Jakarta (ANTARA) - Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat pagi melemah, dibayangi kebijakan pengetatan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (Fed) terkait suku bunga acuannya.
Rupiah pagi ini dibuka turun tipis 26 poin atau 0,17 persen ke posisi Rp15.130 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp15.104 per dolar AS.
"Banyak yang mengatakan bahwa di tahun ini bank sentral Amerika Serikat itu masih tetap menaikkan suku bunga walaupun hanya 25 basis poin di bulan Februari. Tetapi indikasi ini yang dipersepsi oleh para ekonom dan para analis bahwa pengetatan moneter di AS masih terus dilakukan," kata Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi saat dihubungi Antara di Jakarta, Jumat.
Selain itu Ibrahim mengatakan perang Ukraina yang saat ini bergejolak juga membayangi pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Kemungkinan gejolak perang tersebut akan memicu inflasi dan bank sentral negara bagian di AS masih akan terus melakukan pengetatan moneter.
Ibrahim melihat kemungkinan besar akan ada keterlibatan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dalam peperangan tersebut, sehingga muncul kekhawatiran akan terjadinya satu resesi yang cukup ditakutkan pasar.
Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg sebelumnya mengatakan bahwa pengiriman lebih banyak senjata ke Ukraina merupakan satu-satunya cara untuk menuju negosiasi damai dengan Rusia.
Menurut Stoltenberg, fokus NATO saat ini adalah memberikan dukungan kepada Ukraina, memastikan Kiev bisa memenangi perang sebagai negara demokratis yang berdaulat dan mandiri di Eropa.
Pemimpin NATO itu juga menyatakan bahwa aliansi pertahanan tersebut akan memasok persenjataan yang lebih berat ke Ukraina.
Sedangkan secara internal, Ibrahim menuturkan sentimen pasar dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) alias BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen dari hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 18-19 Januari 2023.
Suku bunga deposit facility juga dinaikkan sebesar 25 bps menjadi 5 persen dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 6,5 persen. Kenaikan suku bunga yang dilakukan BI tersebut bertujuan untuk menjaga inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut Ibrahim, Bank Indonesia seharusnya bisa mempertahankan suku bunga dan tidak menaikkan suku bunga pada Januari 2023, melainkan bisa menaikkannya pada Februari 2023.
Hal itu kemudian menjadi sentimen pasar sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada penutupan perdagangan pada Kamis (19/1) melemah tipis ke posisi Rp15.104 per dolar AS.
"Saya lihat bank sentral AS pun juga di bulan Januari tidak menaikkan suku bunga, seharusnya Bank Indonesia pun juga mengikuti, barulah nanti di bulan Februari menaikkan suku bunga," ujarnya.
Ia memprediksi nilai tukar rupiah pada penutupan pasar Jumat sore ini akan mengalami pelemahan. Rupiah terhadap dolar AS diperkirakan bergerak ke kisaran Rp15.090 per dolar AS hingga Rp15.130 dolar AS pada perdagangan hari ini.
Presiden The Fed Bank of New York John Williams mengatakan pada Kamis (19/1) bahwa bank sentral AS membutuhkan lebih banyak kenaikan suku bunga ke depan dan melihat tanda-tanda tekanan inflasi mungkin mulai mendingin dari level terik.
"Dengan inflasi yang masih tinggi dan indikasi berlanjutnya ketidakseimbangan penawaran-permintaan, jelas bahwa kebijakan moneter masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menurunkan inflasi ke target 2,0 persen secara berkelanjutan," kata Williams dalam teks pidatonya yang akan disampaikan di hadapan Perhimpunan Analis Pendapatan Tetap di New York.
Tahun lalu The Fed memindahkan target suku bunga jangka pendeknya lebih tinggi dengan kecepatan historis yang agresif dalam upaya untuk melawan inflasi tertinggi yang terlihat dalam beberapa dekade.
Fed bergerak dari suku bunga dana federal mendekati nol pada Maret menjadi antara 4,25 persen dan 4,5 persen pada akhir tahun. Sejumlah peningkatan tersebut terjadi dalam peningkatan 75 basis poin berukuran super.
Sebelumnya investor asing mencatatkan arus modal keluar (outflow) yang besar dari pasar obligasi Indonesia, dikarenakan tekanan inflasi dan pengetatan moneter selama tahun 2022.