Hierarki prilaku konsumtif jelang Lebaran

id perilaku konsumtif,hierarki sosial,lebaran 2019

Hierarki prilaku konsumtif jelang Lebaran

Illustrsi: Suasana ramai, padat pengunjung pada salah satu mal di Palembang, Sumatera Selatan (ANTARA FOTO/Feny Selly/UJ/18)

....Belanja di mal lebih irit, kebetulan saya dapat voucher belanja, lumayan bisa lebih banyak yang dibeli....
Palembang (ANTARA) - Seorang ibu rumah tangga, Wiwid, harus memegang anak lelakinya agar tidak terlepas di tengah keramaian pengunjung pasar 16 Ilir Kota Palembang yang mulai padat sejak H-7 hari raya Idul Fitri.

Meski dalam kondisi berpuasa, Wiwid tetap antusias mencari toko-toko penyedia peralatan rumah tangga dan busana muslimah. Ia ingin membelanjakan setengah dari uang Tunjangan Hari Raya (THR) yang baru saja diterimanya 28 Mei lalu.

"Saya berdiskusi kecil dengan suami mengenai berapa persen uang THR kami untuk keperluan Lebaran, suami saya menyarankan Rp1,5 juta untuk digunakan berbelanja, itu setengah dari THR pekerjaan saya sebagai pegawai administrasi," ujar Wiwid saat berbincang dengan Antara.

Wiwid sama seperti muslim Indonesia pada umumnya, menganggap Hari Raya Idul Fitri merupakan momen sakral yang segala sesuatu harus dipersiapkan sempurna karena hanya dirayakan setahun sekali.

Hampir semua gaji suaminya dan dia, sudah digunakan untuk merenovasi rumah, membeli TV baru, serta membeli baju Lebaran anak, sedangkan keperluan konsumsi Lebaran ia alokasikan dari uang THR.

Tak jauh berbeda dengan Wiwid, seorang ibu rumah tangga lainnya, Rani Irma, sudah beberapa hari terakhir mondar-mandir ke pasar, namun ia lebih memilih berbelanja di pasar modern (mal) yang dirasa lebih nyaman dan menawarkan banyak potongan harga.

"Belanja di mal lebih irit, kebetulan saya dapat voucher belanja, lumayan bisa lebih banyak yang dibeli," kata Rani yang mengaku sudah menghabiskan Rp3 juta untuk berbelanja kebutuhan Lebaran.

Rani tentu tidak sendiri, ada ribuan ibu rumah tangga seperti dirinya yang berbelanja dengan maksud memenuhi kebutuhan Lebaran, sehingga mal juga ikut ramai, tidak seperti biasanya.

Seperti pantauan Antara di dua mal besar di Kota Palembang yakni OPI Mal dan Palembang Square, baik siang ataupun malam jumlah pengunjung cenderung lebih ramai setiap hari, kondisi ini sudah diantisipasi oleh pengelola.

Marketing Communication Palembang Square, Irwan Agus Setiawan, menyebut pasca-cairnya THR pegawai negeri dan swasta angka kunjungan meningkat signifikan, yang juga dipicu oleh penawaran harga khusus para pemilik gerai di mal tersebut.

"Pada hari normal masyarakat yang mengunjungi Palembang Square ada 30.000–40.000 orang, tapi begitu THR cair kunjungan langsung melonjak hingga 60.000 orang sejak 26 Mei 2019. Kami memperkirakan tingginya kunjungan akan terus berlangsung sampai H-1 Lebaran," jelas Irwan.

Padatnya pengunjung memaksa pengelola menambah petugas keamanan dan pelayanan, terutama saat malam akhir pekan. Ia secara khusus meminta kepolisian mengatur lalu lintas sekitar mal yang selalu macet dengan kendaraan pribadi.

Dalam monitornya, rata-rata pengunjung berasal dari luar daerah sekitar Kota Palembang yang sebagian besar memburu fesyen tertentu seperti baju, jilbab, kemeja, gamis, kaos, dan celana.

Seperti gerai Jilbab Chick yang dikelola Muhammad Onami. Ia mengaku omzet penjualannya naik 300 persen pada 10 hari terakhir Ramadhan  seiring peningkatan pengunjung di mal.

"Kondisi ini sudah kami perkirakan sebelumnya, maka sejak jauh-jauh hari kami menyiapkan stok agak banyak, walaupun tanpa potongan harga orang tetap akan beli karena adanya THR. Jadi harga tak terlalu dirisaukan," kata Onami.

Sementara Marketing Communication OPI Mall Wendi Ansah mengatakan lonjakan pengunjung memberikan angin segar di tengah kelesuan ekonomi masyarakat beberapa bulan terakhir.

"Rata-rata selama 10 hari terakhir angka kunjungan di atas 40.000, pastinya ini menguntungkan semua gerai, apalagi yang memberikan harga-harga menarik, omzetnya bisa sampai naik 200 persen," jelas Wendi.

Hierarki Sosial

Guru Besar Sosiologi Universitas Sriwijaya (Unsri) Prof Alfitri menyebut perilaku konsumtif jelang Lebaran bagian dari upaya masyarakat membentuk hierarki sosial dengan secara sadar menimbulkan derajat-derajat atau kasta.

"Kecenderungan konsumtif itu timbul atas asumsi bahwa Idul Fitri adalah momen sakral. Kebanyakan muslim ingin mempersiapkan segala sesuatu dengan sempurna, jadi semua pendanaan ekonomi keluarga yang sudah dikumpulkan selama satu tahun, akan ditumpahkan saat Lebaran," jelas Prof Alfitri.

Ia mengatakan perilaku tersebut memiliki sisi positif dan negatif. Bisa jadi menguntungkan, namun pada saat bersamaan dapat membahayakan masyarakat itu sendiri.

Sisi positifnya, perilaku konsumtif berhasil menggerakan aspek ekonomi, sosial, dan budaya secara bersamaan, dalam hal ini wilayah desa paling diuntungkan karena peredaran uang dari kota-kota terbagi ke pedesaan.

Selain itu mobilitas sosial semakin terjalin antar masyarakat baik level individu maupun kelompok-kelompok, keberlanjutan hubungan sosial inilah yang membuat tingkat kekerabatan di Indonesia masih tinggi.

Dua faktor tersebut mendorong kecenderungan konsumtif, mayoritas masyarakat masih mementingkan simbolisme pada saat Lebaran, sehingga muncul perilaku mubazir lantaran ada barang yang sebenarnya tidak diperlukan tapi tetap dibeli.

"Karena ingin sempurna semua di beli, makanan disediakan banyak-banyak, baju pasti beli baru, ada juga yang beli motor, mobil sampai rumah baru, ada dorongan ingin menampilkan kesuksesan, karena hari raya adalah dianggap momen yang tepat memperlihatkan kesuksesan," jelas Alfitri.

Dorongan lain munculnya perilaku konsumtif disebabkan adanya THR.  Indonesia kata Prof Alfitri, merupakan satu dari sedikit negara yang menerapkan kebijakan THR, peredarannya memang diharap menggerakkan ekonomi negara.

Namun adanya THR justru membuat masyarakat harus bisa menyeimbangkan antara pengeluaran dan penghematan, jangan sampai setelah Lebaran ketahanan ekonomi keluarga menjadi goyah dan berujung utang-piutang.

"Lebaran ini terjadi setiap tahun, semestinya ada pembelajaran mengenai pentingnya kerangka penghematan, memperingati hari besar cukup dengan hal-hal sederhana saja, karena intinya silaturahmi tetap jalan," lanjut Prof Alfitri.

Kerangka penghematan selaras dengan kerangka penyeimbangan antara penerimaan dan pemberian. Adanya THR menambah pendapatan rumah tangga, akan imbang jika sebagiannya dibagi-bagi kepada masyarakat prasejahtera.

Itulah adanya konsep zakat fitrah di penghujung Ramadhan. Dalam hukum Islam zakat fitrah merupakan kewajiban, sedangkan hakikatnya ialah untuk memantik muslim Indonesia agar mau berbagi lebih dari pada itu.

Jika sikap berbagi hanya sebatas zakat fitrah, konsep keseimbangan penerimaan dan pemberian tidak akan berjalan maksimal, tetapi bila umat melebihkannya dalam bentuk sedekah, infak dan wakaf, maka efeknya dapat mengurangi angka kemiskinan.

"Pertanyaanya apakah para muslim sudah konsisten dengan keseimbangan ini, mana yang didahulukan? Belanja kebutuhan Lebaran atau membaginya dulu dengan kaum dhuafa? oleh karena itu konsep resiproritas perlu diterapkan" ujarnya.

Secara sederhana resiprositas diartikan sebagai pertukaran timbal balik antar-individu atau antar-kelompok, proses pertukaran resiprositas dapat memakan waktu lama, bukan sekejab seperti proses jual-beli.

Proses tersebut bisa berlangsung sepanjang hidup seseorang di dalam mayarakat, bahkan mungkin sampai diteruskan anak keturunannya, seperti tradisi sumbang-menyumbang dalam acara pernikahan, ada proses pengulangan pada momen yang sama.

"Sayangnya masyarakat belum ada kesadaran menerapkannya, masih cenderung untuk kesombongan tapi uangnya tidak terbagi. Padahal harusnya dinamika Lebaran punya efek menurunkan kemiskinan, bukan membentuk hierarki-hierarki," demikian Prof Alfitri.