Negara masih sebatas mengakui masyarakat adat

id ruu masyarakat adat, apha

Negara masih sebatas mengakui masyarakat adat

Ketua Umum APHA Indonesia Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum. (kedua dari kiri) ketika berada di Desa Wae Rebo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) ini menuju desa adat terpencil itu menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh 4 jam dari Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, kemudian mendaki ke lokasi selama 2 jam. ANTARA/Dokumentasi Pribadi

Semarang (ANTARA) - Negara terkesan sebatas mengakui masyarakat adat yang masih hidup dan berkembang di tengah masyarakat, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), atau belum mewujudkannya dalam bentuk undang-undang (UU).

Hal ini mengingat bangsa ini belum memiliki Undang-Undang tentang Masyarakat Adat. Pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR RI dan Pemerintah, hingga sekarang belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat menjadi undang-undang.

Bahkan, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum., RUU itu mengendap di parlemen kurang lebih 17 tahun.

Beda ketika pembentuk undang-undang membahas RUU Ibu Kota Negara (IKN). Pembahasannya relatif singkat, atau dalam tempo kurang lebih 42 hari tuntas.

Sebagai tindak lanjut operasional pengakuan dan penghormatan masyarakat adat (vide Pasal 18 B ayat UUD NRI Tahun 1945), DPR RI dan Pemerintah telah beberapa kali menetapkan draf RUU tentang Masyarakat Adat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Prolegnas periode 2005—2009 dengan nomor urut 101 berjudul RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, kemudian nama rancangan undang-undang ini berganti menjadi RUU tentang Pengakuan dan Penghormatan Masyarakat Adat dan Tradisinya dengan nomor urut 273. Hal ini berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor: 01/DPR-RI/III/2004-2005 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005—2009.

Selanjutnya Prolegnas periode 2009—2014, berganti nama menjadi RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dengan nomor urut 161. Nama draf ini diubah lagi pada tahun 2013, kemudian RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas 2014 dengan nomor urut 26.

Pada tahun 2017 RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas dengan nomor urut 45. Namun, pada Prolegnas periode 2020—2024 berubah menjadi RUU tentang Masyarakat Hukum Adat dengan nomor urut 160. Pada tahun 2020, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas dengan nomor urut 22.

Meskipun RUU Masyarakat Hukum Adat telah beberapa kali berubah nama, baik dalam Prolegnas maupun Prolegnas Prioritas, pada kenyataannya hingga saat ini RUU itu belum disahkan menjadi undang-undang.

Tindakan administrasi pemerintahan yang tidak melaksanakan kewenangan konstitusionalnya dalam rangka mengakui dan menghormati masyarakat adat tersebut, menurut Prof. Laksanto, dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan karena tidak melakukan tindakan pembentukan UU Masyarakat Adat.