Jutaan tahun lalu moyang manusia telah hidup dan menyebar di bumi, mereka berjalan bungkuk dengan rahang bawah yang besar dan tonjolan tulang alis mata membentuk wajah seperti kera.
Struktur tubuh moyang manusia ini merupakan hasil rekonstruksi para evolusionis dari fosil tulang-belulang yang ditemukan di sejumlah lokasi, misalnya sebagian tempurung tengkorak, gigi dan tulang paha atas yang ditemukan Eugene Dubois di Trinil, Ngawi pada 1890 dan dinamakan Pithecanthropus Erectus.
Sisa fosil dari zaman pleistosen tengah yang usianya diperkirakan sekitar 1,5 juta tahun itu menambah koleksi fosil manusia purba hasil perburuan para paleontolog evolusionis dalam mengungkap "missing link" yang mengaitkan garis keluarga kera ke homo sapiens, manusia modern yang hidup sekarang ini.
Namun hampir 1,5 abad berlalu, temuan spesimen fosil dari berbagai lokasi tersebut masih juga belum mampu menjelaskan asumsi-asumsi teori evolusi Darwin tentang leluhur bersama homo sapiens dan para hominid, meskipun teori ini telah menjadi bagian penting dari bangunan biologi.
Di sisi lain, ilmu genetik kini dalam perkembangan pesat dan tampaknya justru menambah daftar pertanyaan kepada teori terdahulu tentang pohon evolusi yang menjadi sekadar diagram percabangan spesies makhluk hidup berdasarkan anatomi.
Uji genom
Sejak genom manusia selesai dipetakan satu dekade lalu, asal-usul dan jejak penyebaran manusia sudah bisa dilacak melalui gen.
Dengan uji DNA (Asam Deoksribo Nukleat) menggunakan kromosom Y, seorang pria zaman kini bisa melacak kakek moyangnya. Demikian juga dengan uji mitokondria DNA, seorang wanita bisa mencari tahu nenek moyangnya.
Di setiap inti sel manusia terdapat 23 kromosom berpasangan yang masing-masing strukturnya berupa pilinan benang berisi informasi genetik berisi lebih dari tiga miliar huruf DNA dalam bentuk kelompok fosfat, gula dan nitrogen basa.
Manusia diperkirakan memiliki sekitar 30 ribu-35 ribu gen pembawa sifat per selnya yang terus diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melewati ribuan tahun tanpa banyak perubahan.
Riset DNA yang dilakukan terhadap lebih dari 1000 orang dari berbagai etnik menyimpulkan moyang manusia modern mengacu pada seorang laki-laki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa) yang berasal dari satu titik di Afrika Timur, yang jika dirunut berusia hingga 100 ribu-200 ribu tahun.
Benua Afrika menjadi tempat orang-orang pembawa gen paling tua, sedangkan orang-orang di luar Afrika seperti Eropa, Asia, Amerika, termasuk penduduk asli Australia dan Papua, hanya mengarah pada usia gen setua 50-70 ribu tahun lalu.
Dari sana disimpulkan bahwa pada periode tersebut sejumlah kelompok moyang di Afrika Timur kemudian bermigrasi secara bertahap ke luar dari benua tersebut, melalui jembatan semenanjung Arabia dan menyebar ke seluruh dunia.
Berdasarkan analisis terhadap ribuan sampel DNA yang dilakukan oleh tim pakar genetik yang dipimpin Spencer Wells, migrasi leluhur bersama (common ancestors) orang Eurasia (out of Africa) ini terbagi dalam sejumlah cabang.
Cabang pertama diketahui menuju ke utara di Timur Tengah (45 ribu tahun lalu) menetap lama dan kemudian generasi-generasi berikutnya ada yang bermigrasi lagi ke Afrika Utara dan sebagian mereka ke Eropa Selatan dan Eropa Tengah.
Cabang lainnya ada yang menuju ke Asia Tengah 40 ribu tahun lalu, yang dari sana (sekarang kawasan Kyrgistan) keturunan berikutnya mulai merintis jalan ke utara.
Mereka ada yang berbelok ke barat (35 ribu tahun lalu) bercampur dengan kelompok dari Timur Tengah menjadi leluhur orang-orang Eropa, ada yang ke barat-laut lagi menuju Rusia dan berbelok menyebar di kawasan Skandinavia.
Perintis lainnya dari Asia Tengah ini kemudian menyebar ke Asia Selatan dan Indo-China lalu berbelok lagi ke utara menyebar di Asia Timur.
Cabang lainnya menuju ke utara di Siberia dan menjadi orang-orang eskimo (15 ribu tahun lalu), sebagian ada yang menyeberang sampai ke Benua Amerika, menurunkan orang-orang Indian.
Jauh sebelum itu, pada 50 ribu tahun lalu ada pula kelompok orang-orang yang keluar dari Afrika, melewati pesisir selatan Yaman menuju selatan India, lalu ke arah timur-laut (Indo-China) dan berlanjut ke Asia Timur.
Cabang dari selatan India ini ada pula yang melintasi pesisir menuju Sumatera, Jawa dan masuk ke Benua Australia yang pada zaman es itu masih menjadi satu dengan daratan Papua.
Cabang lainnya yang sempat menetap di Sumatera lantas menuju utara ke arah daratan yang sekarang merupakan Laut China Selatan dan Kalimantan yang saat itu masih menjadi satu dengan Pulau Sumatera dan Jawa, lalu berlanjut ke wilayah yang sekarang merupakan Kepulauan Filipina hingga ke Kepulauan Jepang.
Sebagian mereka ada pula yang berbelok ke daratan China bercampur dengan keturunan Asia Tengah serta ada yang ke utara menyeberang ke Amerika Utara menjadi orang-orang Indian.
Sangat homogen
Penyebaran homo sapiens ke berbagai belahan dunia yang alurnya bagaikan benang kusut itu berlangsung secara bertahap dalam periode puluhan ribu tahun dengan hampir tanpa perubahan variasi genetik.
Tampaknya studi genetika belum bisa mengaitkan gen homo sapiens dengan gen hominid seperti digambarkan dalam pohon evolusi, apalagi pendahulu manusia ini usia gennya mencapai jutaan tahun sebelum manusia pertama muncul.
Hasil riset Svante Paabo dari Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology soal adanya gen yang diturunkan oleh neandertal (homo yang muncul lebih dulu sekitar 500 ribu tahun lalu dan punah 30 ribu tahun lalu), sebesar 1,8 hingga 2,6 persen pada semua manusia di luar Afrika juga masih diperdebatkan.
Sejumlah pihak seperti Andrea Manica dari Universitas Cambridge menolak pernyataan adanya kemungkinan kawin-mawin di antara kedua spesies ini dan meyakinkan bahwa hal itu bisa jadi hanya bagian dari kesamaan genetik.
Pakar genom lainnya Tony Capra yang mencermati data variasi genetik dari 20 ribu orang Afrika mengatakan, gen neandertal yang diturunkan ke homo sapiens itu tidak unik, karena ternyata juga ditemukan di gen kuno leluhur Afrika, seperti di suku Yoruba, Esan dan Mende, namun sempat hilang ketika keturunan orang-orang kuno Afrika bermigrasi ke luar benua.
Penduduk Afrika memang memiliki lebih banyak variasi genetik dari satu suku ke suku yang lain dan menjadi tempat bersembunyi alel-alel (gen dengan sifat bervariasi) yang tidak bisa ditemukan pada orang-orang di luar Afrika, sementara gen manusia yang hidup menyebar di luar Afrika sangat homogen.
Namun demikian, secara genetik seluruh manusia yang ada di Bumi berasal dari leluhur yang sama dan sangatlah identik, di mana variasi genetik di antara tiap individu tidak lebih besar dari 0,1 persen.
Dengan demikian tidak seharusnya ada ras yang merasa lebih tinggi dari ras lainnya, misalnya ras kaukasoid merasa lebih tinggi dari ras negroid yang justru menjadi saudara tuanya, karena semua manusia sebenarnya berada dalam satu ras homo sapiens.
Variasi genetik paling besar yang diketahui di antara manusia adalah di antara dua jenis kelamin berbeda, laki-laki dan perempuan, yakni sekitar 1-2 persen yang dengan perbedaan ini manusia bisa tetap bertahan dengan menghasilkan keturunan. (T.D009/a011)