Jakarta (ANTARA) - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Pol. Napoleon Bonaparte disebut meminta uang suap dari Joko Tjandra untuk diberikan ke "petinggi kita".
"Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan 'Ini apaan nih segini, ga mau saya. Naik ji jadi 7 ji soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata 'petinggi kita ini'," kata jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung Zulkipli di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Napoleon mengungkapkan hal itu kepada rekan Joko Tjandra, Tommy Sumardi pada 27 April 2020 di ruang Kadihubinter.
"Selanjutnya sekitar pukul 16.02 WIB Tommy Sumardi dan Brigjen Pol. Prasetijo Utomo dengan membawa 'paper bag' warna gelap meninggalkan gedung TNCC Mabes Polri," tutur jaksa Zulkipli.
Awalnya pada April 2020, Joko Tjandra selaku terpidana kasus korupsi Bank Bali yang dijatuhi hukuman pidana penjara selama 2 tahun ingin masuk ke Indonesia untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) karena Joko mendapat informasi bahwa "Interpol Red Notice" atas dirinya telah dibuka Interpol Pusat di Lyon, Prancis.
Joko Tjandra diketahui masuk dalam DPO InterpolL sejak 12 Februari 2015. Joko Tjandra lalu menghubungi rekan-nya Tommy Sumardi untuk mengurus kepentingan Joko masuk ke Indonesia terutama kepada pejabat di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri.
Tommy lalu menemui Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Prasetijo Utomo di kantornya pada Biro Kakorwas PPNS Bareskrim Polri, kemudian Prasetijo memperkenalkan Tommy kepada Irjen Pol. Napoleon Bonaparte selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri.
Prasetijo lalu memerintahkan bawahannya Brigadir Fortes untuk mengedit "file" surat istri Joko Tjandra, Anna Boentaran sesuai format permohonan penghapusan "Red Notice" yang ada di Divhubinter dan mengirimkan surat itu ke Tommy Sumardi.
Pada 16 April 2020, Tommy bersama Prasetijo Utomo bertemu Napoleon di ruangan Kadivhubinter Polri. Saat itu Napoleon meminta uang Rp3 miliar untuk dirinya agar dapat mengurus penghapusan DPO.
Setiba di ruangan Kadihubinter, Prasetijo menyerahkan sisa uang yang ada sebanyak 50 ribu dolar AS, namun Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut.
Sehingga pada 28 April 2020, Joko Tjandra kembali meminta sekretaris-nya menyerahkan 200 ribu dolar Singapura ke Tommy Sumardi.
Tommy lalu menemui Napoleon pada hari yang sama di kantor Napoleon dan menyerahkan uang 200 ribu dolar Singapura kepada Napoleon Bonaparte.
Pada 29 April 2020, kembali Joko Tjandra meminta sekretaris-nya menyerahkan 100 ribu dolar AS kepada Tommy. Tommy lalu kembali menemui Napoleon di ruang Kadivhubinter gedung TNCC Mabes Polri lantai 11 dan menyerahkan uang 100 ribu dolar AS kepada Napoleon.
Setelah menerima uang tersebut, Napoleon memerintahkan anak buahnya Kombes Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat ke Imigrasi yang ditandatangani atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo.
Isi surat tersebut pada pokoknya menginformasikan bahwa Sekretariat NCB Interpol Indonesia pada Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database DPO yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7 dan diinformasikan bahwa data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi.
Pada 4 Mei 2020, Joko Tjandra kembali meminta sekretaris-nya memberikan uang 150 ribu dolar AS kepada Tommy. Tommy lalu menemui Prasetijo Utomo dan keduanya menemui Napoleon, dalam pertemuan itu Tommy menyerahkan uang 150 ribu dolar AS ke Napoleon.
Setelah menerima uang tersebut, Napoleon memerintahkan anak buahnya Kombes Pol. Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat yang ditandatangani oleh An. Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo untuk Ditjen Imigrasi Kemenkumham yang berisi penghapusan "Interpol Red Notice".
Pada 5 Mei 2020, Tommy dan Prasetijo kembali menemui Napoleon di kantornya dan menyerahkan uang sejumlah 20 ribu dolar AS kepada Napoleon.
Setelah mendapat uang, Napoleon kembali membuat surat perihal penyampaikan penghapusan "Interpol Red Noices" atas nama Joko Soegiarto Tjandra Control No.: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak tahun 2014 (setelah 5 tahun).
Setelah surat itu diterbitkan Prasetijo menghubungi Tommy Sumardi melalui telepon dan mengatakan 'Ji, sudah beres tuh, mana nih jatah gw punya' dan dijawab oleh Tommy Sumardi 'sudah, jangan bicara ditelepon, besok saja saya ke sana".
Tommy lalu bertemu Prasetijo keesokan harinya di kantornya pukul 14.00 WIB dan memberikan 50 ribu dolar AS kepada Prasetijo sehingga total uang yang diserahkan Tommy kepada Prasetijo adalah 150 ribu dolar AS.
Napoleon pada 8 Mei 2020 lalu meminta anak buahnya Kombes Pol. Tommy Aria Dwianto membuat surat untuk Anna Boentaran yang menerangkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan pada Police Data Criminal ICPO Interpol didapatkan hasil Joko Soegiarto Tjandra tidak lagi terdata sebagai subjek Red Notice ICPO Interpol, Lyon, Prancis.
Pada 12 Mei 2020, Joko Tjandra kembali meminta sekretaris-nya menyerahkan uang 100 ribu dolar AS kepad Tommy. Pada 22 Mei 2020, Joko Tjandra kembali meminta sekretaris-nya untuk menyerahkan uang 50 ribu dolar AS kepada Tommy sehingga total uang yang diserahkan Joko Tjandra ke Tommy Sumardi adalah 500 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura.
Akibat permintaan dari perbuatan tersebut, Ditjen Imigrasi Kemenkumham menghapus status DPO Joko Soegiarto Tjandra dari sistem ECS pada SIMKIM Ditjen Imigrasi dan digunakan oleh Joko Tjandra untuk masuk wilayah Indonesia dan mengajukan PK pada Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Atas penerimaan uang tersebut, Napoleon Bonaparte dan Prasetijo Utomo diancam pidana dalam pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 11 atau pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal mengatur mengenai bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dapat dipidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.