Segelas es teh dan martabat yang tak terbeli

id Penjual es teh,martabat manusia,harga diri,gus miftah,pepatah kuno,nilai sebuah bangsa

Segelas es teh dan martabat yang tak terbeli

Es teh yang dijual pedagang kecil di pinggir jalan. (ANTARA/Nunik/as)

Jakarta (ANTARA) - Hanya segelas es teh! Barang sederhana itu kini menjadi panggung sunyi yang riuh oleh makna. Dalam kilauan es yang mencair perlahan, ada cerita tentang kerja keras, tentang mimpi-mimpi kecil yang terlipat rapi dalam lipatan kain lusuh seorang pedagang kaki lima.

Ia bukan sekadar menjajakan minuman dingin; ia menjual keberanian, menjajakan harapan, dan menyuguhkan harga diri.

Namun, di tengah lalu-lalang dunia yang begitu sibuk memuja gengsi dan panggung kejayaan, segelas es teh itu nyaris kehilangan martabatnya.

Ia menjadi subjek bisu dalam percakapan yang panas, tentang kuasa dan kata-kata. Tentang bagaimana seorang manusia, dalam kesederhanaannya, dipandang dari atas.

Ia bukan lagi seorang pedagang yang gigih, melainkan sekadar bayangan kecil, yang kabur dibalik halimun, di antara langkah-langkah besar.

Peristiwa ini mengingatkan semua orang pada satu hal yang mendasar bahwa martabat manusia tak pernah ditentukan oleh apa yang ia bawa, apa yang ia jual, atau di mana ia berdiri.

Martabat adalah hakikat, ia lekat pada setiap napas yang dihela, pada setiap langkah yang diambil, tak peduli apakah ia berada di panggung megah atau di emperan jalan.

Dalam dunia yang kini begitu fasih berbicara tentang kesetaraan, justru kepekaan bangsa ini terhadap yang kecil, yang tampak tak berarti, sering kali menjadi ujian sejati.

Apakah semua benar-benar memahami bahwa di balik dagangan sederhana itu ada doa yang dilayangkan ke langit?

Bahwa di balik senyumnya yang dipaksakan ada keluarga yang menunggu dengan piring kosong? Bahwa ketika ia berdiri di sana, ia sebenarnya sedang memperjuangkan martabat yang tak ternilai?

Nilai sebuah Bangsa

Ada sebuah pepatah kuno: "Jika kau ingin tahu nilai sebuah bangsa, lihatlah bagaimana ia memperlakukan yang paling lemah di antara mereka."

Dan di sinilah bangsa yang besar ini, diuji oleh segelas es teh. Semua dipertanyakan tentang apakah kehormatan itu hanya milik mereka yang berjas rapi? Apakah ucapan baik hanya layak diberikan pada yang berdiri di mimbar megah?

Tokoh-tokoh di negeri ini, mereka yang memimpin dengan kata-kata, harus memahami bahwa setiap ucapan adalah benih yang ditanam di hati orang-orang.

Kata yang salah dapat meruntuhkan jiwa, namun kata yang benar bisa mengangkat seseorang hingga ke langit.

Pedagang kecil itu, ia adalah cerminan semua. Jika bangsa ini gagal menghormatinya, maka semua pun sedang gagal menghormati diri sendiri.

Bangsa ini, yang lahir dari darah dan air mata perjuangan, seharusnya memahami nilai dari mereka yang bekerja keras dalam sunyi.

Di balik setiap gelas es teh, ada sejarah panjang yang harus dihormati oleh semua. Dan mungkin, dari hal sederhana seperti itu, semua bisa belajar untuk menata ulang hati dan lisan semua yang kadang terlalu keras menilai, terlalu cepat menghakimi.