Ahli Gizi tak rekomendasikan bubur fortifikasi untuk dijadikan MPASI
Jakarta (ANTARA) - Ahli Gizi Masyarakat Dr dr Tan Shot Yen tidak merekomendasikan pemberian bubur fortifikasi atau bubur bayi instan untuk diberikan sebagai Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) kepada bayi sedang yang belajar makan.
"Kembali ke rujukannya juga, antara lain rekomendasi WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), ya. Bubur fortifikasi itu diberikan pada orang-orang yang hidupnya di daerah yang betul-betul tanahnya itu miskin. Coba, saya pengen nanya, ada enggak satu jengkal tanah Indonesia yang betul-betul miskin?," katanya dalam diskusi mengenai MPASI yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Meskipun bubur fortifikasi dibuat menggunakan bahan dasar alami seperti beras, Tan menjelaskan bubur tersebut mengalami penambahan jumlah mineral dan vitamin tertentu pada proses pembuatannya.
Namun, sambungnya, penambahan berbagai zat tersebut bukan berarti menjadikan bubur fortifikasi menjadi lebih bergizi. Menurutnya, MPASI yang baik berasal dari dapur sendiri, yang dibuat sesuai dengan panduan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang diberikan pemerintah.
"Bubur fortifikasi itu berasal dari bahan dapur kita juga sebetulnya, tetapi dengan suhu yang sangat tinggi dikeringkan, diberikan suatu cara industri yang membuat menjadi makanan kering," tambahnya. Salah satu jenis yang bisa diberikan, ungkapnya, adalah dengan membuat bubur yang lumat, yang terbuat dari hati ayam dan wortel dan dibuat dengan cara diulek atau disaring sampai teksturnya lembut, namun tetap kental dan tidak cair.
Selain itu ia juga merekomendasikan pemberian MPASI berupa buah, seperti pisang atau pepaya, namun diberikan dengan cara dikerok, bukan dihaluskan menggunakan blender, supaya tetap kental dan tidak cair.
"Jadi yang benar itu konsistensinya adalah kental, jatuh perlahan, jadi tinggal mangap, suap, telan," ucapnya.
Sebelumnya Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Lovely Daisy mengatakan pemberian MPASI merupakan upaya intervensi untuk membantu tumbuh kembang anak untuk dapat berkembang lebih baik, serta mencegah anak dari sejumlah penyakit dan stunting.
"Ternyata MPASI yang diberikan oleh ibu yang diberikan oleh pemasok, itu tidak mencukupi nutrisinya," ujar Lovely.
"Ini yang perlu kita perbaiki, kita sosialisasikan kepada masyarakat. Di samping itu juga di saat ini kemungkinan anak-anak kita banyak yang sakit dan nutrisinya juga tidak cukup," tambahnya.
Untuk menghadapi hal tersebut Kemenkes melakukan sejumlah upaya guna meningkatkan cakupan ASI eksklusif dan MPASI, beberapa diantaranya adalah dengan mengadakan pelatihan konseling menyusui dan penyegaran konselor ASI, pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA), telekonseling menyusui, penyiapan indikator data rutin ASI dan MPASI, serta dukungan PMBA melalui Gizi Bencana.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ahli Gizi tak rekomendasikan bubur bayi instan untuk dijadikan MPASI
"Kembali ke rujukannya juga, antara lain rekomendasi WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), ya. Bubur fortifikasi itu diberikan pada orang-orang yang hidupnya di daerah yang betul-betul tanahnya itu miskin. Coba, saya pengen nanya, ada enggak satu jengkal tanah Indonesia yang betul-betul miskin?," katanya dalam diskusi mengenai MPASI yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Meskipun bubur fortifikasi dibuat menggunakan bahan dasar alami seperti beras, Tan menjelaskan bubur tersebut mengalami penambahan jumlah mineral dan vitamin tertentu pada proses pembuatannya.
Namun, sambungnya, penambahan berbagai zat tersebut bukan berarti menjadikan bubur fortifikasi menjadi lebih bergizi. Menurutnya, MPASI yang baik berasal dari dapur sendiri, yang dibuat sesuai dengan panduan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang diberikan pemerintah.
"Bubur fortifikasi itu berasal dari bahan dapur kita juga sebetulnya, tetapi dengan suhu yang sangat tinggi dikeringkan, diberikan suatu cara industri yang membuat menjadi makanan kering," tambahnya. Salah satu jenis yang bisa diberikan, ungkapnya, adalah dengan membuat bubur yang lumat, yang terbuat dari hati ayam dan wortel dan dibuat dengan cara diulek atau disaring sampai teksturnya lembut, namun tetap kental dan tidak cair.
Selain itu ia juga merekomendasikan pemberian MPASI berupa buah, seperti pisang atau pepaya, namun diberikan dengan cara dikerok, bukan dihaluskan menggunakan blender, supaya tetap kental dan tidak cair.
"Jadi yang benar itu konsistensinya adalah kental, jatuh perlahan, jadi tinggal mangap, suap, telan," ucapnya.
Sebelumnya Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Lovely Daisy mengatakan pemberian MPASI merupakan upaya intervensi untuk membantu tumbuh kembang anak untuk dapat berkembang lebih baik, serta mencegah anak dari sejumlah penyakit dan stunting.
"Ternyata MPASI yang diberikan oleh ibu yang diberikan oleh pemasok, itu tidak mencukupi nutrisinya," ujar Lovely.
"Ini yang perlu kita perbaiki, kita sosialisasikan kepada masyarakat. Di samping itu juga di saat ini kemungkinan anak-anak kita banyak yang sakit dan nutrisinya juga tidak cukup," tambahnya.
Untuk menghadapi hal tersebut Kemenkes melakukan sejumlah upaya guna meningkatkan cakupan ASI eksklusif dan MPASI, beberapa diantaranya adalah dengan mengadakan pelatihan konseling menyusui dan penyegaran konselor ASI, pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA), telekonseling menyusui, penyiapan indikator data rutin ASI dan MPASI, serta dukungan PMBA melalui Gizi Bencana.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ahli Gizi tak rekomendasikan bubur bayi instan untuk dijadikan MPASI