Esthi perjuangkan pendidikan seksual masuk kurikulum

id Esthi , SK Trimurti Award, hiv, aids

Esthi perjuangkan pendidikan seksual masuk kurikulum

Ilustrasi HIV/AIDS (Antarasumsel.com/Grafis/Aw)

Epidemi Human Immunodeficiency Virus Infetion/Acquire Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) menjadi sebuah isu yang masih tabu untuk dibicarakan ketika Esthi Susanthi Hudiono pertama kali memberikan perhatian banyak terkait hal tersebut sekitar tahun 1989 silam.

Hal itu disebabkan HIV/AIDS memiliki keterkaitan erat dengan persoalan prostitusi dan dunia malam.

Esthi, sejak 23 tahun lalu memberi perhatian khusus kepada isu pencegahan epidemi HIV/AIDS, terutama di Surabaya, Jawa Timur.

Pilihannya itu mengharuskan ia berhadapan dengan stigma dan tantangan dari masyarakat.

Pada gelaran Hari Ulang Tahun Aliansi Jurnalis Independen ke-18 , Selasa (7/8), Esthi didapuk menerima SK Trimurti Award, yaitu penghargaan yang diberikan kepada jurnalis/aktivis perempuan dengan prestasi perjuangan dalam menyebarkan kesetaraan gender dan kebebasan pers.

Perempuan yang pernah berprofesi menjadi guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP) bercita-cita memasukkan pendidikan seksual sebagai bagian dari kurikulum yang diajarkan di sekolah.

"Kalau lewat kurikulum guru BP kan hemat biaya dan karena masuk ke dalam sistem saya kira pengaruhnya akan terasa. Selain itu, melalui kurikulum tidak mengurangi ataupun menghilangkan hak remaja untuk mendapatkan informasi yang lengkap, jelas dan benar," kata Esthi.

Ia menuturkan pendidikan seksualitas sebetulnya sebuah konsep yang beredar sejak lama, namun karena isunya terlampau sensitif akhirnya yang diterapkan hanya sebatas pendidikan reproduksi.

Menurut dia, pendidikan reproduksi masih jauh dari apa yang ingin dicapai pendidikan seksualitas, belum ada capaian ke poin utama, karena hanya berbicara dari aspek fisik, virus, penyakit dan sebagainya.

Sementara, soal seksualitas adalah terkait erat dengan bagaimana menjadi bertanggung jawab, sehat dan positif, kata dia.

Aspek relasional itu yang belum dieksplorasi dan diinformasikan lebih jauh bila dikaitkan dengan masalah seksualitas.

"Kita sebagai generasi yang lebih tua dan tahu, berkewajiban untuk memberikan 'life-skill education' kepada anak muda masa depan," ujarnya.

Saat ini, Esthi sedang berusaha memperjuangkan proposal di almamaternya Universitas Satya Wacana, Surabaya, yang mengupayakan pendidikan seksual masuk ke dalam kurikulum guru BP. Januari 2013 nanti, Esthi akan menerima keputusan terkait itu.

Peran Negara
Esthi sejak 1992 mendirikan Yayasan Hotline Surabaya, yang sebelumnya bermula dari sebuah rubrik konsultasi di Harian Surya, Surabaya.

Bersama Yayasan Hotline, selain menaruh perhatian pada isu-isu pengendalian epidemi HIV/AIDS, Esthi juga menangani beberapa permasalahan terkait pekerja seks, eksploitasi seksual anak serta perdagangan manusia.

Yayasan Hotline saat ini memiliki jangkauan yang meluas, tidak hanya sebatas Surabaya, namun menempatkan 20 technical assistants antara lain di Jombang, Probolinggo dan Gresik.

Esthi mengutarakan apresiasinya terhadap emosi, pikiran dan ide dari Kementerian Kesehatan serta beberapa lembaga-lembaga negara lain yang juga menaruh perhatian pada pengendalian epidemi HIV/AIDS.

Ia juga menekankan peran dari Ditjen PP&PL dalam pengendalian epidemi HIV sangat penting, karena meskipun Ditjen atau divisi lain menaruh perhatian tapi tidak ada kewenangan untuk mengambil langkah terkait.

Selain itu ia juga mengapresiasi perhatian dari Komisi Nasional Perempuan, terkait isu pengendalian epidemi HIV/AIDS.

"Hal itu ditunjukkan dengan masuknya Desti Murdijana (Wakil Ketua Komnas Perempuan), menjadi Ketua Pokja Gender dan HAM di Komisi Penanggulangan AIDS Internasional," kata Esthi.

Namun, ia mengharapkan peran besar dari Kementerian Kesehatan untuk mengintegrasikan kinerja Kemkes, terutama Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL) dengan Komisi Penanggulangan AIDS Internasional.

Menurut dia, epidemi yang saat ini permasalahannya banyak terletak pada laki-laki yang menularkan kepada pasangannya, menempatkan isu keluarga menjadi isu penting untuk diperhatikan.

"Jadi, idenya sudah positif, tapi komitmennya belum maksimal, sehingga pengaruhnya belum kita lihat," ujarnya.

Pendekatan Terhadap Masyarakat
Dalam upayanya mengkampanyekan pengendalian epidemi HIV/AIDS, Esthi mengharapkan adanya peranan dan dukungan yang lebih besar dari masyarakat.

"Sejauh ini masyarakat belum memberikan kontribusi positif dalam pengendalian epidemi ini, karena mereka belum mendapatkan informasi yang lengkap, jelas dan benar dari semua pihak," kata dia.

Esthi juga menyadari ia tidak bisa menaruh harapan pada media untuk terus menerus memberikan informasi terkait pengendalian epidemi kepada masyarakat, karena ada benturan dengan kaidah-kaidah jurnalistik yang mementingkan aspek aktualitas serta keterbatasan media dalam menyampaikan secara lengkap.

Penerapan peraturan-peraturan daerah (Perda) pun dinilai Esthi masih kurang optimal menjangkau masyarakat apabila tidak diimbangi dengan sosialisasi dan pendekatan yang massif dan berkelanjutan.

"Dulu pada saat pertama keluar masyarakat cenderung menolak, Perda itu macan ompong. Namun setelah kami menyiarkan data dan fakta terkait di Suara Surabaya, masyarakat berbalik mendukung," tutur Esthi.

Ia juga bercerita pengalamannya selama memperjuangkan perda serta mengatasi stigma dan diskriminasi terhadap guru perempuan di Madura yang suaminya positif mengidap HIV/AIDS.

Pendekatan yang dilakukan Esthi dan tim rumah sakit dengan memberikan informasi yang lengkap membuahkan hasil tindakan positif dari masyarakat.

"Jadi sebetulnya masyarakat kita itu belum mendapatkan satu pendidikan yang lengkap, sehingga respon mereka adalah respon yang naif. Tapi, starting point-nya adalah siapa yang seharusnya memberikan informasi lengkap, jelas, dan mendidik kepada masyarakat itu," katanya.

Maka dari itu semua, Esthi tetap menyarankan untuk menyisipkan media ataupun sarana penyampaian informasi terkait pengendalian epidemi di sekolah, sehingga lebih berkesinambungan.

Selama ini, ia mengakui kegiatannya tak ubahnya petugas pemadam kebakaran, karena baru bertindak bila ada kasus dan dengan catatan ada dana yang cukup untuk memberikan informasi dan pendidikan pada masyarakat setempat.

Namun meskipun kegiatannya cenderung reaktif, Esthi merasakan betul pengaruh dan perubahan sikap dari masyarakat setelah diberikan pendidikan dan informasi yang lengkap, jelas dan benar secara berkelanjutan.

"Justru, kekuatan epidemi ini bisa dikendalikan oleh masyarakat dan sebetulnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menumbuhkan kesadaran mereka, kami sebagai sipil akan terus mendukung," ujar Esthi.

Menata Ulang Konsep Seksualitas
Esthi sendiri, setelah lebih dari satu generasi mengabdi pada kegiatan yang ia sebut sebagai sebuah misi mulia, masih yakin dan optimis bahwa kegiatannya tidak sia-sia dan tidak terlambat untuk mengendalikan epidemi.

Ia menekankan bahwa proses penyuluhan informasi terkait epidemi bukan sebuah kerja darurat, melainkan kerja berkelanjutan.

"Pemerintah saat ini masih melihatnya sebagai kerja darurat, padahal bukan, karena bayi lahir setiap saat. Sementara selama satu generasi saya memberikan informasi, generasi baru masih belum tahu apa-apa, karena itu harus ada pendidikan lagi untuk mereka," kata Esthi.

Esthi melihat perlu ada penataan ulang untuk menciptakan satu sistem yang membangun, serta kebutuhan akan konsep kesehatan seksual.

Menurut Esthi, kebutuhan akan konsep seksualitas dan kesehatan seksual tergolong penting, karena untuk pengetahuan penyakit kelamin di Indonesia masih amat minim.

"Saya berani bertaruh jika kita keliling Indonesia, penyakit kelamin yang dikenal masyarakat itu hanya dua, sifilis dan kencing nanah (gonorrhea). Padahal penyakit kelamin itu ada puluhan," tutur Esthi.

Ia mengatakan saat ini penyakit kelamin seperti infeksi chlamydia dan trikomoniasis mengalami peningkatan prevalensi, dan itu menunjukkan ada masalah kesehatan seksual di masyarakat.

"Kenapa tak diatasi hanya karena kita tabu membicarakan soal seksualitas?," ujarnya beretorika.

Ia mengakui adanya pandangan umum di masyarakat yang melihat seksualitas sebagai sesuatu yang alamiah, namun mengingatkan bahwa dunia saat ini tidak dikendalikan oleh hal-hal alamiah. Menurutnya setiap hal perlu direkonstruksi.

Karena itu, pendidikan seksual bisa menjadi salah satu opsi utama, sebab di dalamnya terdapat unsur rekonstruksi serta informasi memadai terkait penyakit-penyakit kelamin yang jumlahnya banyak itu.

Menurut dia ada banyak hal yang perlu ditata ulang terkait, bukan saja demi pengendalian epidemi HIV/AIDS namun juga untuk penyakit-penyakit kelamin lainnya.

"Mari kita tata seksualitas tanpa ada prasangka akan terjadi zinah. Toh, nanti yang diuntungkan juga masyarakat, isterinya, keluarganya dan anak-anaknya. Dan mencegah itu jauh lebih baik dari pada terlanjur positif, karena nanti biaya yang dikeluarkan akan lebih mahal," katanya.
(ANT/SDP-51/B/Z003/Z003)

Pewarta :
Editor: Awi
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.