakat maupun perusahaan.

"Yang sudah kita lihat berhasil ada sawah di Kalimantan Tengah, ada lidah buaya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, nanas di Sumatera, kelapa dan jelutung di Sumatera dan Kalimantan. Ada karet bahkan kelapa sawit yang memang sejak awal sudah ditanam masyarakat, dan mereka harus dibantu bagaimana lahan tidak perlu dikeringkan," lanjutnya.

Uji coba peternakan sapi juga sudah berjalan di Kalimantan Tengah, dengan memanfaatkan lahan gambut untuk menanam tanaman pakan sapi seperti rumput gajah, sorgum dan jagung.

"Uji coba menanam pakan sapi dilakukan di tanah mineral dan akan dicoba di gambut, jika berhasil otomatis mereka tidak akan membakar gambut lagi karena jika dibakar mereka akan kehilangan pakan sapi," ujar Nazir.

Pada 2017, lanjutnya, masih akan ada beberapa uji coba salah satunya dengan bambu. Permintaan bambu untuk produksi bangunan maupun furniture cukup banyak, karena itu pihaknya telah berkonsultasi dengan para ahli bambu di Indonesia dan sudah diketahui lima jenis bambu yang diperkirakan dapat tumbuh di air tergenang seperti gambut.


Pengawasan
Pencegahan kebakaran lahan gambut di Indonesia memasuki era baru dengan memanfaatkan teknologi sensor yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan pihak Jepang. Alat yang sudah mulai diproduksi di Indonesia dan diberi nama Morpalaga ini akan mampu memantau ketinggian muka air di lahan gambut dan kelembapannya.

"Alat ini sudah diujicobakan dipasang 20 unit di lima provinsi yakni di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Setiap jam kita bisa pantau ketinggian muka air di gambut, kelembapannya, sekaligus curah hujan. Kalau terlihat ternyata di konsesi si A air turun di bawah 40 centimeter ya kita cepat-cepat minta untuk mengisi air supaya tidak kering dan terbakar atau jaga agar bagaimana caranya supaya api tidak muncul di sana," ujar dia.

Perusahaan pemegang konsesi yang harus merestorasi lahan gambutnya, menurut Nazir, wajib memasang sensor ini, sehingga ketika mereka mulai melakukan pembasahan gambut dapat dipantau secara "real time" apakah sudah benar pelaksanaannya.

"Di mana dan bagaimana alat itu harus dipasang nanti akan ada Peraturan Menteri LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red) yang mengaturnya sebagai turunan dari PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.


Capaian
Dari intervensi fisik yang sempat dilakukan BRG di 2016, menurut Myrna, memang belum bisa dihitung secara tepat apakah sudah menjangkau 30 persen target restorasi di tahun tersebut.

"Tapi kalau hitungan secara kasar sekitar 25 persen. Ini masih sangat awal, perhitungan detilnya masih dimintakan para ahli, misal untuk satu sumur bor itu bisa berdampak pembasahan untuk berapa luas gambut," ujar dia.

Hal yang, menurut dia, perlu dipahami oleh semua terkait isi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG) bahwa yang dimaksud target capaian 30 persen di 2016 itu bukan selesainya restorasi, tetapi jangkauan intervensi yang dilakukan untuk restorasi.

"Jadi proses restorasi yang sudah dimulai. Untuk berapa lama selesainya restorasi belum dapat dipastikan karena kriteria pulih gambut masih belum ada dan akan ditetapkan melalui Permen LHK, jadi indikatornya masih belum bisa dilihat," ujar Myrna.

Karena apa yang dilakukan BRG pada 2016 lebih banyak untuk melakukan perencanaan, sosialisasi dan memperkuat kelembagaan maka, ia mengatakan hutang restorasi KHG akan dibayar di 2017. Sesuai dengan tagline dikeluarkan Badan Restorasi Gambut, apapun yang dilakukan untuk merestorasi gambut berarti merestorasi kemanusiaan.

Bagaimanapun, Nazir mengatakan upaya merestorasi gambut artinya menyelamatkan karbon yang sangat mempengaruhi upaya pengendalian perubahan iklim. Apa yang dilakukan Indonesia terhadap gambut berdampak pula hingga ke negara-negara di belahan bumi utara, karena sudah sepantasnya dunia membantu restorasi yang dilakukan Indonesia.