Palembang (ANTARA) - Fadila alias Datuk, terdakwa kasus penganiayaan terhadap dokter koas Universitas Sriwijaya yang sempat viral beberapa waktu lalu, Muhammad Lutfi dituntut jaksa hukuman 4 tahun penjara pada sidang di Pengadilan Negeri klas 1 A khusus Palembang, Selasa.
Jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Sumsel Agung menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Menuntut agar majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 4 tahun kepada terdakwa Fadila alias Datuk," ujar jaksa dalam pembacaan tuntutannya.
Usai mendengarkan amar tuntutan yang dibacakan oleh JPU, ketua majelis Hakim Qori menyatakan persidangan ditutup dan akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda pembelaan atau pledoi dari penasehat hukum terdakwa. "Sidang kita tutup dan akan digelar kembali pada pekan depan dengan agenda pembelaan," tegas majelis diiringi ketuk palu.
Atas tuntutan jaksa tersebut, penasihat hukum terdakwa advokad Titis Rahmawati didampingi Advokad Bayu dan tim menyatakan keberatan atas putusan tersebut, karena menilai terlalu tinggi dan tidak memenuhi rasa keadilan.
"Jelas kami akan mempersiapkan pembelaan, semua poin sudah kita susun dalam amar pledoi yang akan kita bacakan pekan depan. Meskipun kami sangat keberatan dengan tuntutan terhadap klien kami, namun kami tetap menghormati jalannya persidangan dan tuntutan yang dibacakan jaksa itu, kami berharap majelis hakim nantinya akan mempertimbangkan putusan seringan-ringannya untuk klien kami," tegasnya.
Berbanding terbalik, kuasa hukum korban Lutfi, Advokad Ridho Junaidi mengapresiasi tuntutan jaksa tersebut, namun pihaknya masih merasa belum puas sebab belum maksimal angka hukuman dalam tuntutan jaksa tersebut.
"Kami menghormati proses hukum, tuntutan 4 tahun dari penuntut umum tersebut, akan tetapi kami juga mohon keadilan kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini melalui putusannya nanti agar terhadap terdakwa di terapkan pidana maksimal dakwaan primer pasal 351 ayat (2) yaitu 5 tahun penjara karena tindakan penganiayaan yang di lakukan terlampau brutal," jelas Ridho.
Menurut Ridho, hukuman terdakwa harus maksimal, mengingat kejahatan yang dilakukan tidak ada perdamaian, pemukulan dilakukan secara brutal yang mendarat di daerah sangat vital yaitu kepala muka dan sekitar dagu dengan total lebih kurang 30 kali pukulan yang terbagi menjadi 3 sesi dalam satu peristiwa.
"Bahkan akibat peristiwa tersebut korban sempat rawat inap tiga hari di rumah sakit dan tidak bisa melakukan kegiatan koas kurang lebih delapan hari, bahkan ada meninggalkan seperti bercak merah darah pada bola mata korban sampai dengan hari ke-10 pun belum hilang dan mengalami gangguan penglihatan parah," tegasnya.
Kasus ini mencuat dan menjadi viral di media sosial pada Desember 2024 lalu, setelah sebuah video memperlihatkan keributan di sebuah kafe di kawasan Jalan Demang Lebar Daun, Palembang, tersebar luas.
Dalam video tersebut, terlihat aksi kekerasan yang melibatkan Fadila terhadap korban Muhammad Lutfi, yang kala itu sedang membahas jadwal jaga koas rekannya, Lady.
Lady merupakan dokter koas yang tengah menjalani masa praktik di rumah sakit pendidikan Unsri.
Ibu Lady, Sri Meilina lalu memerintahkan sopir pribadinya, Fadilla, untuk menemui Lutfi guna menyampaikan protes.
Namun, pertemuan yang seharusnya menjadi mediasi itu justru berubah menjadi aksi kekerasan oleh terdakwa yang dipicu cekcok mulut antara ibu Lady, terdakwa dan korban Lutfy sebelum akhirnya terjadi penganiayaan itu.
Fadilla, yang juga tercatat sebagai tenaga honorer di Kantor Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional (BBPJN) Sumatera Selatan, Kementerian PUPR, diduga terpancing emosi hingga melakukan pemukulan terhadap korban.
Akibat kejadian itu, Lutfi mengalami luka memar dan trauma, sebagaimana dibuktikan melalui hasil visum yang juga dijadikan barang bukti oleh penyidik.
Dalam proses hukum yang berjalan, polisi menjerat Fadila dengan Pasal 351 Ayat 2 KUHP sebagai dakwaan primer, dan Pasal 351 Ayat 1 KUHP sebagai dakwaan subsider.