Suku Moi punya budaya Egek

id Egek,Suku Moi,Lingkungan Hidup

Suku Moi punya budaya Egek

Salah seorang "mamak" Suku Moi membawa sesaji sebagai salah satu tradisi ritual Egek pada pembukaan Festival Egek yang diadakan di Desa Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Senin (5/8/2023). (ANTARA/Sean Filo Muhamad)

Terdapat beberapa bagian yang mencirikan bahwa perahu tersebut adalah perahu khas Suku Moi, di antaranya adalah dengan adanya susung (bangunan seperti rumah) yang berfungsi sebagai tempat melindungi diri dan barang logistik dari hujan.
 
Selain itu, perahu Suku Moi dibuat dari kayu selawaku yang merupakan kayu yang berasal dari daerah dimana Suku Moi tinggal yang disebut sebagai Tanah Moi oleh penduduk setempat. Perahu itu digunakan untuk balobe (mencari) ikan saku. Selain itu, pada zaman dahulu dipakai untuk berjualan sagu dan buah ke kota.
 
Suku Moi juga memiliki budaya menghias perahu. Suku Moi menghiasi perahu mereka sebagaimana mereka menghargai kaum perempuan Suku Moi dengan hiasan.
 
Satu perahu Suku Moi dapat memuat hingga empat orang. Penduduk asli Suku Moi lebih senang menggunakan perahu tersebut karena perahu yang dibuat merupakan perahu tanpa mesin.


Budaya Egek
 
Suku Moi sejak dahulu kala menerapkan budaya Egek, yaitu budaya adat tentang menjaga alam dengan mengambil secukupnya dari alam, termasuk dalam penggunaan mesin yang tidak ramah lingkungan. Maka dari itu, Suku Moi lebih senang menggunakan perahu adatnya dibandingkan dengan perahu bermesin.
 
Egek, atau Sasi dalam budaya Maluku, merupakan budaya menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan tidak mengambil hasil-hasil alam tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan perjanjian masyarakat sudah lama diterapkan oleh Suku Moi. Esensi dari budaya Egek adalah mengambil secukupnya dari alam dan tidak mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan.
 
Jika MHA Suku Moi memiliki hajat tertentu seperti pembangunan fasilitas umum, atau hajat lainnya yang memerlukan dana besar, maka MHA Suku Moi melakukan acara Buka Egek yang bermaksud untuk membuka kembali perjanjian yang telah disepakati sampai waktu tertentu agar dapat membantu mereka dalam menunaikan hajatnya.
 
Buka Egek merupakan waktu dimana Suku Moi kembali melaut, mengambil hasil bumi untuk warga Suku Moi konsumsi sendiri. Meski demikian, Egek juga berlaku pada sumber daya alam lainnya seperti tanah dan hutan tergantung dimana MHA Suku Moi itu tinggal.
 
Tidak hanya itu, sebagian MHA Suku Moi terutama Moi Kelim yang mendiami Desa Malaumkarta dan Desa Suatolo juga telah menerapkan sumber energi terbarukan dalam penggunaan energi listrik.
 
Sebelum tahun 2016 silam, MHA Suku Moi Kelim belum tersentuh aliran listrik. Namun setelahnya, masyarakat berinisiatif untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang ramah lingkungan.
 
Berkat kegigihan MHA Suku Moi dalam mempertahankan Egek sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup, Suku Moi diakui sebagai kelompok MHA oleh Pemerintah Kabupaten Sorong pada tahun 2017.
 
Oleh karena itu, MHA Suku Moi berhak atas wilayah kelola yang dilindungi oleh hukum seluas sekitar 4.000 hektare di perairan dan 16.000 hektare di daratan. Biasanya, MHA Suku Moi hanya melaksanakan Buka Egek dengan ritual tradisional khas Suku Moi seperti dengan tarian adat yang bernama tarian a'len.

Pada tahun ini, MHA Suku Moi melaksanakan Buka Egek sekaligus mengadakan acara Festival Egek yang diselenggarakan pada 5-8 Juni 2023. Acara tersebut mendapat dukungan penuh dari pemerintah baik pemerintah daerah maupun berbagai kementerian serta beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani isu pelestarian lingkungan hidup.
 
Dari Festival Egek, setidaknya dapat ditarik pelajaran bahwa budaya Egek yang menjadi kearifan lokal Suku Moi dapat menjadi contoh bagi  masyarakat pada umumnya agar tidak serakah dalam memanfaatkan kekayaan alam. Alam harus dijaga kelestariannya, bukan diekploitasi tanpa memikirkan keberlanjutannya.