Masjid Lautze dan perayaan Imlek

id Imlek,Mesjid Lautze Oleh Ilham Kausar

Masjid Lautze dan  perayaan Imlek

Bangunan Masjid Lautze di Jalan Lautze nomor 87- 89, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Jumat (20-1-2023). ANTARA/Ilham Kausar

Jakarta (ANTARA) - Masjid di Indonesia lazimnya memiliki kubah atau menara untuk menandakan bangunan itu sebagai tempat ibadah umat Islam. Namun, hal tersebut tidak dijumpai pada Masjid Lautze yang berada di Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Masjid yang berdiri sejak tahun 1991 tersebut, bangunannya lebih mirip tempat ibadah pemeluk Khonghucu yaitu kelenteng, dengan ornamen-ornamen khas Tionghoa, beberapa hiasan lampu lampion yang dipasang di luar masjid, dan pintu masuk masjid berupa perpaduan warna merah dan kuning.

Begitu masuk ke dalam masjid berukuran 15x20 meter itu, pengunjung disambut dengan lukisan kaligrafi bertuliskan huruf Arab dengan percampuran seni antara Arab dan China.

Semua kaligrafi Arab-China yang ada hanya menonjolkan hasil sapuan kuas dengan tinta hitam pada selembar kain putih yang tidak detail dan variasinya seperti halnya kaligrafi Arab pada umumnya.

“Sebagian besar (lukisan kaligrafi) dibuat langsung oleh seorang Muslim asli Tionghoa di Shenzhen (China) saat saya berkunjung ke sana,” ucap H.M. Ali Karim, Ketua Yayasan Haji Karim Oei.

Selain kaligrafi, perpaduan warna di masjid ini juga unik. Jika dapat diartikan dalam budaya Tionghoa, maka warna-warna tersebut mengandung filosofi yang bermakna.

Unsur Tionghoa yang kental di mimbar Masjid Lautze Jakarta, Jumat (20-1-2023). ANTARA/Ilham Kausar
Warna merah di tembok depan dan lampu latar mimbar memiliki filosofi sebagai keberuntungan, kebahagiaan, dan kelimpahan. Kemudian warna kuning di sisi kanan dan kiri masjid memiliki arti kesetiaan, kesungguhan, dan kesucian, lalu warna hijau di tiang penopang masjid ini diartikan sebagai perdamaian.

Pada lantai dua masjid ini terdapat tempat ibadah untuk wanita  dan untuk menampung jamaah saat shalat Jumat. Adapun dekorasi dan cat temboknya terlihat sederhana dengan perpaduan warna kuning dan putih saja.

Ketika naik di lantai tiga terdapat dapur umum sederhana untuk memasak makanan para  pengurus ataupun  hasilnya dibagikan kepada jamaah saat diadakan pengajian rutin.

Pada lantai empat terdapat kantor ketua yayasan dan beberapa ruang untuk pegawai, ruang konsultasi keagamaan, dan ruangan penyimpanan berkas-berkas dokumen penting.

Selain corak dan warnanya unik, masjid yang diresmikan oleh B.J. Habibie pada tahun 1994 ini, jam operasionalnya terbatas. Jika pada umumnya masjid dapat digunakan saat shalat lima waktu yakni subuh, zuhur, ashar, maghrib, dan isya, maka tempat ibadah ini hanya digunakan dua waktu shalat saja, yaitu zuhur dan ashar.

Akan tetapi itu bukan tanpa alasan. Hal ini karena pengurus masjid tidak ada yang tinggal di rumah ibadah ini dan terbatasnya jumlah pengurus.

“Selain itu karena letaknya di pusat bisnis dan perkantoran, jamaah masjid ini biasanya banyak yang sudah pada pulang ke rumah,” jelas Ali yang memiliki nama Tionghoa, Oei Tek Lie.

 

Asal nama Lautze

Ali Karim Oei menjelaskan kalau rumah ibadah ini untuk diberi nama Masjid Lautze sesuai dengan nama jalan di mana masjid ini berada, yaitu Jalan Lautze No. 88--89 Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Menurut dia, jika masjid tersebut diberi nama yang mengandung unsur islami, bisa jadi orang-orang Tionghoa yang ingin belajar ataupun sekadar datang, justru akan canggung.

"Kita ini mau dakwah di sekitar orang Tionghoa, target kita orang Tionghoa, kalau namanya islami, mana ada yang mau datang. Akhirnya saya memutuskan menggunakan nama jalan   Lautze saja," katanya.

Dikatakan, Lautze sendiri merupakan nana seorang nabi bernama Lao Tze yang menyebarkan agama Taoisme di negeri Tirai Bambu. Lao Tze mengajarkan bahwa “Tuhan itu adalah satu yang tidak dapat diraba, tidak berbentuk tetapi ada”.

Ajaran tersebut identik dengan ajaran tauhid pada Islam sehingga nama Lautze dianggap cocok untuk mengimplementasikan visi misi yang dijalankan Yayasan Haji Karim Oei sebagai pengelola Masjid Lautze ini.

Ia juga yang menginginkan corak ornamen dan dekorasi yang tak jauh beda dengan kelenteng atau vihara. Hal ini dibuat agar para mualaf atau etnis Tionghoa yang ingin belajar Islam dan datang ke masjid ini tidak canggung karena merasa lebih dekat dengan kebudayaan mereka.

Ali Karim Oei menceritakan bahwa sebelumnya hanya ingin membangun masjid tanpa mendirikan yayasan. Dia khawatir nantinya masjid dan yayasan ini dianggap milik keluarga, padahal ia ingin masjid ini dapat dikelola dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Setelah dibujuk beberapa tokoh organisasi Islam di Indonesia, seperti K.H. Ali Yafie dari Nahdlatul Ulama, Lukman Harun dari Muhammadiyah, dan Yunan Helmi Nasution dari Al Washliyah, Ali bersedia menjalankan yayasan tersebut dengan syarat para aktivis organisasi Islam itu masuk ke dalam struktural yayasan.

 

Perayaan Imlek

Imlek merupakan momen pergantian tahun dalam kalender China atau kalender Lunar. Perayaan ini tidak hanya dirayakan di negara Tirai Bambu tapi masyarakat etnis Tionghoa di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Walaupun Masjid Lautze kental dengan nuansa Tionghoa, pengurus masjid ini tidak pernah mengadakan perayaan khusus Imlek.

“Hal ini dilakukan ... jangan sampai nanti terkesan Muslim Tionghoa memiliki 3 hari raya.” kata Qiu Xue Long atau biasa dipanggil Naga Kunadi, pengurus Masjid Lautze.

Biarpun tidak merayakan Imlek, para pengurus di Masjid Lautze tetap memberikan sesuatu yang spesial pada hari Imlek. Seperti Imlek tahun ini yang dirayakan tepat para hari Minggu (22-1), pengurus masjid mengadakan pengajian rutin.

Hidangan makanan yang disajikan berbeda dengan hari minggu biasa. Mereka memang tidak merayakan dengan spesial, tapi Imlek tetaplah perayaan yang sangat emosional bagi seluruh etnis Tionghoa di seluruh dunia.

“Ada menu lontong cap gomeh, mi, dan sebagainya. Pokoknya (menunya) berbeda dari hari biasanya,” ucap Naga yang mualaf sejak tahun 2002.

Selain mengadakan pengajian, perayaan Imlek di Masjid Lautze juga dijadikan ajang kumpul-kumpul atau silaturahmi bagi para kaum Muslim Tionghoa yang mualaf di masjid ini.

Seusai pengajian, biasanya mereka (kaum Muslim Tionghoa) akan bersilaturahmi dengan keluarganya yang mungkin jarang mereka temui karena kesibukan ataupun karena sudah tinggal di rumah yang berbeda.

Momen Imlek bagi etnis Tionghoa juga menjadi ajang silaturahmi, baik itu dengan orang tua,  saudara, maupun dengan sesama masyarakat keturunan Tionghoa sekalipun telah berbeda kepercayaannya.

Mungkin kepercayaan mereka berbeda, namun ada mereka memiliki kesamaan yaitu berasal dari etnis yang sama. Hal tersebut yang tidak bisa mereka lepaskan.

Dengan menjaga silaturahmi maka bisa menghilangkan pandangan kurang baik terhadap Islam dari kaum Tionghoa itu sendiri.

Imlek juga mengajarkan arti pentingnya kebersamaan, mengasihi, dan saling menghormati walau sudah berbeda keimanan.


Editor: Achmad Zaenal M

 



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ihwal Masjid Lautze dalam memandang perayaan Imlek