Palembang (ANTARA Sumsel) - Pekan terakhir di bulan September ini patut menjadi perhatian penuh Satuan Tugas Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera Selatan karena periode tersebut merupakan akhir musim kemarau.
Jika lengah sedikit dipastikan kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 11-18 September lalu yang menghanguskan lahan sekitar 150 hektare di Kabupaten Muaraenim, dan puluhan hektare di Ogan Ilir, akan terulang lagi.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Provinsi Sumsel Iriansyah mengatakan, Satgas Karhutla saat ini meningkatkan kewaspadaan khususnya untuk merespon perkiraan cuaca BMKG yang menyatakan bahwa pada 10 hari ke depan masih terdeteksi hari tanpa hujan di beberapa kabupaten rawan karhutla.
"Semua sumber daya saat ini disiagakan, tentunya kami tidak ingin kejadian di Ogan Ilir dan Muaraenim terjadi lagi," kata Iriansyah.
Untuk itu upaya pencegahan dini yang lebih dikedepankan. Sejak Rabu (20/9) dilakukan penambahan jadwal patroli udara dari dua kali menjadi empat kali, yakni semula hanya pagi dan sore kini ditambah pada siang dan malam hari.
Patroli udara mengggunakan helikopter ini akan mengitari lima kabupaten rawan karhutla yakni Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Muaraenim. Jika memungkinkan pemantauan juga dilanjutkan ke Penukal Abab Lematang Ilir apabila terpantau ada hotspot melalui satelit LAPAN.
Pemantau udara ini dibutuhkan untuk memastikan titik panas yang terpantau di satelit. Menurut Iriansyah, terkadang terjadi perbedaan informasi ketika dicek ke lapangan.
Selain itu, pemantauan di malam hari ini untuk merespon adanya modus oknum warga yang sengaja membakar lahan pada sore hari untuk mengelabui petugas.
"Patroli akan membawa kamera thermal yang langsung memotret titik koordinat hotspot. Jika tidak memungkinkan dilakukan operasi darat, maka akan langsung diturunkan helikopter pembom air yang saat ini standbye tiga unit," kata dia.
Selain menambah jadwal patroli, Satgas Karhutla yang terdiri dari unsur TNI, Polri, BNPB Provinsi, Manggala Agni, Pemerintah Kabupaten dan Provinsi, dan perusahaan ini, juga menggencarkan Teknik Modifikasi Udara (TMC).
Jika sebelumnya penaburan satu ton garam hanya dilakukan satu kali dalam satu hari, kini dalam masa kritis diberlakukan sebanyak dua kali.
Akan tetapi, Iriansyah menjelaskan, proses TMC terkadang tidak berjalan sesuai rencana karena kumpulan awan masih sangat sedikit di wilayah Sumatera Bagian Selatan.
Lantaran itu, Satgas Karhutla juga melakukan upaya lain dalam konteks pencegahan dini yakni melibatkan perusahaan dan masyarakat.
BPBD Sumsel mewajibkan Satgas Karhutla tingkat kabupaten untuk memantau lahan-lahan yang berkemungkinan besar akan dibuka warga. Jika perlu, dilakukan sosialisasi "door to door" ke petani mengenai larangan membakar saat membuka lahan ini.
Terkait ini, Kabag Binlatops Polda Sumsel AKBP Adi Herfanus mengatakan timnya telah masuk ke desa-desa yang selama ini selalu mengalami karhutla, seperti di Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Warga desa dikumpulkan untuk diberikan sosialisasi terkait larangan membakar untuk membuka lahan beserta ancaman hukuman bagi pelakunya.
Selain itu, juga disebarkan selebaran maklumat antara TNI, Polri, dan Gubernur Sumsel mengenai hukuman pidana bagi pemilik lahan yang lahannya terbakar, apalagi sampai kedapatan melakukan pembakaran.
Namun, bukan berarti melalui sosialisasi lantas masalah karhutla menjadi teratasi. Tak ayal, desa yang warganya gencar mengikuti sosialisasi justru paling banyak titik hotspot-nya.
"Seperti halnya, larangan membuang sampah, maka biasanya di tempat itu justru menjadi tempat sampah. Sangat perlu sinergi semua pihak, tidak bisa diatasi hanya dengan satu cara saja," kata Adi.
Untuk itu, sangat dibutuhkan sinergi dengan perusahaan terkait pemenuhan kebutuhan alat-alat berat untuk membuka lahan.
Pemerintah juga telah mengembangkan sistem pencegahan kebakaran hutan dan lahan berbasis klaster yang menuntut keterlibatan semua pihak yakni pemerintah, perusahaan, dan masyarakat.
Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Prabianto Mukti Wibowo mengatakan, dengan sistem yang baru ini, pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak lagi dilakukan sendiri-sendiri seperti selama ini.
"Perusahaan tidak lagi hanya berkewajiban mengawasi areal konsesinya tapi juga diwajibkan mengawasi desa-desa di sekitarnya," kata Prabianto dalam seminar bertema "Desa Mandiri Cegah Api" di Aula Pascasarjana Unsri beberapa pekan lalu.
Dalam sistem ini, perusahaan diwajibkan untuk menetapkan desa binaannya berdasarkan tiga peringkat desa yakni Ring-1 (desa berbatasan langsung dengan areal konsesi), Ring-2 (desa berjarak tiga km dari batas areal konsesi), dan Ring-3 (desa berjarak lebih dari tiga km dari batas areal konsesi).
Pemilik konsesi bertanggung jawab menjalankan program pembinaan termasuk pembiayaan atas desa di dalam konsesi (Ring-1) dan desa di dalam jarak 3 km dri batas luar konsesi (Ring-2). Sementara untuk desa yang berada di Ring-3 maka perusahaan menjadi kluster leader yang bertanggung jawab dalam koordinasi pembinaan ke desa-desa di Ring-3.
Ia menjelaskan melalui sistem yang baru ini maka terjadi perubahan paradigma dalam penangganan karhutla. Kali ini lebih fokus pada pencegahan sehingga tiga hal yang dikedepankan yakni deteksi dini, pemadaman dini, dan pembinaan sekitar areal konsesi.
Hanya saja, secara konsep, sistem ini masih perlu dimatangkan karena belum ada payung hukumnya.
"Rencananya akan ada regulasinya, tinggal lagi apakah PP atau peraturan turunannya," kata ia.
Selain regulasi, pemerintah juga mematangkan rencana pembentukan organisasi kluster, standarisasi operator independen Ring-3, mobilisasi dana tanpa interpensi pemerintah, dan standarisasi peralatan pencegahan dan penanggulangan karhutla karena beberapa kementerian terkait memiliki standar berbeda.
"Sejauh ini percegahan karhutla berbasis kluster ini sudah diterapkan di tiga provinsi yakni Riau, Jambi dan Sumatera Selatan," kata dia.
Kejadian karhutla hebat pada 2015 di lima provinsi membuka mata semua pihak mengenai pentingnya upaya pencegahan. Berdasarkan data Bank Dunia diketahui bahwa kerugian akibat karhutla 2015 mencapai Rp221 triliun dari 2,5 juta areal yang terbakar.
Untuk itu, pemerintah bekerja sama dengan perguruan tinggi telah menelurkan konsep pencegahan berbasis kluster, sedangkan kalangan swasta diminta segera mengimplemtasikannya meski regulasi belum dikeluarkan pemerintah.
Efek Jera
Jumlah hotspot di Sumsel terhitung 1 Januari-18 September 2017 sebanyak 939 titik atau meningkat sedikit jika dibandingkan tahun lalu pada periode yang sama yakni 853 titik.
Sebagai gambaran, pada saat periode yang sama tahun 2015 diketahui jumlah hotspot berjumlah 9.273 titik dan terus naik sampai akhir Oktober, lalu baru pada November terjadi penurunan seiring dengan mulai terjadinya hujan.
Berkaca dari data ini, sejatinya karhutla di Sumsel tidak bisa ditekan hingga `zero` seperti yang dislogankan pemerintah setempat yakni "zero asap". Penurunan hotspot tahun 2016 dinyakini karena banyak dipengaruhi iklim tahun 2016 yakni kemarau basah, demikian juga tahun 2017.
Ini menunjukkan bahwa tidak mudah mengubah mindset warga dari cara bakar beralih menggunakan alat berat atau menaburkan herbisida.
Menurut Kabag Binlatops Polda Sumsel AKBP Adi Herfanus, sudah saatnya tindakan tegas diberlakukan bagi pembakar lahan, tanpa pandang bulu. Selama ini, penegakan hukum masih toleran jika yang melakukan adalah petani.
"Kasihan, kasihan karena yang kena itu petani. Oleh karena kasihan-kasihan inilah yang menyebabkan karhutla terjadi terus tiap tahun. Harus tegas, agar menimbulkan efek jera," kata dia.
Terkait tindakan tegas ini, Polda Sumsel telah menyusun sejumlah SOP untuk mempermudah mendapatkan barang bukti terkait dengan penegakan hukum kasus karhutla.
Para anggota Satgas Karhutla lini lapangan yakni petugas BNPB dan Manggala Agni telah dibekali kamera untuk memotret lokasi yang terbakar.
"Foto lapangan ini dapat dijadikan barang bukti, karena seperti dalam maklumat bersama disebutkan bahwa bagi yang lahannya terbakar maka pemiliknya akan disidik kepolisian," kata dia.
Hingga kini Polda Sumsel terus menyelidiki kasus kebakaran hutan dan lahan di Muara Belida, Muaraenim beberapa hari lalu karena diduga kuat dilakukan dengan sengaja.
Kebakaran yang awalnya terdeteksi di lahan seluas 200 hektare milik warga di Desa Kayuara Batu, Kecamatan Muara Belinda pada Senin (11/9) terus meluas hingga Sabtu (16/9) ke Desa Bakung, Kecamatan Gelumbang dan Desa Tanjung, Kecamatan Gelumbang.
Tim Satgas Karhutla Sumsel berupaya memandamkan api dengan berbagai cara, di antaranya penyemprotan air secara langsung untuk titik-titik yang bisa dijangkau melalui darat.
Namun, sulitnya menembus lokasi membuat pemadaman api melalui darat kurang begitu efektif sehingga upaya paling tepat sasaran hanya melalui udara yakni menggunakan helikopter pembom air M18 dan helikopter Balco.
Cuaca yang panas dan kencangnya angin membuat pemadaman api berjalan lambat. Apalagi lahan yang terbakar ini yakni kebun karet masyarakat, kebun sawit masyarakat, semak belukar dan lahan gambut yang saat ini dalam kondisi sangat kering.
Sejauh ini, polisi telah mengantongi bukti dari Laboratorium Forensik yang menyatakan bahwa memang benar di lokasi tersebut terjadi kebakaran yang menghanguskan lahan sekitar 150 hektare.
Penegakan hukum bagi pembakar lahan ini merujuk pada UU Lingkungan Hidup, UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, dan Pasal 187 KUHP.
"Kami sedang mengumpulkan barang bukti dan keterangan sejumlah saksi," kata dia.
Terkait saksi, polisi harus berupaya keras mengingat warga desa kerap enggan menjadi saksi. Biasanya hal ini terkait dengan konflik kepentingan di desa tempat tinggal mereka.
"Inilah yang menjadi kendala utama polisi, sehingga kami tidak pernah berani memasang target kapan suatu kasus bisa masuk ke Kejaksaan. Yang jelas, polisi terus mengembangkan kasus ini," ujar dia.
Sejauh ini pada 2017, Polda Sumsel sedang menanggani kasus hukum karhutla di Ogan Ilir (2 kasus), Ogan Komering Ilir (4 kasus), Banyuasin (1 kasus), dan Muaraenim (4 kasus).
"Khusus untuk kasus di Ogan Ilir, kedua-duanya sudah masuk ke Kejaksaan sedangkan yang di Ogan Komering Ilir baru satu kasus," ujar dia.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan sejak Februari 2017.
Tahun ini sejatinya menjadi pertaruhan Sumsel yang telah dipercaya Dewan Olimpiade Asia untuk menggelar Asian Games XVIII tahun 2018 pada Agustus mendatang. Jangan sampai perhelatan akbar yang telah lama dipersiapkan itu terpaksa dibatalkan karena daerah dinilai tidak mampu menghalau ancaman karhutla.