Fase selanjutnya yakni ledakan kekerasan misalnya korban mendapatkan kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran.
Biasanya setelah itu, ada fase rekonsiliasi. Pada fase ini, pelaku biasanya meminta maaf, memberi alasan bahwa dia sedang emosional dan sebagainya, hingga kemudian memasuki fase bulan madu atau periode tenang tanpa pertengkaran.
Menurut Noridha, korban kekerasan seringkali melaporkan kondisinya ke polisi atau lembaga perlindungan pada fase ledakan. Tetapi setelah memasuki fase rekonsiliasi, dia mencabut laporannya karena korban bingung mau melepaskan diri atau tidak pada situasi kekerasan yang dialaminya.
Di sisi lain, ada kekhasan antara korban dan pelaku, semisal relasi yang menggantungkan hidup pada pasangan sehingga punya harapan cukup tinggi, dan ini mempengaruhi korban melihat masalah dan menyelesaikannya. Ini yang seringkali membuat korban tidak bisa melihat masalah secara objektif sehingga sulit mengambil keputusan.
Sebenarnya, konflik dalam rumah tangga merupakan hal yang manusiawi dan wajar, karena biasanya didasarkan kesetaraan dalam relasi. Dalam hal ini, pasangan sama-sama sadar untuk mengatasi konflik diperlukan semacam keterlibatan kedua belah pihak, bukannya justru melakukan kekerasan.
Sementara itu, tidak demikian dengan kekerasan termasuk KDRT. Dalam KDRT, seringkali salah satu pihak dalam posisi tidak setara. Oleh karena itu, saat ada masalah, digunakan cara sepihak dan seringkali bentuknya berupa kekerasan.
Sementara itu, tidak demikian dengan kekerasan termasuk KDRT. Dalam KDRT, seringkali salah satu pihak dalam posisi tidak setara. Oleh karena itu, saat ada masalah, digunakan cara sepihak dan seringkali bentuknya berupa kekerasan.