Meski menjadi salah satu negara yang digadang-gadang mampu menjaga stabilitas di tengah pelemahan ekonomi global, Indonesia masih banyak tertinggal dengan negara lain, khususnya di kawasan Asia Tenggara, termasuk dalam memberikan kemudahan berbisnis.
Melalui laporan teranyar yang diumumkan Bank Dunia berjudul "Doing business 2017: Equal Opportunity for All" akhir Oktober 2017, lembaga itu menempatkan Indonesia di posisi 91 dari 190 negara terutama di Asia Pasifik yang disurvei.
Bank Dunia juga memasukkan Indonesia sebagai negara teratas dalam daftar "Top Reformer" bagi perbaikan kemudahan berusaha dengan mereformasi tujuh indikator yaitu "starting a business" (memulai usaha), "getting electricity" (penyambungan listrik), "registering property" (perizinan terkait pendirian bangunan), "getting credit" (akses perkreditan), "paying taxes" (pembayaran pajak), "trading across border" (perdagangan lintas negara) dan "enforcing contracts" (penegakan kontrak).
Peringkat Indonesia mengalami perbaikan sangat signifikan, yaitu naik 15 peringkat menjadi peringkat 91 dari peringkat sebelumnya di posisi 106.
Masih harus perbaiki
Dalam survei 2017 itu, Singapura misalnya, menempati peringkat 2, naik satu peringkat dari sebelumnya di peringkat 3.
Kenaikan juga terjadi pada Brunei Darussalam yang naik peringkat menjadi peringkat 72 dari sebelumnya peringkat 97.
Vietnam juga naik dari sebelumnya peringkat 91 kini menjadi peringkat 82.
Thailand tidak mengalami perubahan dengan masih berada di peringkat 46. Sedangkan Malaysia justru mengalami penurunan dari peringkat 22 kini menjadi peringkat 23.
Ada pun peringkat lima teratas secara berurutan yakni Selandia Baru, Singapura, Hong Kong, China dan Korea Selatan.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong menyebut capaian Indonesia dalam survei kemudahan berbisnis "Ease of Doing Business" (EoDB) Bank Dunia belumlah memuaskan.
"Saya pikir usaha banting tulang Indonesia sehingga bisa naik ke peringkat 91 sudah cukup baik. Tapi saya pikir lagi, betul juga kata Pak Jokowi, untuk negara seperti kita, peringkat 91 itu sangat tidak memuaskan," katanya.
Kendati demikian, menurut Tom, sapaan akrab Thomas, naiknya peringkat Indonesia dalam survei EoDB dari posisi 106 ke 91 merupakan lonjakan besar.
Pasalnya, lonjakan hingga 15 peringkat dalam periode satu tahun baru pertama kali dipecahkan Indonesia dalam sejarah survei tersebut.
"Saya juga merasa, dari prestasinya Rio Haryanto, Joey Alexander hingga Tontowi Ahmad-Liliyana Natsir yang melambung tahun ini, seharusnya kita bisa. Kita punya kemampuan, masak hanya di posisi 91?" ujarnya.
Tom mengakui, pemerintah terus melakukan upaya memperbaiki kemudahan kemudahan berbisnis di Indonesia.
Meski capaiannya belum terlalu menggembirakan, ia menghargai kinerja semua pihak, termasuk kementerian dan lembaga serta pemerintah DKI Jakarta dan Jawa Timur, yang menjadi fokus survei tahunan tersebut.
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal (BKPM) Azhar Lubis mengatakan terlepas dari posisi Indonesia di peringkat ke 91, peringkat Indonesia dalam upaya melakukan upaya perbaikan kemudahan berbisnis terus meningkat.
Azhar menuturkan, berdasarkan survei EoDB 2016 yang dilakukan tahun lalu, Indonesia menempati posisi 109 dari 190 negara Asia Pasifik yang disurvei.
Namun, setiap kali Bank Dunia akan mengumumkan rilis survei tahunan, lembaga itu kerap melakukan rekalkulasi di mana Indonesia tercatat berada di peringkat 106 dalam survei EoDB 2016. Itu artinya, dalam survei EoDB 2017 yang diumumkan pada 26 Oktober 2016, Indonesia berhasil naik 15 peringkat dari posisi 106 ke 91.
"Apa pun itu, sekarang Indonesia di peringkat 91. Indonesia juga termasuk negara yang diminati investor dengan ranking sembilan di dunia. Itu positif. Pemerintah tetap melakukan dan melanjutkan upaya deregulasi baik di pusat maupun daerah, termasuk reformasi hukum untuk memberantas pungutan liar (pungli)," katanya.
Target mencapai peringkat ke 40 diperuntukkan untuk survei 2017. Namun, karena belum juga berhasil merangsek naik ke posisi tersebut, pemerintah masih berharap target itu bisa tercapai dalam survei mendatang.
Untuk itu, harus dilakukan sejumlah perbaikan, bahkan upaya ekstra, baik dari aspek peraturan maupun prosedur perizinan dan biaya, agar peringkat kemudahan berusaha di Indonesia terutama bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), semakin meningkat.
Salah satunya adalah dengan meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi XII yang berisi pemangkasan sejumlah izin, prosedur, waktu dan biaya yang ditujukan untuk menaikkan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia.
Bank Dunia menetapkan 10 indikator tingkat kemudahan berusaha. Masing-masing adalah Memulai Usaha (Starting Business), Perizinan terkait Pendirian Bangunan (Dealing with Construction Permit), Pembayaran Pajak (Paying Taxes), Akses Perkreditan (Getting Credit).
Berikutnya, Penegakan Kontrak (Enforcing Contract), Penyambungan Listrik (Getting Electricity), Perdagangan Lintas Negara (Trading Across Borders), Penyelesaian Perkara Kepailitan (Resolving Insolvency), dan Perlindungan Terhadap Investor Minoritas (Protecting Minority Investors).
Dari ke-10 indikator itu, total jumlah prosedur yang sebelumnya berjumlah 94 prosedur, dipangkas menjadi 49 prosedur. Begitu pula perizinan yang sebelumnya berjumlah sembilan izin, dipotong menjadi enam izin.
Jika sebelumnya waktu yang dibutuhkan total berjumlah 1.566 hari, kini dipersingkat menjadi 132 hari. Perhitungan total waktu ini belum menghitung jumlah hari dan biaya perkara pada indikator Resolving Insolvency karena belum ada praktik dari peraturan yang baru diterbitkan.
Meski survei Bank Dunia hanya terbatas pada wilayah Provinsi DKI Jakarta dan Kota Surabaya, pemerintah menginginkan kebijakan ini bisa berlaku secara nasional.
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan tekad dan upaya pemerintah sudah cukup maksimal.
"Kalau dilihat, 'good will' sudah ada, usahanya juga sudah banyak," katanya.
Rosan menuturkan, pihaknya memahami betul upaya keras pemerintah dalam melakukan reformasi pelayanan dalam mendukung kemudahan berbisnis di Indonesia.
Bahkan BKPM telah meluncurkan layanan izin investasi tiga jam guna mendukung kemudahan berinvestasi di Tanah Air.
"Walaupun kadang tidak selesai tiga jam, bisa empat, lima, enam jam, tapi itu patut diapresiasi," ujarnya.
Menurut Rosan, upaya pemerintah untuk meningkatkan ranking dalam indeks yang dibuat Bank Dunia itu juga tercermin dalam 13 paket kebijakan ekonomi yang dilunchrkan sejak September 2015 lalu.
Ia menilai, ke 13 paket kebijakan ekonomi itu menekankan pada upaya penyederhanaan perizinan, perpajakan hingga dibukanya daftar negatif investasi (DNI).
"Itu untuk mendorong kemudahan berbisnis," katanya.
Rosan juga menekankan salah satu isi paket kebijakan ekonomi yang dampaknya sangat penting/signifikan bagi dunia usaha, yakni tentang formula penghitungan upah minimum provinsi (UMP) dengan menggunakan formula perhitungan menggunakan besaran inflasi dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Lebih lanjut, ia berpendapat pemangkasan birokrasi penting dilakukan untuk dapat mendorong peringkat Indonesia dalam indeks kemudahan berbisnis itu.
"Kuncinya pangkas rantai birokrasi yang panjang itu. Pangkas habis-habisan. Pemerintah juga harus agresif melakukan pemangkasan itu di pusat maupun daerah," katanya.
Rosan optimistis target peringkat ke 40 dalam indeks tersebut bisa diraih Indonesia dengan terlebih dulu menyelesaikan sejumlah masalah seperti korupsi, birokrasi dan infrastruktur.
"Negara lain bisa kok, Thailand saja bisa ranking 40an. Malaysia juga. Kita bisa 'banget' (capai peringkat 40)," katanya.
Berada di peringkat 91, Indonesia tampaknya masih harus berupaya untuk bisa melompat lebih tinggi guna mencapai target peringkat 40 dalam laporan survei kemudahan berbisnis tahun depan. Hal itu juga perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga dan merebut pasar yang kini mulai beralih ke kawasan Asia Pasifik.