AI dan tantangan media massa yangkian pelik

id Kecerdasan buatan, AI, Jurnalisme, Bisnis media,berita palembang, berita sumsel

AI dan tantangan media massa yangkian pelik

Foto ilustrasi - Kecerdasan Buatan (AI) dan pembelajaran mesin kian menyita perhatian dunia. (Mike MacKenzie/www.vpnsrus.com via flickr)

Direct traffic tak begitu terpengaruh perubahan algoritma, sebaliknya organic traffic dipengaruhi algoritma mesin pencari.

Organic traffic ini baik untuk menarik audiens baru dan membangun kredibilitas, sedangkan direct traffic menjadi petunjuk untuk kuatnya brand media dan loyalitas pengguna konten media.

Dari data Similarweb, hanya laman-laman seperti Detik.com dan Kompas.com yang memiliki proporsi direct traffic yang besar, masing-masing 43,06 persen dan 35,09 persen, sedangkan kebanyakan media lain di bawah 30 persen.


Pola bisnis kacau

Direct dan organic traffic memang sama penting, tapi lebih bagus jika seimbang karena dengan cara itu media bisa lebih menjaga kualitas produk tanpa mengganggu profitabilitas finansial media itu.

Tapi untuk sampai ke level itu, butuh infrastruktur teknologi, sistem pemasaran, dan struktur keuangan yang kuat. Masalahnya, tak banyak media yang memiliki modalitas seperti ini.

Sebaliknya, keterbatasan modalitas membuat media menjadi pragmatis dengan menuruti "diktasi" algoritma yang salah satu akibatnya mendorong media kian sering menghasilkan konten-konten clickbait, entah teks, audio, atau video.

Ini persoalan besar media, tapi media tak bisa mengatasinya sendirian, karena tak ada yang bisa mendesak Google, TikTok, Meta, dan lainnya untuk membuka algoritma mereka.

Yang bisa dilakukan media hanyalah menaksir pola pencarian internet dengan optimalisasi mesin pencari (SEO).

Di sisi lain, mesin pencari dan media sosial telah mengacaukan pola bisnis media. Mereka mendapatkan konten dari media, tapi media tak mendapatkan keuntungan finansial signifikan dari mereka.

Inilah hal yang dikritik oleh banyak kalangan di beberapa negara, termasuk di Australia.

Pada 2021, Australia membuat terobosan dengan mensahkan undang-undang yang mewajibkan perusahaan-perusahaan mesin pencari dan media sosial membayar fee kepada perusahaan media untuk setiap konten yang mereka gunakan.

Awalnya, prakarsa ini ditentang, terutama oleh perusahaan-perusahaan raksasa teknologi (Big Tech), seperti Meta yang menjadi perusahaan induk Facebook dan Alphabet Inc yang beranak perusahaan Google. Namun, UU itu akhirnya mulus dipraktikkan di Australia.

Ternyata, menurut Profesor Rod Sims dari Australian National University dalam Los Angeles Times pada 7 Uni 2023, setelah dua tahun menerapkan UU itu, perusahaan-perusahaan media Australia mendapatkan tambahan pemasukan 140 juta dolar AS (Rp2,16 triliun) per tahun yang cukup untuk membuka rekrutmen wartawan baru dalam jumlah besar.