Jakarta (ANTARA) - Dunia pendidikan Indonesia mengenal dua macam ketegori ranah pendidikan. Dari sisi hasil pendidikan, lazimnya dikenal ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. Dari latar belajar, lazim dikenal latar sekolah (kelas) dan latar di luar sekolah.
Konsep seperti ini memang berlaku di sistem persekolahan formal yang diadopsi dari sistem pendidikan Barat semenjak zaman penjajahan
Konsep pendidikan khas Indondesia adalah padepokan dan pesantren. Pesantren akhirnya lebih khusus untuk belajar agama Islam yang dimulai sejak zaman Sunan Ampel.
Agus Sunyoto, budayawan Jawa Islam, di dalam buku fenomenalnya, "Atlas Wali Songo" menjelaskan tentang evolusi padepokan menjadi pesantren ini. Pada konsep padepokan atau pesantren, tokoh utamanya adalah sang begawan atau kiai
Sistem pendidikan pedepokan atau pesantren adalah pendidikan yang menekankan ranah belajar akal sekaligus rasa. Ranah akal ini menggarap aspek luar dengan menggunakan akal sebagai peranti utamanaya, sedangkan ranah rasa ini menggarap aspek dalam (ruhani) dengan menggunakan rasa sebagai peranti utamanya.
Kadang dan sering konsep rasa di sini dimaknai sama dengan hati. Konsep ini jelas berbeda dengan konsep Barat yang lebih menitikberatkan sisi luar dengan menggunakan akal sebagai perantinya
Belajar bermakna
Sistem pendidikan Barat menekankan kegiatan belajar itu menghasilkan apa yang disebut dengan belajar bermakna (meaningful/deep learning), tidak hanya sekadar belajar hapalan (rote/shallow learning).
Salah satu rujukan yang paling terkenal mengenai konsep belajar ala Indonesia ini adalah konsep belajar bermakna yang terdapat di dalam Serat Wedhatama.
Serat Wedhatama ini merupakan wujud pernyataan paling nyata tentang sistem pendidikan padepokan. Pengarangnya, KGPAA Mangkunagra IV, sebagai seorang raja, jelas mewarisi dan menurunkan sistem pendidikan ini dari leluhurnya sejak zaman Kadiri, Singasari, dan Majapahit