Wilayah ibu kota Republik Rakyat Tiongkok itu benar-benar gelap oleh awan kelabu yang menaungi gemercik jatuhnya air ke tanah pada Minggu pagi.
Grup WeChat yang menjadi saluran komunikasi kolektif bagi diplomat dan awak media asing untuk kegiatan yang diorganisasikan oleh ASEAN-China Center (ACC) pada pagi itu riuh, bahkan sebagian anggota merasa panik.
Pesawat Air China bernomor penerbangan CA1267 yang seharusnya bertolak dari Bandar Udara Internasional Ibu Kota Beijing (BCIA) pukul 08.15 waktu setempat (07.15 WIB) batal terbang karena cuaca buruk, demikian pengumuman dari pihak maskapai yang diunggah seorang staf ACC di grup WeChat pada pagi hari itu.
Otoritas penerbangan setempat memang tidak memberikan toleransi apa pun demi alasan keselamatan jiwa penumpang dan awak pesawat. Apalagi, 3 bulan yang lalu dunia penerbangan China mengalami tragedi terburuk dalam 12 tahun terakhir setelah pesawat China Eastern Airlines nomor penerbangan MU5735 jatuh dari ketinggian hampir 9.000 meter di Daerah Otonomi Guangxi yang menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawat berjumlah 132 orang pada tanggal 21 Maret 2022.
ANTARA tidak terdampak dari pembatalan penerbangan CA1267 lantaran sejak awal sudah memutuskan untuk tidak bergabung dalam satu pesawat dengan delegasi ASEAN dan tim ACC lainnya yang berjumlah 38 orang itu. Ahad (10/7) pagi di Kedutaan Besar RI di Beijing sedang digelar salat Iduladha itulah yang menjadi alasan ANTARA untuk tidak bergabung dengan delegasi lainnya.
Baca juga: Kucing besar tertua ditemukan di Tibet
Memang tidak mudah bepergian ke luar kota sendirian di tengah pemulihan pasca-lokcdown akibat outbreak terakhir di berbagai wilayah Tiongkok. Isi formulir memasuki kota tujuan dan tes usap di bandara kedatangan harus dilakukan secara mandiri.
"Kalau sudah diisi, bawa paspor langsung menuju ke sana," kata seorang petugas pencegahan dan pengendalian COVID-19 sambil menunjuk pintu keluar terminal kedatangan Bandara Internasional Caojiabao, Kota Xining.
Di luar terminal kedatangan bandara di ibu kota Provinsi Qinghai itu antrean para penumpang yang baru turun dari pesawat membentuk liukan ular. Ratusan orang dengan berbagai ukuran kopernya masing-masing harus rela menunggu giliran selama lebih dari satu jam untuk melakukan tes usap. Tidak gratis, setiap orang diharuskan membayar 16 yuan atau sekitar Rp35 ribu kepada petugas berpakaian lengkap antipandemi yang membawa batang kode transaksi keuangan digital.
Para delegasi ASEAN yang dipimpin Duta Besar Thailand untuk China Artayudh Srisamoot akhirnya bisa berangkat dengan penerbangan lain dari Bandara Internasional Daxing di pinggiran Beijing pada sore hari dan baru mendarat di Xining pada malam harinya.
Suhu udara di Qinghai yang di atas 21 derajat Celsius pada siang hari dan rata-rata 11 derajat pada siang hari relatif tidak jauh berbeda dengan di Beijing.
Namun, bagi orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Qinghai akan sangat terasa perbedaannya.
Para delegasi sudah tampak sangat kelelahan begitu menginjakkan kaki di Prefektur Hainan pada Senin (11/7) siang.
Padahal, perjalanan sejauh 150 kilometer menuju arah barat daya Kota Xining itu juga tidak sampai 2 jam dengan menggunakan bus pariwisata.
Faktor ketinggian alam yang sangat mempengaruhi kondisi fisik tersebut. Detak pacu jantung lebih cepat seiring dengan menipisnya oksigen di ketinggian di atas 3.200 meter dari permukaan laut itu.
Jelajah Danau
Sangatlah beralasan kalau pejabat daerah setempat tidak mengantarkan langsung para delegasi itu ke Qinghai Hu, danau terluas di China yang berada di wilayah administratif Prefektur Hainan. Tapi singgah dahulu di bangunan sederhana yang terbuat dari kayu.
Di dangau-dangau di atas lahan hijau lereng perbukitan itulah para delegasi menjalani aklimatisasi selama sekitar 45 menit. Aklimatisasi singkat itu bukannya untuk peregangan otot, para delegasi malah berswafoto dengan latar perbukitan dan danau beratapkan langit biru.
Dalam kondisi fisik yang tidak begitu bugar, para delegasi tetap bersemangat menuju Danau Qinghai yang ditempuh hanya beberapa menit dengan bus dari titik pemberhentian pertama tadi.
"Cuaca biasa-biasa saja, tapi napas jadi cepat habis," kata Nugrahadi Hendro Yuwono, delegasi dari Indonesia, sambil terus memperhatikan jam tangan digitalnya yang dilengkapi alat perekam denyut nadi itu.
Baca juga: Objek wisata Tembok Besar China dibuka kembali
Sesekali staf KBRI Beijing itu menghentikan langkahnya menuju tubir danau yang dari tempat parkiran bus permukaan jalannya datar-datar saja untuk mengatur napas.
Rasa lelah tiba-tiba menghilang begitu saja tatkala terdengar kicau burung air bersahutan menyambut para tamu asingnya yang berlatar belakang bangsa dan negara berbeda itu.
Entah saking riangnya, burung-burung air itu sama sekali tidak menyingkir ketika para delegasi dan pengunjung lain menghampirinya di tepi danau. Bahkan, sekawanan burung itu tidak terusik oleh kilatan lampu kamera atau telepon selular para pengunjung Danau Qinghai yang berebut tempat swafoto atau awak media yang melakukan reportase pada sore hari itu.
Danau Qinghai bukan saja objek wisata terfavorit di dataran tinggi Tibet yang wajib dikunjungi selama musim kemarau.
Danau terluas di China yang luasnya mencapai 4.543 kilometer persegi dengan rata-rata kedalaman 30 meter itu surga bagi beraneka ragam hayati.
Maka tidaklah mengherankan jika burung air menjadikan Danau Qinghai sebagai tujuan migrasinya selama musim panas yang biasanya terjadi pada bulan Juni hingga Agustus.
Yak, binatang mamalia yang berkerabat dengan sapi dan banteng, juga leluasa melahap rerumputan hijau yang tumbuh liar di lereng perbukitan sekitar danau.
Binatang yang dalam bahasa Latin dikenal dengan nama Bos Grunniens itu memang banyak ditemukan di sekitar pergunungan Himalaya dan dataran tinggi Tibet seperti di Qinghai ini.
Bunga kanola dan bunga lavender yang tumbuh bermekaran menggoda mata para pengguna jalan menuju Danau Qinghai untuk berhenti sejenak waktu.
Warna kuning cerah bunga kanola dan ungu khas lavender membuat wisatawan bergegas segera mengeluarkan kamera atau ponsel dari sakunya untuk mengabadikan momentum yang terjadi hanya sekitar tiga bulan karena setelah itu dataran tinggi Tibet akan berselimutkan salju.
"Amazing! Very ...very beautiful!" ucap Ammily, delegasi dari Singapura, tak kuasa menahan rasa takjubnya begitu berada di tengah hamparan taman bunga kanola yang terbentang luas itu.
Sejak memasuki wilayah perbukitan Hainan memang mata pengunjung sudah disuguhi pemandangan alam nan indah di pinggir jalan raya yang menghubungkan Danau Qinghai dengan Kota Xining itu.
Di setiap petak yang luasnya bisa mencapai tiga hingga lima kali lapangan sepak bola itu, pengelola menyediakan fasilitas lainnya, mulai peralatan kemah, sepeda sewaan, hingga kuda tunggangan.
Bagi yang hanya sekadar foto-foto dengan latar belakang taman bunga yang indah alami itu, penduduk setempat menyewakan anak kambing yang lucu-lucu untuk digendong.
Tarif sewanya hanya 5 yuan (Rp11 ribu) untuk sekali foto sambil menggendong bayi kambing. Bayarnya pakai WeChat Pay atau Alipay dengan memindai barkode yang dikalungkan di leher anak-anak penawar jasa foto bersama bayi kambing nan imut-imut itu.
Baju khas Tibet beserta pernak-perniknya juga ada di petak-petak taman bunga tadi, baik untuk disewakan maupun dijual.
Baca juga: Menjumpai etnis Yugur di atas ketinggian 3.830 mdpl puncak Bars Snow
"Kami berharap Anda bisa merasa senang dan nyaman tinggal di sini," kata seorang petinggi Partai Komunis China (CPC) Komite Prefektur Hainan menyambut kedatangan para delegasi ASEAN pada Senin (11/7) malam.
"Anda akan merasakan pengalaman tersendiri tinggal di wilayah ketinggian ekstrem," ucapnya lagi.
Dibandingkan dengan kota-kota lain di China, Hainan relatif berbeda. Nuansa alamiahnya tetap lestari, kearifan budaya suku Tibet, etnis minoritas China yang menghuni prefektur itu, juga dijaga keasliannya. Namun pembangunan infrastrukturnya masih jauh tertinggal dibandingkan daerah lain. Padahal di situ ada Huawei, raksasa industri telekomunikasi China, yang berinvestasi di sektor pembangkitan listrik berteknologi fotovoltaik.
Bagi wisatawan berduit yang berasal dari kota besar di China tidak akan betah tinggal berlama-lama di Hainan. Mereka memilih balik ke Xining yang banyak pilihan hotel berbintangnya. Hotel paling bagian dan besar di Hainan bangunannya masih bergaya era 1980-an.
Di antara para delegasi ASEAN tidak bisa tidur nyenyak saat bermalam di Hainan. Selain faktor kelelahan karena sejak pagi mengikuti seremoni pencanangan program pelestarian lingkungan bertajuk You Make the World a Beautiful Place in Qinghai, mereka pada siang harinya langsung melakukan perjalanan darat Xining-Hainan ditambah menjelajahi kawasan Danau Qinghai.
Satu lagi, menipisnya kadar oksigen di kota kecil berpenduduk 448.000 jiwa itu, juga menjadi pemicu menurunnya kebugaran anggota delegasi yang kebanyakan berasal dari negara tropis tersebut. Meskipun selama kunjungan ke Provinsi Qinghai pada tanggal 10—15 Juli 2022, pihak ACC telah mengikutsertakan seorang dokter sejak keberangkatan dari Beijing.
Mungkin itulah terma "pengalaman tersendiri" seperti yang diucapkan petinggi CPC itu tadi sebagai pengingat pentingnya beradaptasi dengan alam.
Qinghai yang berada di bentang dataran tinggi Tibet telah memberikan pelajaran dan pengalaman kepada anggota delegasi tentang harmoninya kehidupan, antara manusia dan alam sekitarnya.
Baca juga: ASEAN-China kerja sama genjot pariwisata pegunungan
Editor : Kliwon