Menyiapkan generasi Z mahir digital serta mental sehat

id generasi Z, mahir digital,kurang bahagia,generasi emas

Menyiapkan generasi Z mahir digital serta mental sehat

Gen-z berfoto bersama saat kegiatan gerakan literasi digital di Pontianak. (ANTARA/Dini)

Penelitian baru dari studi Gallup-Walton Family Foundation Voices of Gen Z, yang dikembangkan bersama pakar kebahagiaan Arthur C. Brooks, menawarkan lebih banyak wawasan kepada kelompok Gen Z itu dan menyarankan cara untuk meningkatkan kebahagiaan mereka.

Laporan tersebut menemukan bahwa sekitar tiga perempat dari Gen Z – anak-anak dan dewasa muda yang lahir antara tahun 1997 dan 2012 – mengatakan mereka sangat bahagia (25 persen) atau agak bahagia (48 persen).

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa selain seperempat dari Gen Z yang tidak bahagia, sekitar seperempat dari Gen Z tidak selalu merasa bahwa hidup mereka penting, sekitar setengahnya sering merasa cemas, dan kira-kira satu dari lima sering merasa depresi.

Bagi Kelompok ini melakukan aktivitas sehari-hari yang mereka anggap menarik, memotivasi, atau penting dapat memberi generasi Z jalan yang dapat diandalkan menuju kebahagiaan.

Selain itu, survei tersebut menemukan bahwa tidur yang cukup dan periode relaksasi yang cukup selama seminggu merupakan faktor yang dapat memprediksi kebahagiaan Gen Z secara keseluruhan. Meskipun survei ini dilakukan kepada G Z di Amerika Serikat, perilaku tersebut terjadi secara universal.

Bonus Demografi

Dibalik sederet kekurangan yang dikaitkan dengan keterbatasan berinteraksi sosial dan masalah kesehatan mental, Generasi Z tetap dinilai jauh lebih unggul dan visioner.

Selain Gen Z menjadi kelompok paling melek teknologi, kemahiran digital yang dimiliki telah membuka wawasan dalam menyikapi permasalahan yang berkembang mulai dari lingkup terkecil sampai pada isu global.

Bila generasi sebelumnya sering kali terjebak dalam pengelolaan privasi digital yang buruk, maka berbeda halnya dengan generasi Z yang tumbuh dengan pemahaman yang tajam tentang batas antara publik dan pribadi di dunia maya.

Psikolog lulusan Universitas Indonesia Tara de Thouars, BA, M.Psi mengatakan bahwa Gen Z menjadi kelompok usia yang paling rentan mengalami masalah mental sehingga memerlukan dukungan yang tepat termasuk dari keluarga agar potensi dirinya keluar.

"Semua Gen Z punya ciri, karakter yang kuat. Kalaupun potensi itu ada tapi tidak didukung, tidak dipupuk ya tidak akan keluar," kata Tara beberapa waktu lalu.

Tara mengingatkan Gen Z menghadapi banyak tantangan. Walaupun begitu, mereka tetap mencoba tetap produktif dan menjaga kesehatan mentalnya.

Peran orang tua dan pembuat kebijakan menjadi sangat penting untuk memberi pengaruh psikologi dalam pendidikan bagi generasi Z dengan aktif mendukung kesehatan mental serta kepercayaan diri mereka.

Generasi Z menjadi tumpuan masa depan yang kelak membawa Indonesia pada era Emas 2045. Pada tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70 persen dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30 persen merupakan penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045.

Bonus demografi menjadi masa keemasan bagi usia 15-64 tahun, termasuk Gen Z yang dapat memanfaatkan peluang ini dengan baik untuk menghapus kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, serta kriminalitas yang tinggi memasuki satu abad usia Indonesia tercinta.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyiapkan generasi Z mahir digital serta mental yang sehat