Hakim tak lengkap, sidang pemukulan koas di Palembang ditunda

id Koas,Datuk pukul koas,Berit sidang,Hakim tak lengkap

Hakim tak lengkap, sidang pemukulan koas di Palembang ditunda

Advokad Ridho Junaidi, kuasa hukum koas Lutfi korban pemukulan Datuk usai beracara di PN Klas 1 A Khusus Palembang, Selasa (22/04/2025). ANTARA/M Mahendra Putra

Palembang (ANTARA) - Sidang pembacaan amar tuntutan pidana terhadap terdakwa Fadilla alias Datuk dalam kasus penganiayaan terhadap seorang dokter koas, Lutfi ditunda di Pengadilan Negeri Palembang, Selasa, diputuskan ditunda karena majelis hakim yang menangani perkara tersebut tidak hadir secara lengkap atau berhalangan.

Sidang tidak dapat digelar karena tidak memenuhi aturan dalam hukum acara persidangan.

"Karena majelis hakim anggota tak lengkap dan berhalangan hadir, maka persidangan kita tunda dan akan digelar kembali pada Selasa pekan depan," ujar Ketua Majelis Hakim Corry Oktarina saat membuka persidangan secara singkat.

Setelah penundaan diumumkan, terdakwa Fadilla yang mengenakan pakaian tahanan dikawal ketat petugas kejaksaan kembali ke Rumah Tahanan (Rutan) Pakjo, Palembang.

Kasus ini sempat menarik perhatian publik lantaran aksi kekerasan yang dilakukan terdakwa terhadap korban berlangsung brutal.

Fadilla disebut melakukan pemukulan hingga 30 kali terhadap korban Lutfi, yang saat itu tengah menjalani pendidikan profesi kedokteran (koas) di salah satu rumah sakit Palembang.

Akibat serangan tersebut, korban mengalami luka memar serius di bagian kepala, dagu, dan wajah sebagaimana tertera dalam hasil visum.

Korban juga harus dirawat di rumah sakit selama tiga hari dan tidak dapat menjalankan aktivitas sebagai koas selama delapan hari.

Tak hanya itu, hingga hari ke-10 pasca-kejadian, korban masih mengalami dampak fisik berupa bercak darah di bola mata yang belum hilang sepenuhnya.

Hal ini diungkapkan oleh kuasa hukum korban, Redho Junaidi, yang menyayangkan penundaan persidangan meskipun menghormati keputusan tersebut.

"Kami menghargai alasan penundaan sidang, namun kami sangat berharap minggu depan tuntutan pidana terhadap terdakwa benar-benar dibacakan. Jangan sampai ditunda lagi demi kepastian hukum dan keadilan bagi korban," ujar Redho.

Lebih lanjut, Redho menyampaikan bahwa pihaknya telah melayangkan dua surat kepada Kejaksaan pada 17 dan 21 April 2025, yang berisi permohonan agar terdakwa dituntut dengan pidana maksimal.

Ia menegaskan bahwa perbuatan terdakwa sangat mencederai rasa kemanusiaan dan profesi korban sebagai tenaga kesehatan yang tengah menjalani pendidikan.

"Perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara yang sangat brutal, dan sampai hari ini belum ada upaya perdamaian dari pihak terdakwa kepada korban," tegasnya.

Redho menambahkan, pidana maksimal diharapkan tidak hanya sebagai bentuk keadilan bagi korban, tetapi juga sebagai efek jera bagi pelaku kekerasan terhadap tenaga medis dan masyarakat umum.