Kupang (ANTARA) - Hari masih remang-remang, ketika suara mesin kapal cepat mulai meraung pelan di Pelabuhan ASDP Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Jumat (23/5).
Waktu menunjukkan pukul 05.30 WITA, dan udara laut yang lembap membelai wajah saat melangkah ke atas kapal cepat yang siap membawa penumpang menuju salah satu mahakarya alam di NTT, yaitu Pulau Padar.
Langit timur perlahan memerah, mengguratkan warna jingga keemasan di atas gugusan bukit. Pelabuhan mulai ramai oleh wisatawan, baik domestik dan mancanegara, pemandu wisata yang akan menuju ke Pulau Padar, dan nelayan NTT yang bersiap memulai hari.Suasana pagi di Labuan Bajo, NTT, terasa seperti
lukisan hidup tenang, indah, dan sarat harapan. Perubahan sangat terasa saat tiba di pelabuhan penyeberangan milik ASDP tersebut.
Jika di tahun 2017 hingga 2021 atau 2022 belum ada ruang tunggunya, kini kawasan itu sudah tertata dengan rapi, bahkan ada ruang tunggu yang bersih dan nyaman.
Setelah menunggu selama kurang lebih 30 menit di ruang tunggu, wisatawan diminta untuk masuk ke kapal cepat, namun wajib chek in terlebih dahulu.
Rahman, wisatawan yang ikut dalam rombongan tersebut, bercerita bahwa pada tahun 2021 keadaan pelabuhan itu belum seperti keadaan sekarang. Pemerintah telah merenovasi pelabuhan itu untuk memberikan rasa nyaman kepada wisatawan, seiring semakin meningkatnya jumlah wisatawan yang datang ke kawasan itu.
Kapal cepat melaju kencang membelah permukaan laut yang masih tenang. Embusan angin laut membawa aroma asin yang khas, sementara gugusan pulau kecil satu per satu menyapa dari kejauhan.
Pulau Kelor, Pulau Rinca, dan sejumlah pulau tak bernama menjadi pemandangan pembuka, sebelum Padar menampakkan dirinya.
Sekitar 45 menit perjalanan, puncak-puncak karang Pulau Padar mulai terlihat. Kontur pulau ini unik, dimana tiga teluk berbentuk sabit dengan pasir putih, hitam, dan serta pasir berwarna merah muda mengelilingi bukit-bukit tajam yang menjadi daya tarik utama.
Dari kejauhan, Padar tampak seperti naga tidur yang tengah menghadap Laut Flores.
Kapal cepat merapat ke dermaga kayu yang sudah disiapkan untuk wisatawan yang turun ke untuk menikmati keindahan karya Tuhan di pulau tersebut.
Beberapa kapal cepat yang lain juga membawa wisatawan dan tidak sempat lagi bersandar di dermaga, terpaksa harus turun dan langsung menjejakkan kaki ke pantai berpasir halus.
Sebelum mulai menanjak, wisatawan, khususnya yang rombongan, akan diarahkan oleh pemandu wisata di Pulau Padar untuk mematuhi aturan-aturan selama mendaki ke puncak pulau tersebut.
“Selama mendaki tolong dijaga kebersihan sepanjang rute pendakian dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak membuang puntung rokok dan jangan terlalu dipaksakan jika tidak bisa sampai puncak,” kata Ilham pemandu wisata yang ada di pos penjagaan Pulau Padar.
Terdapat 800 anak tangga yang harus dilalui oleh wisatawan jika ingin mencapai pos lima yang merupakan puncak dari Pulau Padar.
Untuk menuju ke pos pertama, sejumlah anak tangga yang terbuat dari kayu sudah disusun rapi, kurang lebih kemiringan untuk mencapai ke pos tersebut sekitar 190 derajat.
Sukses mencapai pos satu, wisatawan akan disuguhi jalur pendakian dengan anak tangan dari batu yang mulai menanjak tajam.
Setiap langkah menuju puncak Pulau Padar adalah perjalanan yang menguras tenaga, sekaligus menenangkan jiwa. Di sisi kanan dan kiri, hamparan laut biru kehijauan menyatu dengan lekuk teluk dan tebing curam.
Suara napas yang berat berpadu dengan desir angin yang berembus lembut, membuat waktu seakan melambat. Beberapa wisatawan yang telah mencapai puncak dan kembali ke pantai, memberi semangat kepada yang baru mulai naik ke puncak.
Sekitar 30 menitan pendakian, tibalah kami di titik paling terkenal di Pulau Padar, titik foto legendaris yang kerap membanjiri media sosial. Dari puncak ini, ketiga teluk dan seluruh kontur pulau terlihat sempurna, seperti miniatur alam semesta yang dikurasi langsung oleh "tangan" Tuhan.
Banyak pengunjung terdiam lama di sini, tidak ingin melewatkan momen magis yang hanya bisa dirasakan, bukan sekadar diceritakan. Mereka mengabadikan momen karena sudah berada di puncak.
Namun ada pula yang sudah merasa puas berada di pos tiga dan empat, karena sudah tidak mampu lagi sampai ke puncak pulau tersebut.
Amelia, wisatawan asal Belanda, bercerita bahwa dia sudah dua kali ini ke pulau tersebut. Pertama kali datang pada tahun 2019, dan pada 2025 ini mendaki lagi dengan suaminya. Ia mengaku masih sangat terkesan dengan suasana pulau tersebut yang dinilainya indah luar biasa.
Terik Matahari yang belum terlalu menyengat karena waktu masih menunjukkan pukul 08.00 WITA, serta angin sepoi-sepoi di puncak bukit itu, membuat beberapa wisatawan tetap ingin bersantai di puncak pulau, sambil mengabadikan momen.
Usai menikmati panorama dan mengabadikan momen, perjalanan dilanjutkan turun kembali ke pantai. Saat tiba di bawah, para pedagang kaki lima yang menjual suvenir langsung menawarkan jualannya kepada wisatawan.
Beberapa wisatawan beristirahat sambil menunggu waktu untuk melanjutkan ke lokasi yang lain, memesan air kelapa murni yang dijual oleh warga yang tinggal tidak jauh dari Pulau Padar.
Data di pos penjagaan menunjukkan bahwa wisatawan yang berkunjung ke Pulau Padar sejak April 2025 mulai mengalami peningkatan. Di hari Senin hingga Jumat jumlah kunjungan wisatawan berkisar dari 500 hingga 600 orang.
Sementara di hari Sabtu serta Minggu, jumlah wisatawan bisa mencapai 1.500 orang per hari, Saat ini juga adalah momen tingginya wisatawan.
Pulau Padar bukan hanya tentang keindahan lanskap. Ia adalah tentang perjalanan tentang bagaimana pagi dimulai dengan penuh semangat, bagaimana setiap langkah mendekatkan kita pada keagungan semesta, dan bagaimana pulang membawa hati yang lebih lapang.
Menyusuri jejak purba
Perjalanan menyaksikan keindahan alam dan pantai di Kawasan Taman Nasional (TN) Komodo masih berlanjut usai dari Pulau Padar. Kali ini, lokasi selanjutnya adalah Pulau Komodo.
Rumah “sang naga purba” yang melegenda. Lautan biru terbentang luas, namun semangat para pengunjung tetap menyala, setelah mendaki bukit-bukit Padar yang memukau.
Sekitar 30 menit perjalanan, dermaga Loh Liang di Pulau Komodo mulai terlihat. Petugas dari Balai Taman Nasional Komodo menyambut kedatangan wisatawan.
Setelah menjelaskan rute untuk menyaksikan langsung Komodo (Veranus Komodoensis), ranger Komodo di Pulau Komodo bernama Abdul menjelaskan bahwa ada tiga rute untuk menyaksikan secara langsung Komodo di pulau tersebut.
Rute pertama berjarak sekitar empat kilometer dengan waktu tempuh 120 menit. Rute kedua berjarak 2,5 kilometer dengan waktu tempuh 60 menit dan rute ketiga berjarak 1,7 kilometer dengan waktu tempuh 45 menit.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk melihat Komodo, berjarak sekitar kurang lebih satu kilometer, sudah terlihat sejumlah wisatawan berkerumun di satu tempat yang luas, sebuah kubangan, tempat komodo biasa mencari minum.
Tubuhnya kokoh, sisik tebal, dan lidah bercabang yang sesekali dijulurkan membuat bulu kuduk merinding. Ada rasa takut yang bercampur takjub, menyaksikan makhluk purba ini di habitat aslinya, bukanlah pengalaman biasa.
Namun sayang, tangan bagian kanan bengkak sebesar paha orang dewasa, dan membuatnya sulit untuk bergerak.
Sesuai penjelasan Abdul, tangan kanan Komodo itu tergigit oleh jantan yang lain saat berebutan Komodo betina.
Saking asyiknya mengabadikan momen Komodo yang tertidur, tiba-tiba muncul seekor Komodo berukuran kecil, yang diketahui adalah Komodo berjenis kelamin perempuan berjalan munuju ke kubangan tersebut.
Semua wisatawan yang berkunjung ke lokasi itu, langsung menghindar. Ternyata Komodo tersebut hanya ingin mencari minum di lokasi tersebut, dan langsung melanjutkan perjalanannya ke lokasi yang lain.
Balai TN Komodo menyatakan populasi satwa Komodo yang berada di kawasan konservasi Taman Nasional Komodo di Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur (NTT) relatif stabil.
"Populasi biawak Komodo secara alami mengalami fluktuasi, sesuai dengan ketersediaan populasi satwa mangsa di alam, dan secara umum populasi biawak Komodo meningkat dalam tujuh tahun terakhir. Pada tahun 2024 tren populasi biawak Komodo masih dalam rentang stabil," kata Kepala Balai TNK Hendrikus Rani Siga, ketika berbincang dengan ANTARA.
Populasi biawak Komodo berdasarkan laporan dari Balai TNK sebanyak 2.897 ekor pada tahun 2018, tahun 2019 sebanyak 3.022 ekor, lalu pada tahun 2020 sebanyak 3.163 ekor, tahun 2021 sebanyak 3.303 ekor, tahun 2022 sebanyak 3.156 ekor, tahun 2023 sebanyak 3.396 ekor, dan pada tahun 2024 sebanyak 3.270 ekor.
Walaupun pada tahun 2024 populasi mengalami penurunan, hal tersebut masih dalam kategori relatif stabil.
Pasir Merah Muda
Setelah puas mengamati satwa langka tersebut, sejumlah wisatawan lalu kembali ke dermaga dan melanjutkan pelayaran ke objek wisata penutup, yakni Pink Beach sebuah surga kecil dengan pasir merah muda yang memesona.
Hanya 15 hingga 20 menit dari Pulau Komodo, Pink Beach menyambut sejumlah wisatawan dengan warna unik yang memantulkan cahaya Matahari menjadi rona kemerahan.
Mengapa lokasi itu disebut Pink Beach? Sebab warna pasir itu berasal dari campuran pasir putih dan serpihan mikroorganisme laut bernama Foraminifera yang berwarna merah.
Di lokasi itu, waktu terasa lebih santai. Tubuh yang penuh dengan keringat akibat sengatan Matahari terasa hilang begitu saja, ketika menceburkan diri ke dalam air laut yang jernih dan indah.
Sejumlah wisatawan berenang di air sebening kristal, menyelam dangkal (snorkeling) untuk melihat terumbu karang yang kaya warna, atau sekadar berjalan menyusuri garis pantai yang fotogenik.
Pink Beach bukan hanya tempat untuk menikmati pemandangan, tapi juga tempat untuk merenung dan menyatu dengan alam.
Saking asyiknya berenang dan berfoto, tidak terasa sang Mentari mulai perlahan-lahan turun ke peraduannya. Sang Mentari, berusaha mengingatkan kepada wisatawan untuk segera kembali ke penginapan, setelah seharian menikmati keindahan alam di kawasan TN Komodo itu.
Kapal cepat pun kembali ke Labuan Bajo, menyusuri laut Flores yang kini memantulkan warna keemasan pada sore hari.
Perjalanan panjang mulai dari Pulau Padar, Pulau Komodo, lalu Pink Beach bukan sekadar wisata, tapi sebuah perjalanan jiwa untuk menapaki keindahan alam, menyentuh sejarah kehidupan purba, dan merasakan betapa kayanya Nusa Tenggara Timur.
“Keindahan yang saya dan keluarga rasakan hari ini tidak pernah kami lupakan, mungkin kami akan kembali lagi ke sini, suatu hari nanti,” ujar Martin Shanen, wisatawan asal Inggris yang ditemui di Pink Beach.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ke Pulau Padar NTT; jejak langkah di antara bukit dan lautan